Kedua makhluk dari Serunai Group berpandangan, menyeringai seram. Menyodorkan desain lanskap di layar smartphone yang tampak lebih smart dari pemiliknya. Menampilkan jajaran vila, kolam renang, dan berbagai elemen klise lain. Pandanganku memburam.
"Infrastruktur existing dikemanakan?" tanyaku tidak sabar.
"Dengan berat hati, hampir semua kami ratakan," jawab salah satu makhluk dengan hati-hati.
Aku tersenyum sinis. Apa tidak salah dengar? Dia bilang berat hati? Berat hati gundulmu! Kalian cuma tahu cara menyemai ladang uang. Kalian pasti akan mengusir kami dengan riang.
"Apakah kampung wisata kami tidak bisa dipertahankan?"
"Dengan penghuni yang 80% tengah sekarat? Jangan bercanda."
Tanganku mengepal, geram meninju kursi. Terlintas rencana untuk berlatih memanah atau menyewa sniper. Sekuat tenaga aku mengendalikan diri, memilah kata-kata untuk dimuntahkan. Percuma. Aku muak dengan etika kesopanan ala pebisnis ini.
"Jadi, kalian cuma mau uang?! Kami juga bisa menghasilkannya jika sarana prasarana direvitalisasi. Saya yakin, buang-buang duit jika kalian membangun ulang. Lebih hemat jika memperbaiki aset yang ada. Lagipula, kalian tega kematian terus mendekam di sana? Kalian punya hati? Oh, saya lupa. Hati kalian jauh lebih kecil dibandingkan rekening kalian!"
Mendadak, rona wajah durjana dua makhluk itu membara seperti obor kilang minyak. Kepalaku tegak, bagai kobra siap tarung. Pak Wangsa waspada. Mungkin, ia khawatir kami akan dihajar oleh dua algojo di depan pintu. Tidak akan sulit membopong wanita berbadan kecil dan pria tua kurus kering. Aku sadar, satu-satunya alasan kami masih hidup adalah karena membawa anak walikota Karagan.
"Reno, Reno ... bisa-bisanya kamu dukung gerakan sok pahlawan seperti ini."
Kalimat itu terlontar ringan dari mulut pesut berdasi merah. Menjalar dari telinga menuju lobus temporal, kudengar gemuruh genderang perang. Aku refleks berdiri, menghentak meja. Rahangku kaku seperti Moai yang terpahat dari batu.