Masih gontai, aku menyusuri jalan.
"Darimana, Nei? Kamu tidak biasanya terlambat."
Aku terpekur menatap Pak Wangsa dan Reno. Belum juga masuk ke medan pertempuran, aku sudah kehilangan kekuatan. Lima meter dari tempat kami berdiri, gerbang rumah Pak Wira siap menyambut.
Aku masih tak mengerti mengapa sudi datang kemari. Apalagi, fakta mengatakan bahwa Pak Wira membatalkan penjualan lahan. Reno membujuknya, entah dengan cara apa dan bagaimana.
Reno memandang tanganku, cemas. Mungkin karena darah yang mengalir, atau ia mengenali selaput suram yang menjadikan wajahku muram. Percuma, Reno tak memiliki cukup daya untuk mengubahnya.
Berat, kuikuti langkah mereka berdua. Aku menunduk semakin dalam. Tak sanggup menahan kebencian, saat Pak Wira menunggu dengan senyuman di pintu utama.Â
Tiga mawar merah telah kuletakkan di bawah cemara.
"Selamat datang, Neira dan Pak Wangsa."
Aku merinding, serasa memasuki wahana waktu. Bagaimanapun, sepanjang hidup aku menganggap rumah ini sebagai nisan. Tempat nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian Ayah terukir tak kasat mata.
Kakiku kesemutan. Wajah Ayah tidak berhenti berkelebatan.
Apa lagi ini?