Belum sempat aku menanggapi, Rivan panik dan bertanya, "Tadi Bapak merokok ya? Mana rokoknya? Mana?"
"Eh, sudah tidak kok. Rokok yang mana?"
"Iya, tadi Rivan lihat asap banyak. Iya kan, Pak Roy?"
Pak Roy hanya mengendikkan bahu, mencari aman. Menutupi salah tingkah, aku mengajak Rivan ke lapangan mencari teman. Rivan merengek. "Bapak jujur dong, Bapak merokok kan? Nanti Bapak bisa mati."
Seketika alisku terangkat. Ada desiran halus yang merayapi sendi-sendi tulang. "Rivan kok gitu? Iya, Bapak merokok. Tapi cuma sedikit kok. Setelah ini Bapak akan makan sayur yang banyak biar sehat."
Rivan tidak puas, masih sibuk bertanya di mana rokok yang tadi kuhisap. Aku hanya mengatakan, sudah tidak ada. Ia baru berhenti merajuk ketika hujan tiba-tiba deras, menyuruh kami bergegas. Kami berempat disambut di salah satu rumah warga yang memiliki warung tenda di halamannya.
Segelas belimbing kopi panas dan sepiring gorengan, tersaji bersama keramahan. Anak-anak kecil berebut menyalamiku dan berkenalan dengan Rivan. Aku menikmati setiap detik yang berlalu tanpa pikiran-pikiran rusuh. Jeda seperti inilah yang kubutuhkan untuk mengembalikan kewarasan.
Sementara kami bersantai, pemilik warung berjibaku dengan genangan air yang memberatkan atap terpal.
Gemuruh hujan selalu menawarkan banyak wajah. Obat kerinduan, penawar kegelisahan, atau sebaliknya, pembawa masalah besar.Â
Percaya atau tidak, perlakuan alam bereaksi terhadap detail tingkah laku manusia. Semesta terkoneksi melalui cara-cara yang sulit dibayangkan.
Belum lama aku menghela napas lega, terdengar gaduh teriakan. Mengabarkan situasi yang jauh dari menyenangkan. Sungai Kaliran meluap lagi. Tumpukan sampah menutup celah-celah jeruji bar screen. Air yang kebingungan mencari jalan pulang, lantas berkeliaran di permukiman.