"Ayah, kenapa?" tanya anak sulungku.
"Hei, Reno. Ayah pikir kamu di kampus. Tidak, tidak ada masalah."
"Ayah pikir Reno percaya dengan jawaban begitu?"
Aku tercenung sejenak. Anakku jelas bukan lagi bocah yang bisa dibohongi. Aku tahu dia pandai menebak isi pikiran orang lain, bahkan hampir seahli ibunya. "Tenang saja, Ren. Bukan masalah besar."
Reno mengangkat bahu. "Baiklah."
Beberapa detik, kami berdua geming.
"Sudah sholat, Ren?" tanyaku memecah hening.
Dia menggeleng. "Memang sudah azan ya?"
Aku tertawa. "Kalau Ayah tidak salah, kecepatan suara 344 meter per sekon, Ren. Masjid cuma berjarak 100 meter dari sini. Kamu bisa dengar azan kurang dari sedetik. Apa satu panggilan tidak cukup menggerakkan? Ada beda kerapatan udara ... atau kerapatan hati?"
Reno balas tertawa. "Apa kerapatan hati dan kerapatan udara juga yang membuat Ayah terlambat menyelamatkan rakyat ketika mereka meminta tolong?" Reno menunduk dalam, membubuhi lantai dengan tatapan kosong.
Aku terhenyak, memahami arah pembicaraannya. Masa lalu tidak pernah pergi. Ia menjadi hal rapuh yang siap pecah oleh suara lonceng atau sekadar embusan napas. Meruahkan sakitnya untuk pertaruhan di setiap perasaan.