Hawa dingin menusukku tepat di bawah sengat matahari. Aku sontak menoleh. Kerumunan manusia tidak terbendung. Tidak ada yang bisa kulihat dari jauh, tapi tidak juga berniat mendekat.Â
Hanya melihat tidak akan bisa menyelesaikan apa-apa. Aku menyeret langkah menuju masjid di seberang jalan. Tersungkur di sana. Pingsan.
***
Bintang-bintang terlihat dekat. Matahari salah satunya. Siang dan malam berganti ketika kuputarbalikkan telapak tangan. Aku berada di atas awan, menyaksikan nyawa-nyawa berkejaran menuju langit. Ada burung-burung pendiam yang terbang tak beraturan.
Aku mengenali tempat ini sebagai tempat kelahiran. Ada ibu, nenek, dan ibunya nenek tengah memandangiku dari kejauhan. Wajah mereka terlihat sedih. Aku mencoba mendekat, tapi gagal. Aku pikir, aku melayang. Ternyata tidak. Kakiku berpijak. Aku menginjak batu persegi yang gemetaran.
Seekor burung berparuh besar melintas. Kepakan sayapnya mengibaskan awan-awan yang mudah lepas. Tersingkap, di bawah batu persegi yang kupijak, ada tubuh remuk seorang laki-laki. Aku mundur, berbalik, dan terjerembap tanpa ada yang menangkap.
Jatuh bebas.
Jauh.
Kunikmati setiap detik hingga terdengar suara tiga ledakan disusul benda keras yang bertubrukan.Â
Kayu dengan kayu. Kayu dengan besi. Besi dengan besi. Besi dengan beton. Patah, remuk, diiringi teriakan dan riuh meminta pertolongan.
Bruk!!