Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | 344 Meter per Detik #4

14 September 2018   08:53 Diperbarui: 18 September 2018   00:44 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini merupakan fragmen keempat dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka secara lebih utuh.

Fragmen 1. Eksoskeleton

Fragmen 2. Elegi Jasad Renik

Fragmen 3. Metazoa (1)

Fragmen 3. Metazoa (2)

***

Fragmen 4. 344 Meter per Sekon

(Semesta dalam persektif orang ketiga)

Kumandang azan, lonceng gereja, dan doa-doa menjadi suara yang paling sunyi di sini. Orang-orang menolak pertolongan dan bersikeras mengandalkan tenaganya sendiri. Mereka merindukan rumah, tapi melupakan jalan pulang. Udara yang lebih renggang dari biasa, memperlambat getar suara untuk sampai di telinga. Sedangkan hati, sulit dijangkau oleh sekadar bunyi.

"Sebentar, Pak. Tanggung, tinggal sedikit."

"Duluan saja, Pak."

"Baju kotor begini ya tidak bisa ke masjid, Pak."

Aku hanya tersenyum. Tidak pernah bosan menerima penolakan ketika mengajak mereka ke masjid dan berhenti sejenak dari pekerjaan proyek. Khawatir, mungkin bukan istilah yang tepat. Takut, lebih mendekati.

Masalahnya, ini bukan perkara sederhana, menguruk lautan menjadi daratan dan mengusik ekosistem di dalamnya. Rekayasa luar biasa, melawan hukum alam. Ada harga tinggi yang harus dibayar untuk kemaslahatan yang lebih besar. Demi semua itu, aku tidak sanggup berdiri tegak lebih lama. Aku takut memancing murka semesta.

Hingga suatu momen, sekitar lima detik setiap kali peninjauan lokasi proyek, tubuhku terasa ringan. Pijakan kaki di urukan tanah itu penuh ketidakpastian. Merasa asing dengan diri sendiri, namun tidak bisa lari. Menyenangkan, sekaligus menyeramkan. Aku pikir, aku sudah hampir gila menanggung beban kota ini.

"Pak Wira tidak perlu khawatir. Semua aman terkendali. Para engineer kami pasti sudah memperhitungkan segalanya," Mereka mengumbar kata demi membuatku tenang, tapi menghasilkan kondisi berlawanan. Diksi "terkendali", "pasti", dan "segalanya", membuatku merinding. Terdengar pongah dan jumawa. Rasanya, tidak pantas diucapkan manusia.

Barangkali, akan jauh lebih baik jika perasaan ini hanya paranoid tanpa alasan. Tapi, sayang sekali tidak.

Kelak, balasan atas kesombongan akan datang sebelum kami sempat menyesal.

***

Raungan demonstran tak henti bergaung sejak pagi. Tidak bisa dibedakan antara nelayan sungguhan dan massa bayaran. Kepalaku berdenyut sebelum mereka menampakkan diri. Aku tidak sepenuhnya paham hal-hal yang mereka keluhkan. Percuma saja berdialog dengan egoisme. Aku memilih geming, dan mereka semakin bising.

Tipikal, perut yang lapar membuat orang-orang mudah terbakar. Gesekan sedikit bisa berakibat fatal. Nasibku saja harus memimpin sebuah kota yang penuh warga keras kepala. Mereka menuntut perbaikan, tapi garda depan dalam menentang perubahan.

Sudah ratusan kali, lembaran dokumen AMDAL yang belum juga rampung itu kubaca ulang. Tidak ada yang bermasalah. Ratusan nelayan masih dapat melaut, mereka tidak perlu ribut. 

Pendapatan daerah meningkat, tentu saja berimbas pada kesejahteraan rakyat. Banjir yang menjadi peluru untuk menumbangkan pemerintahan akan teratasi, tidak ada bahan makanan bagi serikat pencari kesalahan. Ditambah instalasi untuk ketersediaan air bersih, apa lagi yang kurang?

Lagipula, kami membangun rumah susun khusus nelayan di pulau buatan. Lebih bermartabat dibanding gubuk dengan sanitasi buruk yang dulu mereka huni. Tempat tinggal dengan seng berkarat dan dinding kayu lapuk di sepanjang teluk jelas tidak pantas disebut rumah. Demi harkat dan kehormatan sebagai manusia, anak-anak mereka harus mendapat tempat hidup yang lebih layak.

"Maaf, Pak Wira. Apakah Bapak akan menemui mereka?" tanya seorang pria di ambang pintu yang kubiarkan terbuka. Ia mencoba tenang, namun kalah oleh kepanikan yang sulit disembunyikan.

Aku memunggunginya, tetap geming. Menatap gamang keluar jendela, mengamati sungai manusia dan kemacetan lalu lintas yang menjadikannya penyebab. Dua orator berkoar, menggadang eksistensi sebagai pusat perhatian. Di barisan tengah hingga belakang, puluhan orang khusyuk menikmati nasi bungkus pemberian sponsor, yang cukup rendah hati untuk tidak menunjukkan diri.

"Apa tuntutan mereka?" tanyaku, tanpa mengharap jawaban.

"Seperti sebelumnya. Ganti rugi penurunan hasil tangkapan ikan, ganti rugi penggunaan lahan, pencabutan izin reklamasi, dan modal usaha untuk nelayan yang dipindah ke rumah susun."

Aku tersenyum, mengrenyit. Mudah ditebak. Aku sudah hafal racauan mereka yang menyalahi logika. Maling teriak maling. Mereka seperti anak kecil yang menangis atas hilangnya permen yang tidak pernah mereka miliki.

Pikirkan saja, lahan sepanjang pesisir utara jelas milik pemerintah daerah. Mereka gunakan secara ilegal, kami diamkan puluhan tahun tanpa urusan hukum. Atas nama kepentingan publik, kami rebut kembali dan mereka malah minta ganti rugi?

Lantas perkara penurunan hasil tangkapan ikan, tentu saja cuma akal-akalan. Dari dulu, kualitas maupun kuantitas hasil laut tidak bisa diandalkan. Pemukiman kumuh nelayan penghasil limbah dan sampah membuat ikan-ikan mati dan kabur ketakutan. Atas kerusakan kronis yang mereka timbulkan, mereka menuding kami sebagai antagonis?

Apalagi? Modal usaha dan pencabutan izin reklamasi? Sudahlah, lupakan saja. 

Mereka tidak akan paham jika kami jelaskan. Dalam labirin otak mereka hanya ada uang. Sementara, ini bukan soal hidup segelintir orang, melainkan untuk setiap jiwa di Kota Karagan.

"Bubarkan saja mereka," kataku seraya menghempaskan diri ke kursi. Mengalihkan perhatian dari kegaduhan yang semakin menjadi. Sepenuhnya menyadari, bentrokan tidak bisa dihindari. Lebih baik mereka segera enyah, karena kami tidak akan mengalah.

Praang!!!

Pecahan kaca jendela menghiasi lantai ruangan. Sebongkah batu menggelinding di atas meja, berhenti tepat di bawah gelas kaca. Aku mematung.

Beban di pundak terasa semakin berat, terpikul nyawa kota yang tengah sekarat. Tidak ada pikiran yang benar-benar jernih. Di setiap sudut, hati rakyat perih merintih. Aku memaki, ditertawai jam dinding bisu yang tak pernah berniat menggelontorkan waktu.

Pukul dua siang. 

Tujuh ribu dua ratus sekon terlewatkan sejak gelombang suara dari masjid-masjid memenuhi udara. Panggilan azan tidak lagi ada artinya, seolah tak pernah menggema. Doa-doa hanya pengisi lemari. Senjata ampuh yang menjadi anak tiri.

Mereka sama saja, barisan orang-orang yang merindukan rumah, tapi melupakan jalan pulangnya.

***

Satu, dua, tiga.

Aku menghitung amplop putih berlogo SG yang tergolek di ruang tamu. Kendati berwarna putih, ada horor dan teror yang terkandung di dalamnya.

Serunai Group. Mereka tercipta sebagai kumpulan manusia tanpa kata putus asa. Negosiasi, rayuan, hingga akal bulus, kini beranjak menjadi ancaman serius.

"Ayah, kenapa?" tanya anak sulungku.

"Hei, Reno. Ayah pikir kamu di kampus. Tidak, tidak ada masalah."

"Ayah pikir Reno percaya dengan jawaban begitu?"

