Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dialog Tanpa Nama #13

26 September 2018   11:03 Diperbarui: 26 September 2018   11:12 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini merupakan fragmen terakhir dari rangkaian omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah 12 fragmen sebelumnya, untuk menikmati keindahan semesta mereka dengan lebih utuh.

***

Fragmen 13. Dialog Tanpa Nama

Karagan lebih cantik malam ini. Tersenyum manis dalam siraman gerimis bulan November. Sebaris janji kokoh berpilin, bersama doa-doa dan restu semesta. Dua nama: Neira Gautama dan Reno Arka Jayanto tertera pada rangkaian bunga nila dan jingga. Acara besar terselenggara di taman kota yang sudah lama bertransformasi menjadi balai terbuka.

Orang kedua: Haruskah kita membuat acara malam-malam, Ren?

Orang pertama: Tidak ada keharusan, Nei. Ini keperluan.

Orang kedua: Keperluan apa?

Orang pertama: Menahan Ayah lebih lama di Karagan.

Orang kedua: Kamu yakin dia bukan Pak Mandala?

Orang pertama: Kamu pasti mengerti, naluri hati tidak bisa dibohongi.

Orang kedua: Kenapa kamu tidak mendesaknya waktu itu?

Orang pertama: Aku sudah puas mengetahui dia baik-baik saja.

***

Seorang laki-laki agak tua datang bersama anaknya yang hampir siap menjadi dewasa. Kehadiran mereka menarik sorot fokus kamera dan ratusan pasang mata. Dikerubuti orang-orang yang tak sabar ingin berjabat tangan. Selepas mengucap salam dan selamat untuk kedua mempelai, mereka menuju stan penyajian es krim.

Orang kelima: Rivan, mau es krim rasa apa?

Orang keenam: Durian, pakai cone. Kalau Bapak mau apa?

Orang kelima: Bapak juga durian, pakai gelas plastik saja.

Orang keenam: ...

Orang kelima: Kenapa kok wajahnya murung?

Orang keenam: Tapi... Bapak janji ya.

Orang kelima: Janji apa?

Orang keenam: Sampahnya tidak dibuang sembarangan lagi.

Orang kelima: ...

***

Terdengar kasak-kusuk dari berbagai penjuru. Seorang laki-laki dengan kulit terbakar matahari melangkah ragu dari halaman, menuju pelaminan. Setelan resminya yang tampak baru terlihat kontras dengan sepasang sepatu lusuh yang ia kenakan. Suasana mendadak hening. Bisik-bisik pelan menguasai ruangan.

Orang kelima: Pak Wira? Anda kembali! Apa kabar?

Orang ketiga: Saya bukan Wira, Pak. Saya adik kembarnya, Mandala.

Orang kelima: Oh, maaf, maaf, saya salah orang. Pak Wira tidak hadir?

Orang ketiga: Wira ... tidak bisa hadir.

Orang kelima: Ini kan pernikahan anaknya. Dia belum kembali?

Orang ketiga: Dia ...

Orang kelima: Kenapa?

Orang ketiga: ... tidak bisa hadir.

***

Belukar di taman balai basah berkilauan, menyimpan kehidupan. Di balik rimbun pandan, sebuah percakapan tidak dapat terdengar. Mereka bukan bagian dari acara. Mereka dua penjaga yang tak terjangkau pandangan mata.

Makhluk pertama: Ketang, kamu yakin dia orangnya?

Makhluk ketiga: Tidak juga. Wajahnya sih mirip. Tapi, warna kulit dan gaya rambutnya jauh beda.

Makhluk pertama: Ya sudah.

Makhluk ketiga: Hah? Begitu saja? Kamu tidak ingin tahu?

Makhluk pertama: Untuk apa?

Makhluk ketiga: Kamu tidak dendam dengan kematian Kevin?

Makhluk pertama: Dendam? Tidak ada gunanya. Kevin kan tidak akan kembali. Memaafkan lebih cepat memulihkan hati.

Makhluk ketiga: Iya sih, kamu benar. Pemuda itu hanya perantara bagi ketetapan Tuhan. Lagipula, kakakmu tidak mati, hanya berpindah dan berubah menjadi hal lain yang tidak kita ketahui.

***

Senyap acara menciptakan kecanggungan luar biasa. Sepasang kaki gemetaran di hadapan dua orang yang tengah bersemu merah muda, penuh kebahagiaan. Dia berhasil mengulas senyuman, tapi tangannya yang dingin tidak mampu menyembunyikan ketegangan.

Orang ketiga: Selamat ya, Neira dan Reno. Kalau Wira ada di sini, pasti dia sangat bahagia.

Orang kedua: Terima kasih, Pak Mandala.

Orang pertama: Terima kasih, Om Jay. Kau tampak beda memakai baju itu. Sangat mirip dengan Ayah.

Orang ketiga: Benarkah? Haha, wajar saja. Kami kan kembar.

Orang pertama: Iya, wajar saja kami tertipu dan sulit membedakan.

Orang ketiga: ...

Orang pertama: Lupakan saja. Menginaplah meski hanya satu dua hari. Sita dan Ibu terlalu merindukanmu.

Orang ketiga: ...

***

Sepasang kaki lain berjalan kaku. Tepat di belakang pria tua yang segera menghilang dari tatapan orang-orang. Kaki itu milik seorang gadis, dengan gaun serba hitam dan rambut ikal tergerai bebas. Nyaris tak berkedip, ia mengamati wajah pria yang bersanding dengan kakak perempuannya.

Orang kedua: Reina, aku tidak menyangka akhirnya kamu pulang juga ke Karagan.

Orang keempat: ...

Orang kedua: Ren, ini Reina. Adikku yang tinggal di Jakarta. Kalau bukan karena acara ini, dia pasti masih berpelukan dengan meja kerja.

Orang pertama: Sepertinya kami pernah bertemu. Iya kan?

Orang keempat: Kamu... Jay kan?

Orang pertama: Ah, aku ingat. Kamu pernah ikut rombongan Yovan di Gunung Parung kan?

Orang keempat: Kak Neira, kenapa menikah sama Jay? Bukan Reno?

Orang pertama: Terdengar klise, tapi... dunia memang sempit ya.

Orang keempat: ...

***

Malam larut bersama pagi yang menjelang. Kursi-kursi sudah dibereskan. Gulungan karpet warna lembayung tersandar di pilar. Dua orang itu berhadapan dalam diam. Seorang pria tua berkulit gelap menatap dalam perempuan berwajah lelah dengan kerutan yang tersamar oleh riasan. Hati mereka sibuk memutuskan bahasa yang akan digunakan: kata-kata atau sekadar kilatan mata.

Orang ketujuh: Wira...

Orang ketiga: ...

Orang ketujuh: Kamu Wira, kan?

Orang ketiga: Aku Manda ...

Orang ketujuh: Jangan berkata bodoh. Kamu bisa berbohong pada siapa saja, tapi tidak padaku.

Orang ketiga: ...

Orang ketujuh: Kamu sudah di sini, aku mohon jangan pergi lagi.

Orang ketiga: Maafkan aku, Tami ...

Orang ketujuh: ...

Orang ketiga: ...

Orang ketujuh: Jika kamu pergi, apa aku boleh menunggu?

Orang ketiga: Menunggu akan lebih menyakitkan bagimu.

Orang ketujuh: Tidak, Wira. Kamu tahu kan, aku selalu lebih suka menunggu.

Orang ketiga: Kenapa?

Orang ketujuh: Karena ... dengan begitu, aku merasa kamu selalu menuju pulang, dan belum berlalu hilang.

Orang ketiga: ...

Orang ketujuh: Jawab aku, apakah kamu akan pulang?

Orang ketiga: ...

Orang ketujuh: ...

Orang ketiga: Aku sudah pulang.

***

Malam anggun menepi, bintang-bintang bersinar terang di ujung kerlingan para perempuan. Gerimis di bawah lampu jalan meluruhkan banyak pertanyaan. Dalam perjalanan menuju pulang, tidak ada yang pernah hilang.

Semua hanya kembali... dari tempatnya datang.

Tamat. 

***

Cerita ini menggambarkan benang merah dan pertemuan tokoh-tokoh antarfragmen sebelumnya. Bacalah 12 fragmen sebelumnya untuk mendapatkan gambaran utuh kisah mereka:

Fragmen 1. Eksoskeleton 

Fragmen 2. Elegi Jasad Renik

Fragmen 3. Metazoa (1)

Fragmen 3. Metazoa (2)

Fragmen 4. 344 Meter per Sekon

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (1)

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (2)

Fragmen 6. Muson Barat

Fragmen 7. Fatamorgana (1)

Fragmen 7. Fatamorgana (2)

Fragmen 8. Segala Andai di Tepi Sungai

Fragmen 9. Sumpah Sampah

Fragmen 10. Lembah Halimun

Fragmen 11. Halimun Terakhir

Fragmen 12. Tenggelam di Langit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun