Fragmen 9. Sumpah Sampah
(Semesta dalam perspektif orang kelima)
Proyek reklamasi dihentikan. Memenuhi tuntutan luapan sungai yang pekan lalu berdemonstrasi di jalan-jalan. Positif, penyebabnya adalah arus balik akibat sedimentasi di bagian hilir dan rawa-rawa yang dirombak menjadi lahan parkir.
Lagipula, biaya pemeliharaan dinding laut raksasa dan instalasi pengolahan air kelewat tinggi. Mengingat kasus gizi buruk dan anak-anak kelaparan yang kerap kali bergulung di pelataran, rasanya tidak pantas anggaran daerah malah terkuras untuk memberi makan euforia peradaban.
Kemajuan yang tidak seiring dengan kebaikan, hanya akan menciptakan kesenjangan dan konflik-konflik sosial berkepanjangan.
Persetan dengan pemodal yang merajuk dan merasa dirugikan. Pulau setengah jadi akan dikelola pemerintah sebagai pusat perikanan. Para nelayan akan kembali memadati pesisir utara.
Karagan bukan lagi etalase untuk diperjualbelikan kepada para pengembang yang haus tanah garapan.
Baru saja aku akan menenggelamkan diri dalam ketenangan, istriku memanggil-manggil dan melontarkan berbagai macam keluhan.
Huft, apa yang terjadi, terjadilah.
"Pak, Rivan demam. Sudah dua kali muntah dan buang air besar. Pasti gara-gara main di sungai. Sudah tahu kotor begitu kok diizinkan. Jajanannya juga pasti tidak sehat. Tadi main di sungai makan apa?" cecarnya. Anakku terbaring lemas di tempat tidur, memeluk guling.
Aku hanya termangu, tidak tahu harus menjawab apa. Melihat reaksiku yang tidak memuaskan kepanikkannya, istriku kembali bicara.
"Kenapa juga sih tidak jadi digusur orang-orang di sana? Cuma bikin sungai kotor saja. Buang sampah tidak tahu aturan. Cuci piring, toilet, mandi, di satu tempat, bagaimana bisa sehat? Sudahlah Pak, digusur saja. Ini anak kita jadi korban kan."
Wajahku memerah, sedikit tersinggung. "Jangan bilang begitu seenaknya. Ibu ingat kan asal-usul Bapak?"
"Iya, ingat. Tapi ini sudah kelima kalinya lho. Bapak boleh saja berempati, tapi jangan bawa-bawa anak kita dong. Hidup Rivan kan beda sama Bapak. Jangan dipaksakan."
"Bapak tidak memaksa. Ini kan di luar kendali. Bapak hanya ingin Rivan lebih humanis."
"Humanis apanya? Jangan-jangan Bapak masih kebiasaan juga ya buang sampah di sungai. Nanti Rivan meniru, sama seperti mereka."
"Ibu, itu kan dulu. Sumpah mati Bapak tidak pernah lagi buang sampah di sungai!"
"Sumpah mati? Hati-hati lho Pak, termakan omongan sendiri."
Hampir saja aku meledak marah kalau saja anakku tidak tiba-tiba berkata lirih, "Ibu ... ini kan bukan salah Bapak. Rivan yang lupa cuci tangan sebelum makan siang tadi. Bapak ... rumah teman-teman Rivan jangan digusur. Nanti mereka bingung mau tinggal dimana."
Kami terdiam. Sebelum terjadi perdebatan lanjutan, aku segera menelepon dokter. Satu jam kemudian, Rivan sudah selesai diperiksa dan diberi resep obat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, katanya.
Sepanjang malam, aku hanya bersandar di atas sofa. Menatap anakku yang tidur lelap dalam dekapan ibunya.Â
Rasa bersalah memaksaku tetap terjaga.
***
Tempat kelahiranku, Sungai Salapan masih bersaudara dengan Sungai Kaliran. Keduanya berada dalam satu Daerah Aliran Sungai Karagan. Berasal dari mata air Gunung Parung dan bermuara ke titik utama, pesisir utara.
Perkataan istriku tidak sepenuhnya salah. Seperti kebanyakan orang-orang yang tinggal di bantaran sungai, keluargaku memiliki andil besar terhadap banjir di Karagan. Kami sering melempari sungai dengan kantong-kantong plastik berisi sampah.Â
Semasa kecil, aku suka mengamati pergerakan buntelan yang terbawa arus hingga tersangkut di bar screen. Di jeruji berlumut itu, sampah-sampah bersarang. Bersaksi dan menjadi bukti ketidakpahaman orang-orang.
Menunggu vonis hukuman alam.
