"Ba ... pak ..."
Tertuntun suara Rivan, kakiku melangkah tanpa kesadaran. Ujung mataku menangkap tangan Rivan yang menggenggam erat jeruji besi.
Hatiku tidak lagi merasakan apa-apa. Terlalu banyak kecamuk yang menyiksa.
Seperti gerakan mesin pengeruk, kusingkirkan sampah-sampah yang mengepung tubuhnya. Air mata menetes tanpa bisa kutahan. Aku memeluknya erat, menangis sesenggukan.
"Bapak ... Bapak tidak perlu menangis. Aku sudah menyelamatkan Bapak," bisik anakku.
"Apa ... Rivan ngomong apa?" tanyaku dengan sengguk dan sekat di tenggorokan.
"Waktu bertengkar ... sama Ibu, Bapak sumpah mati ... tidak buang sampah ... di sungai lagi kan. Sekarang Bapak sudah aman ... tidak akan mati," tutur Rivan.
"Jadi ..."
Lemah, Rivan membuka genggaman tangan.
Di sana, tersimpan rokok basah yang sudah dihisap setengah.
.... bersambung.