Aku tercenung sejenak. Anakku jelas bukan lagi bocah yang bisa dibohongi. Aku tahu dia pandai menebak isi pikiran orang lain, bahkan hampir seahli ibunya. "Tenang saja, Ren. Bukan masalah besar."

Reno mengangkat bahu. "Baiklah."

Beberapa detik, kami berdua geming.

"Sudah sholat, Ren?" tanyaku memecah hening.

Dia menggeleng. "Memang sudah azan ya?"

Aku tertawa. "Kalau Ayah tidak salah, kecepatan suara 344 meter per sekon, Ren. Masjid cuma berjarak 100 meter dari sini. Kamu bisa dengar azan kurang dari sedetik. Apa satu panggilan tidak cukup menggerakkan? Ada beda kerapatan udara ... atau kerapatan hati?"

Reno balas tertawa. "Apa kerapatan hati dan kerapatan udara juga yang membuat Ayah terlambat menyelamatkan rakyat ketika mereka meminta tolong?" Reno menunduk dalam, membubuhi lantai dengan tatapan kosong.

Aku terhenyak, memahami arah pembicaraannya. Masa lalu tidak pernah pergi. Ia menjadi hal rapuh yang siap pecah oleh suara lonceng atau sekadar embusan napas. Meruahkan sakitnya untuk pertaruhan di setiap perasaan.

"Ayah ingat kan dengan Neira? Aku sadar ekspresi Ayah berubah ketika Neira datang. Semudah itukah Ayah memberi harga pada nyawa orang lain?"

Aku menggeleng pelan. Tidak pernah semudah itu. Tidak pernah mudah. Tidak pernah, Ren. Jawabanku tertahan di tenggorokan. Bibirku hanya terbuka tanpa suara.

Reno beranjak pergi.

"Ren ..." Aku memanggilnya pelan.

"Ya?"

"Jangan ... lupa sholat."

"Ya, sudah ada panggilan," jawab Reno penuh arti, berlalu menutup pintu. Suara langkah dan punggungnya yang menjauh menyerupai mata gadis itu. Mendatangkan hantu-hantu. Di genggamanku, satu amplop dari Serunai Group telah kehilangan bentuk. Remuk.

Gemetar, aku memeriksa isinya. Hanya ada secarik kertas dan hal-hal suram tak kasat mata. Tanpa logo perusahaan. Tanpa salam pengantar. Tanpa kata-kata klise seperti surat resmi pada umumnya. Di tengah lembaran berwarna putih itu hanya ada dua simbol yang ditulis dengan tinta merah. Segitiga dan sebuah tanda seru. !

Satu-satunya tempat bagi surat semacam itu hanyalah kotak sampah. Menjadi teman bagi segala bentuk material yang dihindari orang. Bisa karena tidak berguna, berbau busuk, atau penuh penyakit berbahaya. Makanan basi, misalnya.

Aku sudah terlalu sering kalah, tapi kali ini bukan saatnya. Tanah berbentuk segitiga itu tidak akan kuserahkan pada mereka. Gadis itu sudah datang. Ia memijak tanah ini dengan membawa semerbak kenangan tentang seseorang yang hilang.

Tanpa perlu banyak pertimbangan, akan kuserahkan segala yang kumiliki untuknya. Meski harus menantang pembunuh bayaran, aku siap mendongakkan kepala. Menegakkan badan demi membayar sederet dosa.

"Reno, Ayah memang buta, tuli, dan pelupa. Suara rakyat begitu jauh terdengar dari telinga. Itulah alasan foto besar kampung nelayan terpajang di ruang tamu kita. 

Ayah perlu mengingat setiap nyawa yang menjadi martir bagi perbaikan kota. Perbaikan, Reno anakku ... Bukan kekuasaan."

Semua anggaran, tanda tangan, dan perizinan keluar dari ruang kerja walikota demi kebaikan banyak orang. Seluruh penggusuran dan pembangunan hanya kulakukan untuk peradaban yang lebih mapan. 

Siapa yang jahat? Siapa yang serakah?

Kata mereka, sejumlah binatang mendiami kantor pemerintahan. Kenapa binatang-binatang itu duduk di sana? Kami tidak seketika ada. Kami mendapat kursi melalui jari-jari kelingking berlumur tinta hitam.

Memilih dengan sadar atau tidak, seumur hidup kami dipertaruhkan di tiang gantungan. Menjalani hidup dalam tudingan, lantas mati disambut kobaran api. Bisakah kami menghindar?

***

Delapan orang mabuk mengitari meja pualam. Mendendangkan syair berisi investasi dan janji-janji. Aku waras sendiri, karena itu hanya sedikit kata yang bisa aku mengerti. Telingaku malah terganggu oleh gelas-gelas kopi yang ikut menyanyikan lagu bunuh diri. Keberjalanan proyek reklamasi ini seperti mengejek setiap ekspektasi.

Aku melontarkan pertanyaan pada hidangan yang sudah dingin. Aku yang terlalu bodoh atau orang-orang ini yang terlalu lihai mempermainkan situasi? 

Roti-roti itu diam. Aku tahu, ia juga tidak paham.

Infrastruktur dan segala bangunan penunjang memang sesuai dengan rencana di atas kertas. Pusat rekreasi, pertokoan, rumah susun nelayan, fasilitas publik, semua lengkap. Tapi, sejak kapan setiap bangunan dan kegiatan ekonomi dipasangi label harga begitu tinggi? Rakyat miskin tidak akan mampu mencapai semua ini.

Lima detik itu datang lagi. Kali ini, aku melayang lebih tinggi. Dan, lebih asing. Ditambah suara dentum besi bertemu besi yang melatari ucapan Reno. Ia mengulang-ulang kalimat yang sama, Ayah terlambat menyelamatkan rakyat.

Rakyat, rakyat yang mana? Ada berapa rakyat yang bisa selamat dan berapa yang semakin melarat? Apa masalahnya? Kebijakan yang gagal? Pemerintahan yang buruk? Peraturan salah sasaran?

Metazoa, Ayah. Suara Reno kembali terngiang.

Metazoa? Apa maksudnya?

"Bagaimana? Apakah Bapak setuju?"

Aku tersentak. Apa yang perlu disetujui? Aku mencoba menerka, tapi sia-sia. Bisa jadi, aku malah menjatuhkan wibawa sendiri jika salah bicara. "Coba kamu simpulkan dulu poin-poinnya," perintahku pada sekretaris di seberang meja.

Tapi, ternyata kekhawatiranku terlalu berlebihan. Inti pertemuan masih tak lepas dari lingkaran syair investasi dan janji-janji. Bagi hasil antara pemerintah daerah, pemodal, dan sangat sedikit manfaat untuk rakyat. "Kita sholat dulu. Sudah adzan setengah jam lalu."

Aku memutuskan untuk tidak memberi keputusan. Aku malu, merasa dikasihani oleh gelas-gelas kopi dan makanan yang mendingin. Aku bukan hanya sering kalah, tapi juga kerap salah. Kota ini tak lebih dari belukar, tempat ular-ular menjadikannya surga.

"Tapi kita harus segera memberi kepastian pada pemodal, Pak."

"Ini sudah waktu sholat," sahutku dingin. Tampak dari jendela, peluh pekerja bangunan merayakan kehangatan. Mendekap harapan anak kecil dalam tubuh yang kelelahan.

"Dua hari lagi ..."

"Cukup!" Aku membentak. Sebelum ada bantahan, aku berkata lagi. "Kita sudah terlalu lambat membela hak rakyat, apa kita juga mau terlambat dengan kewajiban akhirat? Kita tidak sanggup menanggung beban kota ini jika Tuhan tidak menolong kita lagi!" Aku segera keluar ruangan. Meninggalkan mereka sebelum mendengar bisik-bisik yang sungguh berisik.

Untuk kesekian kali, aku melayang-layang di tanah urukan pulau buatan. Terik matahari tidak cukup panas untuk mencairkan otakku yang membeku. Terdengar sangat remaja dan bisa dibilang lemah, tapi aku merasa benar-benar sendirian. Barangkali juga, sungguh-sungguh kesepian.

"Pak Jajang, itu pekerjanya suruh ke masjid dulu," kataku pada seorang pria besar berkumis tebal yang kukenali sebagai mandor.

"Siap, Pak. Lima menit lagi."

"Ya sudah kalau begitu. Saya duluan."

Aku mempercepat langkah, meninggalkan lokasi yang sungguh membuat frustasi. Sebagai manusia lemah yang dilempari amanah, masjid menjadi suaka ketika aku merasa begitu rendah. 

Yang aku tahu, dunia ini mudah retas, dan manusia memiliki batas. Ketika banting tulang mengejar salah satunya, kita semakin sulit mengingat bahwa dunia dan akhirat punya hubungan sebab akibat.

Sulit dilihat, tapi mengikat.

Telingaku berdenging. 

Belum dua belas langkah aku menjauhi pagar pembatas, waktu melambat. Terdengar tiga suara ledakan, disusul hantaman benda keras yang bersahutan. 

Kayu dengan kayu. Kayu dengan besi. Besi dengan besi. Besi dengan beton. Patah, remuk, diiringi teriakan dan riuh meminta pertolongan.

Hawa dingin menusukku tepat di bawah sengat matahari. Aku sontak menoleh. Kerumunan manusia tidak terbendung. Tidak ada yang bisa kulihat dari jauh, tapi tidak juga berniat mendekat. 

Hanya melihat tidak akan bisa menyelesaikan apa-apa. Aku menyeret langkah menuju masjid di seberang jalan. Tersungkur di sana. Pingsan.

***

Bintang-bintang terlihat dekat. Matahari salah satunya. Siang dan malam berganti ketika kuputarbalikkan telapak tangan. Aku berada di atas awan, menyaksikan nyawa-nyawa berkejaran menuju langit. Ada burung-burung pendiam yang terbang tak beraturan.

Aku mengenali tempat ini sebagai tempat kelahiran. Ada ibu, nenek, dan ibunya nenek tengah memandangiku dari kejauhan. Wajah mereka terlihat sedih. Aku mencoba mendekat, tapi gagal. Aku pikir, aku melayang. Ternyata tidak. Kakiku berpijak. Aku menginjak batu persegi yang gemetaran.

Seekor burung berparuh besar melintas. Kepakan sayapnya mengibaskan awan-awan yang mudah lepas. Tersingkap, di bawah batu persegi yang kupijak, ada tubuh remuk seorang laki-laki. Aku mundur, berbalik, dan terjerembap tanpa ada yang menangkap.

Jatuh bebas.

Jauh.

Kunikmati setiap detik hingga terdengar suara tiga ledakan disusul benda keras yang bertubrukan. 

Kayu dengan kayu. Kayu dengan besi. Besi dengan besi. Besi dengan beton. Patah, remuk, diiringi teriakan dan riuh meminta pertolongan.

Bruk!!

Aku mendarat tanpa rasa sakit dalam ruangan serba putih. Ada istri dan kedua anakku yang memandangi, penuh kecemasan. Mudah diidentifikasi, aku terbaring di rumah sakit.

"Apa yang terjadi di proyek?" tanyaku panik. Suara-suara keras yang memekakkan telinga menjadi satu-satunya memori yang kuingat sebelum hilang kesadaran.

"Ada ledakan pipa gas. Reno belum tahu pasti, tapi ada sekitar lima orang tewas di tempat. Tujuh orang dalam perawatan intensif."

Mataku terpejam, mengumpulkan tenaga. Aku harus segera pergi dari sini. Kuminta istriku memanggil dokter. Aku memaksa melepaskan selang infus.

Dua jam kemudian, aku sudah di mobil dengan Reno dan dua ajudan. Menembus tirai langit yang luruh kemerahan. Kami memasuki halaman proyek reklamasi dalam sambutan kamera dan pertanyaan-pertanyaan klise dari wartawan yang tidak dapat aku dengar. 

Aku mencurigai kerapatan udara. Hanya ada hening dan lagi-lagi, telinga yang berdenging.

Sore ini, sungai manusia bermuara di pantai utara. Dengan sendi tanpa tenaga, aku menapak di tengah ratusan orang yang membawa berbagai rasa. Banyak belasungkawa, lebih banyak yang penasaran saja. 

Matahari buru-buru terbenam. Memendam rahasia yang sudah lama diketahui bersama, dan dendam-dendam.

Bersama hujan malam hari, doa-doa keluar dari lemari. Bising.

Sekali lagi, aku melayang dan semakin merasa asing.

... bersambung ke sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun