Mohon tunggu...
Nurul fatimah
Nurul fatimah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Dengan menulis kita bisa mengabadikan semua waktu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengulas Kembali Penegakan Hukum Administrasi Negara

20 Maret 2021   07:13 Diperbarui: 20 Maret 2021   07:22 7856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penegakan hukum administrasi Negara yaitu suatu upaya yang dilakukan untuk menjadikan kewajiban dari aparatur Negara untuk mengatur hubungan Negara dengan masyarakat yang mempunyai tujuan bersama. Dalam penegakan hukum administrasi Negara  ada faktor yang mempengaruhi terjadinya penegakan hukum seperti instansi aparatur Negara yang berperan sebagai sarana dan prasarana pendukung mekanisme kerja kelembagaan.

Dalam pembahasan pada Penegakan hukum administrasi Negara jugga terdapat kebijakan yang di dalamnya terdapat sanksi apabila suatu kebijakan itu di langgar atau di ingkari. Sanksi tersebut akan berhasil jika hukum yang ditetapkan tegas. Karena sanksi merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum, hal ini merupakan suatu bentuk pemaksaan dari administrasi Negara (pemerintah) terhadap warga Negara dalam hal adanya perintah-perintah, kewajiban-kewajiban, atau larangan-larangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang diketahui oleh administrasi Negara (pemerintah).

Dalam lingkup hukum administrasi Negara pemerintah dapat memakasa apabila terjadi suatu pelanggaran , ini sebuah bentuk dari sangsi administratif yaitu suatu perangkat hukum yang bersifat pembebanan kewajiban, sangsi administrasi yang dapat dikenakan terhadap pelanggar perizinan dapat berupa paksaan pemerintah, penarikan kembali keputusan yang menguntungkan, penegakan uang paksa oleh pemerintah pengenaan denda administratif.

Sanksi Administrasi dalam Rangka Penegakan Hukum Administrasi Negara

Menurut Ridwan H.R., hukum merupakan sarana yang di dalamnya terkandung nilai atau konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya. Kandungan hukum ini bersifat abstrak. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide atau konsep yang abstrak itu. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah/pandangan nilai yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai social engineering), memelihara dan mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati. (Sahya, 2018:131).

Jika hakikat penegakan hukum itu mewujudkan nilai atau kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum tidak hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Penegakan hukum merupakan proses yang melibatkan banyak hal. Oleh karena itu, keberhasilan penegakan hukum akan dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Secara umum, sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang memengaruhi penegakan hukum, yaitu:

  • hukum itu sendiri;
  • penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk ataupun yang menerapkan hukum;
  • sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
  • masyarakat, yaitu lingkungan tempat hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
  • kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan karena merupakan esensi dari penegakan hukum serta merupakan tolok ukur efektivitas penegakan hukum. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa agar hukum berjalan atau dapat berperan dengan baik dalam kehidupan masyarakat, harus diperhatikan hal-hal berikut.[1]

  • Problem yang dihadapi sebaik-baiknya termasuk di dalamnya mengenali dengan saksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut.
  • Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam hal social engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti tradisional, modern, dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor yang dipilih.
  • Hipotesis-hipotesis dan memilih yang paling layak untuk dapat dilaksanakan.
  • Jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.

J.B.J.M. ten Berge menyebutkan beberapa aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam rangka penegakan hukum, yaitu:

  • peraturan tidak membiarkan ruang bagi perbedaan interpretasi ketentuan perkecualian harus dibatasi secara minimal; peraturan diarahkan pada kenyataan yang secara objektif dapat ditentukan;
  • peraturan harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang terkena peraturan itu dan mereka yang dibebani dengan (tugas) penegakan (hukum).

 Sanksi Administrasi

Dalam suatu negara hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan agar pemerintah menjalankan aktivitasnya sesuai dengan norma-norma hukum, sebagai suatu upaya preventif, dan dimaksudkan untuk mengembalikan pada situasi sebelum terjadinya pelanggaran norma-norma hukum, sebagai suatu upaya represif. Pengawasan segi hukum dan segi kebijaksanaan terhadap tindakan pemerintah dalam hukum administrasi negara adalah dalam rangka memberikan perlindungan bagi rakyat. (Sahya, 2018:133)

Sanksi merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum. Hal ini merupakan suatu bentuk pemaksaan dari administrasi negara (pemerintah)terhadap warga negara dalam hal adanya perintah-perintah, kewajiban-kewajiban, atau larangan-larangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh administrasi negara (pemerintah). (Fauzani Raharja, 2014:107)

Menurut Krabe dikutip dari Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Dasar-Dasarnya, negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukum membawahi negara. Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari kesadaran hukum rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang. (Thahira, 2020:261)

Macam-Macam Sanksi Administrasi

Ada beberapa tujuan pencantuman dan penerapan ketentuan sanksi dalam peraturan perundang-undangan, termasuk sanksi administratif. Pertama, sebagai upaya penegakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa suatu norma yang mengandung larangan, perintah (keharusan), atau keharusan pada umumnya akan mengalami kesulitan dalam penegakannya apabila tidak disertai dangan sanksi. (Setiadi, 2009:607). Secara umum, dikenal beberapa macam sanksi dalam hukum administrasi, yaitu:[1]

  • Paksaan pemerintahan (bestuursdwang) ;
  • Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, subsidi, pembayaran, dan sebagainya);
  • Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom);
  • Pengenaan denda administratif (administratieve boete).

Macam-macam sanksi tersebut tidak selalu dapat diterapkan secara keseluruhan pada suatu bidang administrasi negara tertentu. Sanksi paksaan pemerintahan, misalnya tidak dapat diterapkan dalam bidang kepegawaian dan ketenagakerjaan. Akan tetapi, dapat terjadi dalam suatu bidang administrasi diterapkan lebih dari keempat macam sanksi tersebut, seperti dalam bidang lingkungan. Pemahaman terhadap berbagai sanksi tersebut penting dalam kajian hukum administrasi karena menyangkut bukan hanya tentang efektivitas penegakan hukum, cara pemerintah menggunakan kewenangannya dalam menerapkan sanksi, dan prosedur penerapan sanksi, melainkan juga untuk mengukur norma-norma hukum administrasi yang di dalamnya memuat sanksi telah sesuai dibuat dan relevan diterapkan di tengah masyarakat. (Sahya, 2018:138)

Menurut Krabe dikutip dari Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Dasar-Dasarnya, negara sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukum membawahi negara. Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari kesadaran hukum rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang. (Thahira, 2020:261)

 Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang/Politiedwang)

Bestuursdwang atau paksaan pemerintahan merupakan salah satu bentuk tindakan nyata dari pemerintah untuk mengakhiri pelanggaran dan membalikan pada keadaan semula. Bestuursdwang merupakan salah satu bentuk dari sanksi administratif. Sanksi administratif adalah perangkat sarana hukum administratif yang bersifat pembebanan kewajiban pemerintah dan/atau penarikan kembali keputusan tata usaha negara yang dikenakan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas dasar ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan. P. de Haan, dkk, berpendapat bahwa penggunaan sanksi administratif sebagai kewenangan pemerintah yang berasal dari hukum administrasi tertulis maupun tidak tertulis. (Karim, t.t:3).

Berdasarkan UU Hukum Administrasi Belanda, paksaan pemerintahan merupakan tindakan nyata yang dilakukan oleh organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalanghalangi, memperbaiki pada keadaan semula yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. (Sahya, 2018:139)

Berkenaan dengan paksaan pemerintahan ini, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek mengatakan sebagai berikut. Kewenangan paling penting yang dapat dijalankan oleh pemerintah untuk menegakkan hukum administrasi materiel adalah paksaan pemerintahan. Organ pemerintahan memiliki wewenang untuk merealisasikan secara nyata kepatuhan warga, jika perlu dengan paksaan, terhadap peraturan perundang-undangan tertentu atau kewajiban tertentu.

