Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Metazoa (2) #3

13 September 2018   17:15 Diperbarui: 9 September 2020   18:06 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku terpaku pada wujud pigura besar pada dinding ruang tamu. Bukan foto keluarga, pun lukisan indah seperti rumah orang kaya pada umumnya. Itu foto kampung nelayan sebelum penggusuran. Perahu-perahu utuh dan lautan sampai ke cakrawala.

Kumasuki sebuah ruang hampa. Foto itu memancarkan cahaya. Memproyeksikan seorang anak perempuan menjinjing keranjang rotan berisi ikan. Menuju rumah dengan latar kepakan camar. 

Langit memerah, sore yang menyenangkan. Memberi rasa aman yang hanya bisa dirasakan, sulit digambarkan. Tapi baginya, tak ada suaka terbaik di dunia selain pelukan ibunda. Ia ingin segera pulang.

Seorang perempuan muda menyambut dua dari tiga orang yang dianggapnya sebagai semesta. Satu lagi tak beranjak dari gendongan. Bayi mungil cantik tertawa menyambut saudari dan sang ayah. Semua tampak begitu indah.

Sampai akhirnya, buldoser berdatangan. Mengamuk, mencabik-cabik langit mereka. Tidak ada lagi warna, atau sekadar cahaya. 

Gelap. Dingin. Runtuh.

Aku terseret ke dunia nyata. Pertanyaan demi pertanyaan tidak mau diam. Aku merasa ditertawakan oleh masa lalu dan hantu-hantu.

Mengapa foto itu bertengger di sana? Apa tujuan yang Pak Wira pikirkan? Apakah ia ingin merasa sebagai pemenang? Mungkinkah demi kebanggaan?

Udara begitu sesak, tempurung otak terasa panas. Sejak gegabah hanya akan menjadi masalah, aku terpaksa pasrah. Aku tidak ingin melewatkan momentum, apalagi menghancurkannya.

Kali ini, biarlah kurantai emosi pada cerukan tersembunyi. Aku mencoba berdiplomasi. Kusampaikan dengan gamblang segala kondisi kampung wisata dan harapan kami. Tentu saja, tanpa menatap Pak Wira. Menjaga percikan agar tak sampai membakar.

Dialog berlangsung tanpa ofensif. Aku dan Pak Wangsa bertaruh pada setiap kata-kata kami. Berdoa untuk segera berakhir, tapi waktu justru mengamini teori dilatasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun