"Kampung akan dijual," ujar Pak Wangsa, pria tua berambut putih yang menghabiskan setengah masa hidupnya mengabdi di kampung wisata. Aku tidak ingin bereaksi. Ini bisa jadi kabar baik, tapi rasanya enggan berekspektasi. Wilayah kampung wisata bukan zona milik pemerintah kota. Lebih buruk dari itu, kami bermukim di atas tanah resmi Pak Wira.
"Kenapa dijual?"
"Sepertinya Pak Wira menyuntik investasi di proyek reklamasi."
"Siapa yang membeli?"
"Serunai Group"
Aku menutup muka. Sampai sudah kami pada kata berpisah. Terbayang duet buldoser dan eskavator menjadikan kami puing di atas tanah. Menyambut kondomonium, apartemen, atau sejenis gedung sampah yang menjulang megah.
Jika beruntung, kami bisa tercatat dalam buku sejarah. Teronggok dalam rak berdebu tebal, di pojok perpustakaan Karagan yang jarang dikunjungi orang. Tabu untuk diretas, kelewat tragis menjadi kisah.
Katakanlah, terlahir keuntungan raksasa, serta banyak lapangan kerja utopia dari rahim perairan yang dirampas menjadi daratan. Untuk siapa? Lingkungan menanggung masalah, para penjajah puas mereguk untung berlimpah.
Tidak, kami tidak boleh terjerat pasrah.
"Neira? Wajahmu tampak seram," tegur Pak Wangsa.
Aku segera menata raut muka. "Kita harus melawan."