Reno mengedarkan pandangan, menatap penghuni kampung seluas jangkauan pandang. Sementara itu, aku menatapnya dengan mata terpejam dan hati penuh kecemasan.
Reno mengangguk-angguk. Aku tidak berharap dia paham.
"Oh iya, ini daftar sekolah yang setuju untuk ikut kontribusi."
Reno menyodorkan selembar kertas. Delapan sekolah dasar, lima PAUD, dan empat sekolah menengah. Lebih dari cukup untuk memicu keramaian kembali.
Masih tanpa ekspresi, aku memandangi langit. Merasakan rintik sejuk turun menyegarkan harapan kami. Kenyataan yang terlalu indah memang sulit diterima sebagai realita.
Tapi, aku harus siap menyambut mereka.
***
Pagi sekali, kampung wisata menjelma cantik layaknya pengantin wanita. Penuh dekorasi bunga, pita, dan balon berbagai warna. Beberapa relawan lama mendapat panggilan spesial untuk melengkapi kemeriahan ini.
Anak-anak, para guru, dan orangtua memenuhi lapangan rumput. Antusias berkeliling dan bermain bersama para penghuni kampung. Untuk sejenak ini, sekuat tenaga kuhalau hantaman godam dari masa lampau. Jika rencana ini berjalan baik, Pak Wira sepakat menyerahkan kampung wisata pada kami.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Pak Wangsa, menunjuk tujuh balon berbentuk huruf. Berwarna emas. Tingginya sekitar satu meter. M-E-T-A-Z-O-A. Terpajang rapi, semanis pagar ayu di gerbang utama.
"Satu kerajaan dan satu naungan. Itu kan maksud kamu?" Reno menyodorkan gelang anyaman bertuliskan kata yang sama. Aku tidak bisa menahan senyum. Tak kusangka ia paham.