"Cukup!" Aku membentak. Sebelum ada bantahan, aku berkata lagi. "Kita sudah terlalu lambat membela hak rakyat, apa kita juga mau terlambat dengan kewajiban akhirat? Kita tidak sanggup menanggung beban kota ini jika Tuhan tidak menolong kita lagi!" Aku segera keluar ruangan. Meninggalkan mereka sebelum mendengar bisik-bisik yang sungguh berisik.
Untuk kesekian kali, aku melayang-layang di tanah urukan pulau buatan. Terik matahari tidak cukup panas untuk mencairkan otakku yang membeku. Terdengar sangat remaja dan bisa dibilang lemah, tapi aku merasa benar-benar sendirian. Barangkali juga, sungguh-sungguh kesepian.
"Pak Jajang, itu pekerjanya suruh ke masjid dulu," kataku pada seorang pria besar berkumis tebal yang kukenali sebagai mandor.
"Siap, Pak. Lima menit lagi."
"Ya sudah kalau begitu. Saya duluan."
Aku mempercepat langkah, meninggalkan lokasi yang sungguh membuat frustasi. Sebagai manusia lemah yang dilempari amanah, masjid menjadi suaka ketika aku merasa begitu rendah.Â
Yang aku tahu, dunia ini mudah retas, dan manusia memiliki batas. Ketika banting tulang mengejar salah satunya, kita semakin sulit mengingat bahwa dunia dan akhirat punya hubungan sebab akibat.
Sulit dilihat, tapi mengikat.
Telingaku berdenging.Â
Belum dua belas langkah aku menjauhi pagar pembatas, waktu melambat. Terdengar tiga suara ledakan, disusul hantaman benda keras yang bersahutan.Â
Kayu dengan kayu. Kayu dengan besi. Besi dengan besi. Besi dengan beton. Patah, remuk, diiringi teriakan dan riuh meminta pertolongan.