"Menolak untuk pergi? Lupakan saja, itu cari mati."
"Kita harus menemui induk semang mereka untuk negosiasi."
Pak Wangsa tertawa renyah, mengusap kepalaku pelan. Aku tersenyum, mempertahankan keyakinan. Pertemuan dengan anak Pak Wira tadi malam, membuatku berambisi meruntuhkan hegemoni mereka mereka di seantero kota.
Huh, Reno Arka Jayanto, generasi pengeruk tanah selanjutnya. Jika dia benar-benar berpikir wajahnya tidak dikenali, kurasa dia polos sekali. Manusia-manusia polos seperti itu bisa disiasati. Aku harus menemuinya lagi.
"Pak, kita bisa memanfaatkan anak walikota."
"Kamu kenal dia?"
"Saya bertemu dia semalam!"
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya suara tak asing dari belakang.
Aku dan Pak Wangsa serentak menoleh. Sosok pemuda berwajah pucat muncul seperti penampakan di siang bolong. Wajah familiar, lengkap dengan senyum menyebalkan yang membuatku mati-matian menahan perasaan.
Tangan pemuda itu menyodorkan sebuah kartu. Tanda pengenal relawan kampung wisata. Tercantum foto dan namaku di sana. Dia jadi tidak sepolos yang kukira.
"Saya mau mengembalikan ini. Terjatuh tadi malam."