Reno berdehem, berusaha menenangkan suasana. Gerakannya canggung, segera pamit. Ia menggiring kami menuju pintu keluar. Aku berbalik.
"Mau apa lagi, Nei? Ini tidak akan ada ujungnya. Kamu tenangkan diri dulu."
Tanganku meraih gelas terdekat, menyiramkan isinya ke tuksedo mahal makhluk-makhluk itu. Hanya kena sedikit. Aku berharap, air putih dapat berubah menjadi NaOH atau air raksa.
Tunggu, kenapa aku jadi jahat juga?
***
"Nei, kalau nanti kampung ini dibakar bagaimana?"
Kekhawatiran Pak Wangsa belum surut sejak tragedi aku khilaf kehilangan kendali. Bukan rahasia bahwa skenario bakar-membakar menjadi cara cepat mengusir hama dari suatu lahan. Menjadikan arus pendek atau ledakan tabung gas sebagai kambing hitam, demi relokasi tanpa kekerasan. Tidak ada yang patut dipersalahkan atas sebuah "kecelakaan".
Tak mendapat respons, Pak Wangsa kembali membungai tanah basah di hadapan kami. Sepasang ibu dan anak gugur, selepas adzan Shubuh tadi. Awal hari ini terlalu sendu untuk dilanjutkan dengan perlawanan. Aku memilih tak banyak bicara, apalagi mengutuk. Tak banyak tenaga yang bisa diandalkan.
Dalam diam, aku menyodorkan sejilid kertas pada Pak Wangsa. Aku merancangnya semalaman. Satu bundel, sepuluh halaman berisi business plan kampung wisata. Dengan serius, Pak Wangsa menelusuri setiap detail, mengangguk-angguk. Memasang ekspresi tak menentu sekitar sepuluh menit, atau lebih dari itu.
"Nei, ini brilian!" seru Pak Wangsa, wajahnya cerah.
"Saya tahu," sahutku datar.