Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tenggelam di Langit #12

26 September 2018   08:36 Diperbarui: 26 September 2018   08:48 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kini, ia berada dalam posisi dan formasi yang benar. Membentuk huruf M dan J. Mandala Jayanto, adik kembarku. Seseorang yang menyelamatkanku, lima tahun lalu.

Tanpa aba-aba, memoriku berputar.
Bersinar, memproyeksikan rekaman-rekaman.

Pagi itu, pertama kalinya aku menginjak tanah selatan Karagan. Selepas malam yang melelahkan, aku terbangun dengan gigi dan tulang-tulang bergemeretak. Meringkuk kedinginan di bangku panjang, tepat di depan plang berkarat bertuliskan Gunung Parung, Karagan Selatan, 2446 dpl. Betisku terasa ngilu, tanda mata dari belasan kilometer berjalan kaki tanpa berhenti.

Aku meringis. Perih. Lambungku juga berisik minta diisi. Hanya ada sedikit pecahan uang di dalam saku. Berebut tempat dengan sepasang sendok dan garpu. Kukuatkan tekad, mengesampingkan rasa lapar. Sebelum sampai tujuan, pantang menyentuh makanan.

Diawali tarikan nafas, kulanjutkan perjalanan ke permukiman di kaki Gunung Parung. Aku sepenuhnya percaya pada hal-hal tak kasat mata. Tapi, langkah dan keputusan ini jauh di luar limit kesadaran biasa. Terhubung jalinan jiwa sejak dari dalam kandungan, kami saling menemukan dengan cara-cara yang tak mudah dimengerti orang. 

Berbekal isyarat alam, aku menuju Mandala.

Kendati ragaku menguat, jiwaku tengah sekarat. Aku kehilangan keyakinan setelah Sungai Kaliran berduyun-duyun mengairi jalan. Aku butuh ruang untuk menjauhi media massa. Aku butuh oksigen lebih banyak untuk bisa bernapas lega. Aku butuh dia untuk kuajak bicara.

Harus Mandala.

Karena aku dan Mandala tidak pernah benar-benar berlepas. Ikatan tanpa simbolisasi. Kami selalu mampu saling memahami. 

Ketika ia memutuskan pergi dari rumah, cuma aku yang tidak terkejut, bertanya-tanya, atau marah. Aku sudah tahu alasannya dari jauh hari. Ada tugas besar menantinya di lereng-lereng selatan Karagan.

Kalau bukan karena larangan Mandala, hampir saja aku nekat ikut berkelana. Tapi, dia memintaku tinggal untuk menjaga Ibu, Bapak, serta Karagan. Dia sampaikan semuanya tanpa kata-kata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun