Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Metazoa (2) #3

13 September 2018   17:15 Diperbarui: 9 September 2020   18:06 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini merupakan bagian kedua dari fragmen ketiga dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka secara lebih utuh.

Fragmen 1. Eksoskeleton

Fragmen 2. Elegi Jasad Renik

Fragmen 3. Metazoa (1)

*** 

Fragmen 3. Metazoa (2)

Berjalan gontai, perempuan muda berkerudung hitam menatap nanar taman kota di seberang jalan. Tiga mawar merah tergenggam di tangannya. Tanpa ia sadari, tangkai bunga itu ikut memerah, berlumur darah. 

Genggamannya kelewat kuat, membuat duri menusuk terlalu dalam. Kesadarannya terlampau pudar.

Di ujung mata, taman kota tidak pantas lagi menyandang nama. Tanah jingga serupa senja menimbun semak. Serumpun daun pandan berlumur pasir. Serbuk kuning bunga akasia menangisi dahan yang tergeletak mati, usai bertarung dengan gergaji.

Gelombang suara frekuensi tinggi melingkupi atmosfer. Sketsa perempuan muda dan taman kota melebur. Menjadi lukisan abstrak dengan warna-warni magrib yang mengabur. Kuakan gagak menarik jiwaku kembali. Dengan napas tersengal, aku meraba keberadaan otak, jantung, dan ... rasa perih di ujung jari.

Aku meringis, mencengkram duri semakin erat. Gemetar bukan bahasa gentar. Sakit ini tak sebanding dengan kelu hati. Umur kota ini tidak akan lama lagi. Taman, lautan, bahkan permakaman, digerogoti bangunan mewah, menyebar seperti wabah.

Masih gontai, aku menyusuri jalan.

"Darimana, Nei? Kamu tidak biasanya terlambat."

Aku terpekur menatap Pak Wangsa dan Reno. Belum juga masuk ke medan pertempuran, aku sudah kehilangan kekuatan. Lima meter dari tempat kami berdiri, gerbang rumah Pak Wira siap menyambut.

Aku masih tak mengerti mengapa sudi datang kemari. Apalagi, fakta mengatakan bahwa Pak Wira membatalkan penjualan lahan. Reno membujuknya, entah dengan cara apa dan bagaimana.

Reno memandang tanganku, cemas. Mungkin karena darah yang mengalir, atau ia mengenali selaput suram yang menjadikan wajahku muram. Percuma, Reno tak memiliki cukup daya untuk mengubahnya.

Berat, kuikuti langkah mereka berdua. Aku menunduk semakin dalam. Tak sanggup menahan kebencian, saat Pak Wira menunggu dengan senyuman di pintu utama. 

Tiga mawar merah telah kuletakkan di bawah cemara.

"Selamat datang, Neira dan Pak Wangsa."

Aku merinding, serasa memasuki wahana waktu. Bagaimanapun, sepanjang hidup aku menganggap rumah ini sebagai nisan. Tempat nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian Ayah terukir tak kasat mata.

Kakiku kesemutan. Wajah Ayah tidak berhenti berkelebatan.

Apa lagi ini?

Aku terpaku pada wujud pigura besar pada dinding ruang tamu. Bukan foto keluarga, pun lukisan indah seperti rumah orang kaya pada umumnya. Itu foto kampung nelayan sebelum penggusuran. Perahu-perahu utuh dan lautan sampai ke cakrawala.

Kumasuki sebuah ruang hampa. Foto itu memancarkan cahaya. Memproyeksikan seorang anak perempuan menjinjing keranjang rotan berisi ikan. Menuju rumah dengan latar kepakan camar. 

Langit memerah, sore yang menyenangkan. Memberi rasa aman yang hanya bisa dirasakan, sulit digambarkan. Tapi baginya, tak ada suaka terbaik di dunia selain pelukan ibunda. Ia ingin segera pulang.

Seorang perempuan muda menyambut dua dari tiga orang yang dianggapnya sebagai semesta. Satu lagi tak beranjak dari gendongan. Bayi mungil cantik tertawa menyambut saudari dan sang ayah. Semua tampak begitu indah.

Sampai akhirnya, buldoser berdatangan. Mengamuk, mencabik-cabik langit mereka. Tidak ada lagi warna, atau sekadar cahaya. 

Gelap. Dingin. Runtuh.

Aku terseret ke dunia nyata. Pertanyaan demi pertanyaan tidak mau diam. Aku merasa ditertawakan oleh masa lalu dan hantu-hantu.

Mengapa foto itu bertengger di sana? Apa tujuan yang Pak Wira pikirkan? Apakah ia ingin merasa sebagai pemenang? Mungkinkah demi kebanggaan?

Udara begitu sesak, tempurung otak terasa panas. Sejak gegabah hanya akan menjadi masalah, aku terpaksa pasrah. Aku tidak ingin melewatkan momentum, apalagi menghancurkannya.

Kali ini, biarlah kurantai emosi pada cerukan tersembunyi. Aku mencoba berdiplomasi. Kusampaikan dengan gamblang segala kondisi kampung wisata dan harapan kami. Tentu saja, tanpa menatap Pak Wira. Menjaga percikan agar tak sampai membakar.

Dialog berlangsung tanpa ofensif. Aku dan Pak Wangsa bertaruh pada setiap kata-kata kami. Berdoa untuk segera berakhir, tapi waktu justru mengamini teori dilatasi. 

Reno hanya sibuk makan, ongkang-ongkang kaki seperti di rumah sendiri. Eh, benar juga sih. Ini memang rumahnya.

"Maaf, saya memotong pembicaraan. Kamu ... pernah kemari sebelumnya?" Pak Wira menatapku lekat, berusaha mengingat.

Aku tersekat. Bukan saat yang tepat. Emosiku memberontak. Kuarahkan pembicaraan, kembali pada topik kampung wisata. "Jadi bagaimana menurut Bapak, apakah rencana kami bisa dijalankan?"

Pak Wira terkejut pertanyaannya dimentahkan begitu saja. Aku memandang lurus ke meja.

"Saya yakin kamu pernah ke rumah ini," ujar Pak Wira, masih menginginkan jawaban. 

Penjelasan macam apa yang bisa kujabarkan? Haruskah aku mengaku sebagai anak dari sosok martir di bawah cemara? Atau anak yang ia suap untuk meredam dendam?

"Jika Bapak setuju dengan rencana kami, saya yakin kampung wisata akan kembali ramai pengunjung. Kawasan retensi air juga aman tanpa gangguan."

"Ya, ya, kamu tenang saja. Saya setuju. Bisa kamu jawab dulu dimana kita pernah bertemu?"

"Baik. Baguslah, jika Bapak sudah setuju. Kami harus segera kembali, banyak yang harus dikerjakan," Aku berdiri, diikuti Pak Wangsa. Reno bengong, mematung.

"Ya, silahkan. Nanti asisten saya kirim dana yang kalian butuhkan. Saya tunggu kabar baiknya dalam ... dua bulan?"

"Dua setengah bulan," jawabku mantap. Pak Wira mengangguk.

"Kenapa?"

"Sesuai rencana, dua bulan pemulihan keadaan. Lalu, dua minggu pelaksanaan agenda."

"Bukan ... maksud saya, kenapa kamu tidak menjawab saya tadi?"

"Bukankah barusan sudah saya jawab?"

"Bukan pertanyaan itu. Maksud saya ... ah, sudahlah. Selamat bekerja. Saya bangga ada warga kota yang peduli dan memberi solusi."

Aku tersenyum hambar. Tak menyangka Pak Wira setuju tanpa perdebatan berarti. Seperti ada ngengat beterbangan mengganggu mata, mengusik penglihatan. Menampilkan citra yang ganjil. Pak Wira terlihat seperti orang baik.

Tidak, ini pasti sekadar ilusi optik.

***

Tentram. Kampung wisata bernapas tenang dalam cahaya keemasan. Sudah lama damai tak singgah di sini. Vitamin, obat-obatan, dan makanan tambahan siap dalam satu kotak besar bersama peralatan penunjang. 

Penuh ketelatenan, Pak Wangsa menyuntik vaksin untuk dua yatim piatu, Bani dan Banu. Aku mengamati gerak-gerik Pak Wangsa dengan ruap kekaguman. Pada jiwanya, tercium wangi kebijaksanaan.

"Neira, tolong kau berikan makanan tambahan untuk Sinai dan anaknya. Mereka sepertinya sangat lapar," ujar Pak Wangsa, tersenyum melihat Sinai bolak-balik di depan pintu.

Aku menurut. Melangkah menuju Sinai, diiringi riuh rendah dari segala penjuru kampung wisata. Untuk sekian lama, aku direngkuh suasana yang dulu membuatku terpikat.

"Kenapa kamu ingin bertahan di sini?"

Kaget, jantungku tersentak. Aku nyaris berjingkat. Untuk kesekian kali, Reno muncul tanpa suara langkah mendahului. Cocok sekali mendapat peran di film horor, bermodal wajah pucatnya itu.

"Boleh aku beri saran? Sebaiknya kamu memakai lonceng di kaki supaya tidak selalu mengagetkan orang," ujarku kesal.

Reno tersenyum jahil. Detik melambat pada pusaran tatapannya. Menelanku bulat-bulat seperti pasir hisap.

Jangan melawan, matanya bicara.

Segera kualihkan pandangan pada Sinai dan anaknya yang begitu lahap menyantap daging. Ego masih belum rela mengibarkan bendera putih. Hatiku dibungkam kenyataan bahwa Reno adalah anak dari seseorang yang ikut andil dalam ironi kematian Ayah. Hubungan kami tak lebih dari siasat perang.

"Nei, bisakah kamu tidak lari dari pertanyaan?"

"Maksudnya?"

"Saya cuma bertanya satu hal. Kenapa kamu bertahan di sini?"

Aku mengangkat alis. "Sederhana saja, karena kita semua sama. Satu kerajaan dan naungan," tuturku.

Reno mengedarkan pandangan, menatap penghuni kampung seluas jangkauan pandang. Sementara itu, aku menatapnya dengan mata terpejam dan hati penuh kecemasan.

Reno mengangguk-angguk. Aku tidak berharap dia paham.

"Oh iya, ini daftar sekolah yang setuju untuk ikut kontribusi."

Reno menyodorkan selembar kertas. Delapan sekolah dasar, lima PAUD, dan empat sekolah menengah. Lebih dari cukup untuk memicu keramaian kembali.

Masih tanpa ekspresi, aku memandangi langit. Merasakan rintik sejuk turun menyegarkan harapan kami. Kenyataan yang terlalu indah memang sulit diterima sebagai realita.

Tapi, aku harus siap menyambut mereka.

***

Pagi sekali, kampung wisata menjelma cantik layaknya pengantin wanita. Penuh dekorasi bunga, pita, dan balon berbagai warna. Beberapa relawan lama mendapat panggilan spesial untuk melengkapi kemeriahan ini.

Anak-anak, para guru, dan orangtua memenuhi lapangan rumput. Antusias berkeliling dan bermain bersama para penghuni kampung. Untuk sejenak ini, sekuat tenaga kuhalau hantaman godam dari masa lampau. Jika rencana ini berjalan baik, Pak Wira sepakat menyerahkan kampung wisata pada kami.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Pak Wangsa, menunjuk tujuh balon berbentuk huruf. Berwarna emas. Tingginya sekitar satu meter. M-E-T-A-Z-O-A. Terpajang rapi, semanis pagar ayu di gerbang utama.

"Satu kerajaan dan satu naungan. Itu kan maksud kamu?" Reno menyodorkan gelang anyaman bertuliskan kata yang sama. Aku tidak bisa menahan senyum. Tak kusangka ia paham.

Aku menarik napas dalam. Berkas cahaya dari balik pepohonan menyirami kami. Sudah waktunya. Aku meraih pengeras suara dan menggiring tamu-tamu kami menuju aula.

Presentasi sudah disiapkan. Ratusan buklet dibagikan, berisi data dan foto tiap-tiap penghuni kampung. Ditemani debar tak beraturan, aku berdiri di hadapan mereka yang duduk manis, siap mendengarkan.

Lima belas menit pertama, berjalan lancar. Tak ada kendala yang menyurutkan gelombang harapan. Aku ingin mereka menyadari, bahwa setiap penduduk bumi memiliki hak yang sama untuk hidup layak dan sejahtera. Tanpa peduli asal muasal, setiap kita punya andil untuk menjaga keseimbangan. Membuat gangguan pada kehidupan makhluk lain, cukup bagi mereka yang tak paham esensi keberagaman.

Lima belas menit selanjutnya, kubuka lembar utama. Lorong bagi mereka yang ingin menjadi bagian dari misi penyelamatan. Setiap orang berhak memilih penghuni kampung sebagai asuhan. Kami menyebutnya "Sahabat Alam". Dengan donasi setiap bulan, mereka akan mendapat simbol persahabatan Metazoa. Kami akan mengirim foto tumbuh kembang penghuni kampung secara rutin. Reno siap pasang badan menjadi fotografer tanpa bayaran.

"Bagus sekali, Neira. Ini akan membuat orang-orang merasakan keterlibatan. Indah sekali jika setiap tempat bisa menerapkan ini," respons salah satu perempuan setengah baya. Aku mengenalinya sebagai veteriner yang cukup sering datang ke kampung wisata.

Aku terhenyak. Setelah presentasi aku akhiri, berderap langkah mereka menuju meja registrasi Sahabat Alam, berdampingan dengan rumah-rumah penghuni kampung. Mata mereka berbinar, mencari konektivitas pada hati masing-masing untuk menentukan pilihan.

"Ayah, lihat ini. Mereka sangat manis!" Sepasang anak kembar berambut kuncir kuda menggemaskan berlari riang, menghambur ke pelukan ayahnya. Mereka memperlihatkan foto Bani dan Banu yang berpose dengan senyum jenaka.

"Ini simpanse yang kalian pilih? Lucu sekali ya."

"Tidak, jangan sebut simpanse. Mereka punya nama, Bani dan Banu. Mereka kembar, Ayah. Kami sudah bersahabat sekarang," Mereka menunjukkan gelang persahabatan Metazoa dengan bangga.

Di sekitar mereka, puluhan anak lain tersenyum-senyum senang. Melambaikan tangan pada sahabat baru di balik jeruji besi. Beberapa satwa tak berbahaya dibiarkan berkeliaran ditemani seorang pawang.

Foto Sinai dan anaknya yang sedang mengaum mengundang tatapan kagum. Aku lebur. Kedekatan antara penghuni bumi selalu berhasil menghangatkan hati.

Kepedulian, berhasil kami hidangkan dalam Metazoa. Sepadan.

Tidak seharusnya kebun binatang memaksakan hewan sebagai objek hiburan bagi manusia-manusia yang memanggul keangkuhan. Tidak ada lagi jerapah mati karena menelan banyak sampah plastik akibat kelaparan. Tidak boleh ada pengurus kejam yang resah karena gaji belum terbayarkan.

Hanya dengan indra yang bebas dari keserakahan, kami menyatu bersama napas kehidupan. 

Sementara aku masih bertanya-tanya, satu spesies yang saling menyakiti di luar sana, kapankah berhenti dan sadar untuk berbenah diri?

.... bersambung ke sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun