Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Memahami Gonjang-ganjing Ekonomi dengan Gaya Anak SD

12 September 2018   10:38 Diperbarui: 12 September 2018   10:50 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepanjang pekan, wilayah Bandung Raya mengalami pemadaman listrik bergilir. Kata guru saya, lebih baik menyalakan lilin dari pada merutuki kegelapan. Tapi, saya memilih dua-duanya. Saya menyalakan lilin, dan tetap mengghibahi PLN.

Kendati demikian, saya suntuk sekaligus berterima kasih. Putusnya aliran listrik, membuat saya bernostalgia.

Pasalnya, di Balikpapan, tempat saya lahir dan bertumbuh, pemadaman listrik berperan penting dalam hubungan masyarakat. Ketika itu, orang-orang meninggalkan televisi. Mereka bergegas ganti baju agar menarik hati, keluar rumah, dan mencari teman seperti Chibi Maruko Chan. Sementara itu, di malam hari, kami tidak punya hiburan, selain main bayangan tangan.

Momen ini, lantas membuat saya lebih dekat dengan Bapak. Bercengkrama dan menanyakan banyak hal tidak masuk akal. Di selimuti cahaya lilin, saya pernah bertanya, "Kenapa uang tidak dicetak banyak-banyak saja, jadi bisa dibagi-bagikan?".

Ketika itu, Bapak kesulitan merangkai jawaban. Mencoba menjelaskan dengan istilah cadangan devisa, sektor riil, kebijakan ekonomi, dan teman-temannya. Tapi, mustahil anak kelas dua SD bisa paham.

Setelah berjuang hampir dua jam, saya baru sedikit paham ketika beliau menjawab, "Jumlah uang harus sesuai dengan jumlah barang. Kalau uang banyak, barang dagangannya sedikit, orang-orang mau beli apa?"

Sampai di situ, masalah selesai. Semua baik-baik saja dan listrik belum juga menyala. Lalu, kami tidur kepanasan karena kipas angin belum berputar.

Baru jadi problem lagi, ketika saya mulai dewasa, mencari uang sendiri, dan mengenal konsep riba.

Syukurlah, Pak A. Riawan Amin berkenan menjelaskan dengan bahasa sederhana dalam buku mungil berjudul Satanic Finance. Buku ini bersampul hitam dan sejujurnya, tidak menarik secara visual. Tapi, isinya melebihi ekspektasi. Penjelasannya sungguh rendah hati, berisi, dan mudah dimengerti.

Beliau bercerita, bagaimana pilar-pilar riba mengacaukan stabilitas perekonomian. Dengan piawai, perihal rumit tersebut mampu tersampaikan selevel dongeng untuk dipahami orang awam, bahkan anak-anak SD yang sudah belajar perkalian. Berikut ini saya tulis ulang dan modifikasi tanpa menghilangkan esensi ceritanya:

Bagaimana Gonjang-ganjing Ekonomi Bisa Terjadi? 

Begini...

Konon, di tengah-tengah Samudera Hindia, terdapat dua pulau yang lupa digambarkan dalam peta dunia. Kedua pulau itu bertetangga dan hidup berdampingan dengan bahagia. Sebut saja Pulau Kali dan Pulau Mantan.

Orang-orang di Pulau Kali hidup sejahtera. Hasil alam mereka melimpah ruah. Di sana, terdapat satu gunung emas yang dikelola oleh pihak kerajaan. Mereka mencetak koin emas untuk mempermudah transaksi jual beli yang sebelumnya dilakukan dengan barter.

Ekonomi mereka sehat dan tanpa masalah. Orang-orang Pulau Kali menyukai silaturahim dan menjunjung tinggi budaya tolong menolong. Solidaritas sosial menjadi salah satu hal yang mereka perjuangkan. Ketika salah satu warga mengalami musibah, mereka meminjamkan koin emas dengan sukarela tanpa banyak pertimbangan dan syarat-syarat tambahan.

Tapi... berbeda dengan Pulau Kali, hasil alam Pulau Mantan, sesuai-namanya, tidak bisa diharapkan. Orang-orang Pulau Mantan hidup lebih sederhana. Mereka bertani dan membuat kerajinan tangan. Di Pulau Mantan, masih diberlakukan sistem barter karena mereka tidak punya emas yang cukup untuk bertransaksi.

Kendati demikian, Pulau Kali dan Pulau Mantan senantiasa hidup damai. Mereka saling membantu dan tidak pernah merasa dengki. Kebutuhan pokok terpenuhi dengan baik. Mereka beribadah dan menjalani kehidupan dengan penuh syukur.

Sampai akhirnya, di suatu pagi yang indah, dua orang dari pulau yang jauh, mendatangi Pulau Kali. Mereka berpenampilan layaknya bangsawan, dan membawa banyak koin emas dari berbagai belahan dunia. Mereka mengaku bernama Po dan Hon. Sebagai tamu, mereka disambut dengan baik oleh pihak kerajaan.

Po dan Hon bercerita kepada Raja Pulau Kali tentang kehidupan di pulau yang jauh. Mereka memperkenalkan uang kertas sebagai alat transaksi yang modern dan efisien. Dengan menunjukkan mesin pencetak uang, mereka berkata pada Raja Pulau Kali, "Nanti, foto Anda bisa dipajang di uang kertas ini. Anda akan terkenal dan dikenang sepanjang hayat."

Pernyataan itu membuat jiwa narsistik Raja Pulau Kali terusik. Wajar saja, dia belum mengenal Facebook karena Mark Zuckerberg belum lahir. Dia merasa dihormati oleh Po dan Hon dan menganggap mereka dua orang tamu istimewa. Raja Pulau Kali percaya, bahwa Po dan Hon bisa membawa kehidupan Pulau Kali menjadi lebih modern.

Singkat kata, untuk melaksanakan niat tersebut, sebuah bank didirikan. Gedung putih yang diberi nama Bank Kuang itu, difungsikan untuk menyimpan deposit koin emas warga yang menganggur. Po dan Hon mengatakan, simpanan emas tersebut dapat dipinjamkan pada warga pulau yang memerlukan. Dengan begitu, sumber daya yang ada akan selalu digunakan secara optimal.

Pembukaan Bank Kuang menjadi hari bersejarah bagi Pulau Kali. Mereka datang untuk menukar koin-koin emas dengan uang kertas. Bank Kuang memberi jaminan bahwa mereka bisa menukarkan kembali uang kertas dengan koin emas kapanpun mereka ingin.

Atas jaminan itu, semua warga Pulau Kali menyimpan koin emas mereka di Bank Kuang. 100.000 lembar uang kertas diserahkan, yang artinya Po dan Hon menerima 100.000 koin emas. Orang-orang Pulau Kali begitu bangga menggunakan uang kertas karena merasakan transaksi menjadi lebih mudah dan ringan. Seperti kenangan, koin emas mulai pudar dari ingatan dan sangat jarang ditukarkan.

***

Melalui rumput yang bergoyang, Pulau Mantan mendengar isu mengenai uang kertas di Pulau Kali, hingga mereka menjadi kepo. Raja Pulau Mantan mengirim utusan untuk menemui Po dan Hon. Mereka ingin menerapkan hal yang sama di Pulau Mantan, agar bisa merasakan hidup yang lebih modern dan lebih bergengsi. Diam-diam, pihak kerajaan mengundang Po dan Hon ke pulau mereka.

Kepo, tapi gengsi. Ya, itulah Pulau "Mantan".

Maka, terjadilah pertemuan rahasia antara Raja Pulau Mantan dengan pihak Bank Kuang. Meskipun warga Pulau Mantan tidak memiliki banyak koin emas, Po dan Hon tetap menaruh hormat dan bersikap manis. Mereka mengatakan, "Anda tidak perlu khawatir. Tanpa koin emas pun Anda bisa mendapat kemudahan seperti pulau tetangga."

Ho ho, apa yang terjadi, terjadilah. Yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya.

Mulailah Po dan Hon membagikan uang kertas pada warga Pulau Mantan. 100 kepala keluarga mengantri untuk mendapat 1000 lembar uang/KK. Jadi, total uang yang tersirkulasi di Pulau Mantan mencapai 100,000. Seperti iklan jaringan GSM, mereka memberikan tanda bintang untuk syarat dan ketentuan berlaku.

"Karena kalian semua tidak menyimpan koin-koin emas seperti pulau sebelah, sebagai gantinya, Anda bisa menggunakan uang kertas yang kami bagikan," kata Po dengan intonasi yang terdengar baik hati. Warga Pulau Mantan riuh bertepuk tangan. Mereka bersyukur bisa memiliki harta kekayaan yang sama dengan Pulau Kali.

Hanya saja, perasaan lega itu tidak berlangsung lama. Warga Pulau Mantan seketika hening ketika Hon mengatakan, "Tapi, harap diingat. Uang yang kami bagikan adalah pinjaman. Setahun lagi, Anda harus mengembalikan uang ini plus 100 lembar uang tambahan."

"Apaaaaa? Kenapa gerangan harus ada tambahan 100 lembar? Bagaimana mungkin itu terjadi? Biasanya kan hanya sebesar yang kami pinjam gitu lhooo," sela seorang ibu-ibu yang bersikap drama queen.

Po dan Hon berpandangan dan tersenyum simpatik bagai bintang iklan pasta gigi. "Benar, kalian memang meminjam 1000, yang 100 lembar tambahan adalah untuk membayar jasa yang kami sediakan."

Semua orang terdiam, masih mengganjal, tapi tidak menyangkal. Mereka cukup puas karena bisa memiliki uang kertas. Transaksi mudah, modern, dan setara dengan Pulau Kali.

Hari demi hari, Po dan Hon melihat peluang menjanjikan. Berdasarkan pengamatan, hanya 10 persen uang kertas yang ditukarkan ke koin emas setiap waktu. Sisanya, 90 persen tetap berada di dalam brangkas Bang Kuang.

Akhirnya, Po dan Hon berinisiatif mencetak uang lebih banyak, hingga 800.000. Dengan kalkulasi, jumlah uang kertas di kedua pulau menjadi 1.000.000. Ketika ada yang ingin menukarkan uang kertas dengan koin emas, masih ada 10%, yaitu sebesar 100.000. Dengan begitu, cadangan koin emas masih cukup memenuhi kebutuhan.

Brilian. Bermodal otak cemerlang, mereka menciptakan uang dari kekosongan. Uang sebesar 800.000 itu mereka pinjamkan kepada warga-warga Pulau Kali dan Pulau Mantan yang mulai menjadi konsumtif. Tentu saja dengan tambahan bunga pinjaman hingga mencapai 15%. Artinya, jika seseorang meminjam 1000, maka dalam setahun mereka harus mengembalikan sebesar 1150.

Perlahan tapi pasti, kemudahan itu berubah menjadi bencana. Penduduk pulau mulai merasakan harga-harga barang merangkak naik. Banyak orang pulau yang telah meminjam uang, mengalami gagal bayar. Mereka bekerja keras, tapi tidak bisa mengembalikan uang pada Bang Kuang.

Bayangkan saja, total uang yang dipinjamkan sebesar 900.000. Bila ditambah bunga 15%, akan mencapai 1.135.000. Padahal, total uang yang beredar di Pulau Kali dan Pulau Mantan hanya 1.000.000. Boom!

Ketidakseimbangan ini mengganggu tatanan sosial mereka yang sebelumnya sangat kekeluargaan, menjadi kompetitif. Kehidupan harmonis, tenggang rasa, toleransi, gotong royong, dan semua nilai yang ada di dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan kelas satu SD, semua luntur oleh tuntutan ekonomi.

Semua orang, terutama yang berhutang, bekerja keras demi mendapatkan uang. Mereka tidak lagi mau membantu orang lain tanpa biaya. Terdengarlah slogan time is money, tidak ada yang gratis, dan semacamnya. Po dan Hon hanya tertawa menikmati hasilnya. Mereka mandi uang seperti Paman Gober.

Tidak cukup puas dengan gunungan kekayaan, Po dan Hon melancarkan dua trik lanjutan. Algojo-algojo menyeramkan didatangkan untuk memaksa para penunggak membayar hutang. Caranya, dengan menyita harta benda mereka. Rumah, sawah, ternak, dengan cepat berpindah kepemilikan.

Raja Pulau Mantan, ternyata juga menjadi salah satu penunggak. Po dan Hon, datang bak malaikat dan menawarkan bantuan pinjaman tambahan untuk melancarkan usaha produktif Raja Pulau Mantan. Nelangsa, tentu saja ia tetap gagal membayar.

Tidak kuat menanggung malu, Raja Pulau Mantan menarik diri karena kehilangan wibawa. Po dan Hon semakin sejahtera. Tak hanya uang, mereka juga menguasai hampir semua properti dan kegiatan ekonomi. Bermodal kekuatan itu, Po dan Hon mulai merajai kondisi politik di kedua pulau tersebut.

Kemiskinan menyebar seperti virus H5N1. Orang-orang bekerja keras untuk hasil yang tidak sepadan. Mereka menjadi pekerja dan tidak lagi memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Dunia merampas perhatian mereka, hingga melupakan ajaran-ajaran agama. Lebih parah lagi, mereka mulai kehilangan empati satu sama lain.

Lahirlah perbudakan modern. Kejahatan memenuhi kantor berita, prostitusi semakin marak, dan bisnis haram merajalela. Po dan Hon menguasai budaya, politik, ekonomi. Bahkan agama mereka.

Tanpa angkat senjata, mereka menaklukkan sebuah wilayah. Pulau Kali dan Pulau Mantan kini dihancurkan oleh bom strategik berupa uang kertas tanpa jaminan (fiat money), aturan cadangan 10% (fractional reserve requirement), dan bunga (interest). Perangkap yang dengan intensitas berbeda juga berhasil menciptakan krisis ekonomi di dunia kita.

Hingga saat ini.

***

Mengerikan? Begitulah adanya.

Kondisi yang menimpa Pulau Kali dan Pulau Mantan terasa begitu dekat dan familiar. Cara menyelamatkan diri, salah satunya hidup dengan uang simpanan secukupnya dan menghargai komoditas dari negeri sendiri. Manfaatkan harga, tenaga, dan intelektual yang kita miliki untuk tujuan produktif yang halal.

Percayalah pada Tuhan. Segala sesuatu yang diharamkan seperti riba, gharar, perjudian, tadlis, dan kawan-kawan memang terbukti berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Ditambah lagi zina, minuman memabukkan, dan makanan haram, juga menuntun manusia di jurang kehancuran.

Itulah mengapa, menyuburkan sedekah senantiasa di cintai semesta. Ada nilai silaturahim, ketulusan hati, dan perbaikan sosial yang terkandung di sana.

Maka, sejak harta benda berkonspirasi menggiring kita menuju gonjang-ganjing, pastikan kita memiliki ilmu yang cukup untuk melawannya. Doa dan usaha. Allah tidak pernah meninggalkan kita. 

Akhirul kalam, mari lebih banyak belajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun