"Reno, Ayah memang buta, tuli, dan pelupa. Suara rakyat begitu jauh terdengar dari telinga. Itulah alasan foto besar kampung nelayan terpajang di ruang tamu kita.Â
Ayah perlu mengingat setiap nyawa yang menjadi martir bagi perbaikan kota. Perbaikan, Reno anakku ... Bukan kekuasaan."
Semua anggaran, tanda tangan, dan perizinan keluar dari ruang kerja walikota demi kebaikan banyak orang. Seluruh penggusuran dan pembangunan hanya kulakukan untuk peradaban yang lebih mapan.Â
Siapa yang jahat? Siapa yang serakah?
Kata mereka, sejumlah binatang mendiami kantor pemerintahan. Kenapa binatang-binatang itu duduk di sana? Kami tidak seketika ada. Kami mendapat kursi melalui jari-jari kelingking berlumur tinta hitam.
Memilih dengan sadar atau tidak, seumur hidup kami dipertaruhkan di tiang gantungan. Menjalani hidup dalam tudingan, lantas mati disambut kobaran api. Bisakah kami menghindar?
***
Delapan orang mabuk mengitari meja pualam. Mendendangkan syair berisi investasi dan janji-janji. Aku waras sendiri, karena itu hanya sedikit kata yang bisa aku mengerti. Telingaku malah terganggu oleh gelas-gelas kopi yang ikut menyanyikan lagu bunuh diri. Keberjalanan proyek reklamasi ini seperti mengejek setiap ekspektasi.
Aku melontarkan pertanyaan pada hidangan yang sudah dingin. Aku yang terlalu bodoh atau orang-orang ini yang terlalu lihai mempermainkan situasi?Â
Roti-roti itu diam. Aku tahu, ia juga tidak paham.
Infrastruktur dan segala bangunan penunjang memang sesuai dengan rencana di atas kertas. Pusat rekreasi, pertokoan, rumah susun nelayan, fasilitas publik, semua lengkap. Tapi, sejak kapan setiap bangunan dan kegiatan ekonomi dipasangi label harga begitu tinggi? Rakyat miskin tidak akan mampu mencapai semua ini.