"Bukan cuma kami lho penyebab banjir. Dari jembatan itu, mobil-mobil juga melempar sampah ke sungai. Orang kaya, berpendidikan seperti mereka juga buang sampah sembarangan kan. Kenapa kami saja sih yang disalahkan?" ujar seorang perempuan setengah baya saat acara penyuluhan sanitasi lingkungan. Riuh, seluruh warga Sungai Kaliran mendukung pernyataannya.
"Betul itu! Padahal kalau banjir, kami yang terendam duluan."
"Rakyat kecil mah memang selalu kebagian yang tidak enak saja!" celetuk warga lainnya.
Jengah, aku diam-diam beringsut menjauh. Manusia memang terlahir dengan sejuta cadangan pembelaan. Mencari-cari jalan untuk menjauhkan diri dari sasaran tembak. Hingga akhirnya, menemukan kembali garis batas pengakuan, lantas memohon pengampunan.
Segalanya berakhir pada permulaan.
Dari kejauhan, aku melambai pada seorang pria tua. Ia menjadi sopir kantor walikota selama lebih dari dua dekade. Membawa-bawa senja di runcing matanya, ia selalu bekerja sepenuh jiwa. Terikat oleh sejarah hidup yang kurang lebih sama, ia sudah kuanggap keluarga tanpa akta.
Dengan merekatkan jempol dan telunjuk, aku memberi isyarat. Kode rahasia kami. Ia tersenyum mengerti, merogoh saku kemeja. Menyodorkan bungkusan putih berlogo merah.
"Lagi banyak masalah ya, Pak?" tanyanya.
Aku mengiyakan, seraya menyulut batangan berisi tembakau dengan korek api yang ia sodorkan. Di bawah pohon akasia, kami bergumul dengan kepulan asap. Menjauh dari hiruk pikuk kumpulan warga di balai desa.
Bernaung pada serumpun tebu, kehangatan menjalar di paru-paru yang tak tersentuh nikotin selama enam bulan. Asing, tapi menenangkan.
Ya, sekadar pelarian kecil dari kekang sorotan dan harga diri. Biasa kulakukan jika terlampau lelah menahan tekanan. Pria tua yang tidak banyak bicara ini bertindak sebagai kunci, sekaligus gemboknya. Partner in crime. Kalau sudah begini, kami serasa jadi remaja lagi.
Sembari mengibas asap, aku merenungi botol air mineral yang terseret arus warna coklat muda.
Entah sejauh apa perjalanan yang ditempuhnya hingga mencapai segmen aliran sungai Kaliran. Orang yang membuangnya mungkin tinggal berkilo-kilometer dari sini. Tapi seperti aku, hutangnya tidak akan lunas sebelum alam menuntut balas. Cepat atau lambat.
"Bapaaak!" seru seorang anak laki-laki berjaket merah dari seberang sungai. Rivan berlari menyeberangi jembatan bambu. Pak Roy ripuh mengikuti di belakangnya.
Aku berjingkat, refleks melempar rokok yang telah dihisap setengah ke arah jeram.
"Rivan, mau apa ke sini? Baru juga sembuh. Ibu kan melarang kamu ikut Bapak. Nanti kalau dimarahi bagaimana?"
"Rivan sudah izin kok. Ibu bilang boleh. Asalkan Rivan tidak jajan dan langsung mandi setelah sampai di rumah."
Belum sempat aku menanggapi, Rivan panik dan bertanya, "Tadi Bapak merokok ya? Mana rokoknya? Mana?"
"Eh, sudah tidak kok. Rokok yang mana?"
"Iya, tadi Rivan lihat asap banyak. Iya kan, Pak Roy?"
Pak Roy hanya mengendikkan bahu, mencari aman. Menutupi salah tingkah, aku mengajak Rivan ke lapangan mencari teman. Rivan merengek. "Bapak jujur dong, Bapak merokok kan? Nanti Bapak bisa mati."
Seketika alisku terangkat. Ada desiran halus yang merayapi sendi-sendi tulang. "Rivan kok gitu? Iya, Bapak merokok. Tapi cuma sedikit kok. Setelah ini Bapak akan makan sayur yang banyak biar sehat."
Rivan tidak puas, masih sibuk bertanya di mana rokok yang tadi kuhisap. Aku hanya mengatakan, sudah tidak ada. Ia baru berhenti merajuk ketika hujan tiba-tiba deras, menyuruh kami bergegas. Kami berempat disambut di salah satu rumah warga yang memiliki warung tenda di halamannya.
Segelas belimbing kopi panas dan sepiring gorengan, tersaji bersama keramahan. Anak-anak kecil berebut menyalamiku dan berkenalan dengan Rivan. Aku menikmati setiap detik yang berlalu tanpa pikiran-pikiran rusuh. Jeda seperti inilah yang kubutuhkan untuk mengembalikan kewarasan.
Sementara kami bersantai, pemilik warung berjibaku dengan genangan air yang memberatkan atap terpal.
Gemuruh hujan selalu menawarkan banyak wajah. Obat kerinduan, penawar kegelisahan, atau sebaliknya, pembawa masalah besar.Â
Percaya atau tidak, perlakuan alam bereaksi terhadap detail tingkah laku manusia. Semesta terkoneksi melalui cara-cara yang sulit dibayangkan.
Belum lama aku menghela napas lega, terdengar gaduh teriakan. Mengabarkan situasi yang jauh dari menyenangkan. Sungai Kaliran meluap lagi. Tumpukan sampah menutup celah-celah jeruji bar screen. Air yang kebingungan mencari jalan pulang, lantas berkeliaran di permukiman.
Aku terjerembap di lubang waktu, menuju masa lalu. Kulihat, ibuku panik menyelamatkan barang-barang. Adikku yang masih balita menangis dalam dekapan. Aku dan teman-teman melarikan diri dari penderitaan. Memilih bersenang-senang, berenang-renang.
Kami tertawa bahagia saat tersangkut barang-barang hanyut. Sebelah sandal jepit, mainan rusak, bahkan jemuran tetangga. Menyaksikan kucing-kucing berenang. Tikus-tikus berpegang erat pada sebilah kayu mengambang. Dan jika beruntung, ada pula buaya dan ular sebagai bahan membuat keributan.
Hidup sesederhana mengubah bencana menjadi bercanda.
"Alhamdulillah, hujan sudah reda," ucap syukur seorang warga. Menarik kembali fokus pikiranku ke tepi sungai Kaliran. Meninggalkan nostalgia, terendapkan.
Bagai menyibak tirai panggung, perlahan, gumpalan abu-abu berarak menjauh. Langit memberi kami kesempatan untuk berbenah. Mengingat hutang-hutang masa laluku yang belum tuntas, aku segera mengerahkan warga, menjajaki sungai, dan menyingkirkan gunungan sampah yang mengadang aliran air menuju muara.
"Wah, Bapak Walikota yang baru ini baik ya. Mau bersih-bersih sama warga tanpa mengundang wartawan," ujar Ketua RW disambut tawa orang-orang. Kekhawatiran menguap tanpa sisa. Damai berderap hadir di dalam ramai.
Menentramkan, tapi tebersit rasa kehilangan. Sosok Rivan tidak lagi tampak duduk manis di pojok warung tenda. Rivan tidak ada di antara gerombolan anak-anak kampung Kaliran. Rivan tidak ada di mana-mana. Rasa takut menyergapku hingga sulit mengendalikan detak jantung.
"Anak saya mana?" tanyaku pada Pak Roy. Ia mengedarkan pandangan dengan mata membelalak panik. Beberapa orang ikut celingukan. Aktivitas pengerukan sampah, beralih ke pencarian Rivan.
Orang-orang berkeliling, berteriak-teriak memanggil namanya. Anak-anak kampung mengaku tak melihat Rivan lagi selepas hujan mulai reda. Seluruh tubuhku seperti tersengat listrik. Kaku, gemetar, tapi tak mampu berhenti bergerak.
Aku terpeleset lumpur. Terbenam setengah pada kolam sampah di bawah jeram.Â
Pandanganku mengabur kala melihat jaket merah Rivan mengambang tanpa pemiliknya. Tak peduli bau menyengat dan beling-beling menggoresi kulit. Aku mengaduk-aduk sampah laiknya orang kesetanan.
"Ba ... pak ..."
Tertuntun suara Rivan, kakiku melangkah tanpa kesadaran. Ujung mataku menangkap tangan Rivan yang menggenggam erat jeruji besi.
Hatiku tidak lagi merasakan apa-apa. Terlalu banyak kecamuk yang menyiksa.
Seperti gerakan mesin pengeruk, kusingkirkan sampah-sampah yang mengepung tubuhnya. Air mata menetes tanpa bisa kutahan. Aku memeluknya erat, menangis sesenggukan.
"Bapak ... Bapak tidak perlu menangis. Aku sudah menyelamatkan Bapak," bisik anakku.
"Apa ... Rivan ngomong apa?" tanyaku dengan sengguk dan sekat di tenggorokan.
"Waktu bertengkar ... sama Ibu, Bapak sumpah mati ... tidak buang sampah ... di sungai lagi kan. Sekarang Bapak sudah aman ... tidak akan mati," tutur Rivan.
"Jadi ..."
Lemah, Rivan membuka genggaman tangan.
Di sana, tersimpan rokok basah yang sudah dihisap setengah.
.... bersambung.
***
Cerita ini merupakan fragmen kesembilan dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka dengan lebih utuh.
Fragmen 4. 344 Meter per Sekon
Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (1)
Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (2)
Fragmen 8. Segala Andai di Tepi Sungai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H