Kewenangan paksaan pemerintahan dapat diuraikan dengan sebagai kewenangan organ pemerintahan untuk melakukan tindakan nyata mengakhiri situasi yang bertentangan dengan norma hukum administrasi negara karena kewajiban yang muncul dari norma itu tidak dijalankan atau sebagai reaksi dari pemerintah atas pelanggaran norma hukum yang dilakukan warga negara. Paksaan pemerintahan dilihat sebagai suatu bentuk eksekusi nyata, dalam arti langsung Salah satu ketentuan hukum yang ada adalah bahwa pelaksanaan bestuursdwang atau paksaan pemerintahan wajib didahului dengan surat peringatan tertulis, yang dituangkan dalam bentuk KTUN. Surat peringatan tertulis ini harus berisi hal-hal berikut.[2] 

  • Peringatan Harus Definitif 
  • Paksaan pemerintahan sama dengan keputusan tata usaha negara lain, berlaku sebagai syarat umum bahwa ia harus bersifat definitif. Jadi, keputusan untuk apabila perlu akan bertindak bagi organ pemerintahan sudah harus pasti. Hal ini harus ternyata dari formulasi yang pasti dan dari penyebutan pasal-pasal yang memuat paksaan pemerintahan.
  • Organ yang berwenang harus disebut
  • Peringatan harus memberitahukan organ berwenang yang memberikannya. Apabila tidak demikian, peringatan tidak dianggap sebagai keputusan TUN, dan pembanding tidak dapat diterima.
  • Peringatan harus ditujukan kepada orang yang tepat
  • Peringatan harus ditujukan pada orang yang sedang atau telah melanggar ketentuan undang-undang, dan yang berkemampuan mengakhiri keadaan yang terlarang itu. Dalam banyak hal, peringatan harus ditujukan pada pemilik sesuatu benda, tetapi dalam beberapa hal (sekaligus) pada penyewa atau pemakai benda tersebut.
  • Ketentuan yang dilanggar jelas
  • Harus dinyatakan dengan jelas ketentuan yang telah atau akan dilanggar.
  • Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas
  • Syarat ini muncul dari yurisprudensi, yaitu pembeberan yang jelas dari keadaan atau tingkah laku yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Jadi, yang menjadi soal di sini adalah aspek nyata dari pelanggaran.
  • Peringatan harus memuat penentuan jangka waktu
  • Pemberian beban harus ternyata dengan jelas jangka waktu yang diberikan kepada yang bersangkutan untuk melaksanakan beban itu. Jangka waktu harus mempunyai titik permulaan yang jelas. Jangka waktu tidak boleh digantungkan pada kejadian-kejadian tidak pasti pada kemudian hari dilaksanakan tanpa perantaraan hakim (parate executie), dan biaya yang berkenaan dengan pelaksanaan paksaan pemerintahan ini secara langsung dapat dibebankan kepada pihak pelanggar.
  • Pemberian beban jelas dan seimbang
  • Pemberian beban harus jelas dan seimbang. Beban tidak boleh memuat samar. Selain itu, beban tidak boleh tidak seimbang dengan keadaan atau tingkah laku terlarang dan harus dapat dilaksanakan.
  • Pemberian beban tanpa syarat
  • Pemberian beban harus tidak bersyarat. Dari sudut kepastian hukum, pemberian beban tidak boleh bergantung pada kejadian tidak pasti pada kemudian hari.
  • Beban mengandung pemberian alasannya
  • Pemberian beban harus ada alasannya. Titik tolaknya adalah bahwa peringatan sama seperti keputusan memberatkan lainnya, harus diberi alasan yang baik.
  • Peringatan memuat berita tentang pembebanan biaya
  • Pembebanan biaya paksaan pemerintahan harus dimuat dalam surat peringatan.
  • Penarikan Kembali KTUN yang Menguntungkan

Ketetapan yang menguntungkan (begunstigende beschikking), artinya ketetapan itu memberikan hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu melalui ketetapan atau apabila ketetapan itu memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin ada. Lawan dari ketetapan yang menguntungkan adalah ketetapan yang memberikan beban (belastende beschikking), yaitu ketetapan yang meletakkan kewajiban yang sebelumnya tidak ada atau penolakan terhadap permohonan untuk memperoleh keringanan.

Sanksi penolakan ini dalam HAN adalah pencabutan atau penarikan Sanksi penolakan ini dalam HAN adalah pencabutan atau penarikan KTUN yang menguntungkan. Pencabutan ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan yang terdahulu. Penarikan kembali ketetapan yang menguntungkan berarti menghilangkan hak-hak yang terdapat dalam ketetapan itu oleh organ pemerintahan. Sanksi ini termasuk sanksi berlaku ke belakang (regressieve sancties), yaitu sanksi yang mengembalikan pada situasi sebelum ketetapan itu dibuat.

Dengan kata lain, hak dan kewajiban yang timbul setelah terbitnya ketetapan tersebut menjadi hapus atau tidak ada sebagaimana sebelum terbitnya ketetapan itu, dan sanksi ini dilakukan sebagai reaksi terhadap tindakan KTUN yang menguntungkan. Pencabutan ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan yang terdahulu. Penarikan kembali ketetapan yang menguntungkan berarti menghilangkan hak-hak yang terdapat dalam ketetapan itu oleh organ pemerintahan. Sanksi ini termasuk sanksi berlaku ke belakang (regressieve sancties), yaitu sanksi yang mengembalikan pada situasi sebelum ketetapan itu dibuat bertentangan dengan hukum (onrechtmatig gedrag). Sanksi penarikan kembali KTUN yang menguntungkan diterapkan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga dapat terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh pelanggar. Pencabutan suatu keputusan yang menguntungkan itu merupakan sanksi yang situatif. Lagi  dikeluarkan bukan dengan maksud sebagai reaksi terhadap perbuatan yang tercela dari segi moral, melainkan dimaksudkan untuk mengakhiri keadaan-keadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi.

Kaidah HAN memberikan kemungkinan untuk mencabut KTUN yang menguntungkan sebagai akibat dari kesalahan penerima KTUN sehingga pencabutannya merupakan sanksi baginya. Sebab-sebab pencabutan KTUN sebagai sanksi adalah sebagai berikut.[3]

  • Pihak yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan, syarat, atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izin, subsidi, atau pembayaran.
  • Pihak yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin, subsidi, atau pembayaran telah memberikan data yang tidak benar atau tidak lengkap sehingga apabila data itu diberikan secara benar atau lengkap, keputusan akan berlainan (misalnya, penolakan izin, dan sebagainya).

Ateng Syafrudin menyebutkan empat kemungkinan suatu ketetapan itu ditarik kembali, yaitu sebagai berikut.

  • Asas kepastian hukum tidak menghalangi penarikan kembali atau perubahan suatu keputusan apabila sesudah sekian waktu dipaksa oleh perubahan keadaan atau pendapat.
  • Penarikan kembali atau perubahan juga mungkin apabila keputusan yang menguntungkan didasarkan pada kekeliruan, asalkan kekeliruan itu dapat diketahui oleh yang bersangkutan.
  • Penarikan kembali atau perubahan dimungkinkan apabila yang berkepentingan dengan memberikan keterangan yang tidak benar atau tidak lengkap telah ikut menyebabkan terjadinya keputusan yang keliru.
  • Penarikan kembali atau perubahan dimungkinkan apabila syarat atau ketentuan yang dikaitkan pada suatu keputusan yang menguntungkan tidak ditaati.

Dalam penarikan suatu ketetapan (beschikking) yang telah dibuat harus diperhatikan asas-asas berikut.[4]

  • Yang berkepentingan menggunakan tipuan senantiasa dapat dihilangkan ab ovo (dari permulaan tidak ada).
  • Isinya belum diberitahukan kepada yang bersangkutan. Jadi, suatu ketetapan yang belum menjadi perbuatan yang benar-benar dalam pergaulan hukum dapat dihilangkan ab ovo.
  • Bermanfaat bagi yang dikenainya dan yang diberikan pada yang dikenai itu dengan beberapa syarat tertentu, dapat ditarik kembali pada waktu yang dikenai tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan itu.
  • Bermanfaat bagi yang dikenai tidak boleh ditarik kembali setelah sesuatu jangka tertentu sudah lewat, apabila menarik kembali, suatu keadaan yang layak di bawah kekuasaan ketetapan yang bermanfaat itu (setelah adanya menarik kembali tersebut) menjadi keadaan yang tidak layak.
  • Ketetapan yang tidak benar, diadakan suatu keadaan yang tidak layak. Keadaan ini tidak boleh dihilangkan apabila menarik kembali ketetapan yang bersangkutan membawa pada yang dikenainya suatu kerugian yang sangat besar daripada kerugian yang diderita negara karena keadaan yang tidak layak tersebut.
  • Menarik kembali atau mengubah suatu ketetapan harus diadakan menurut acara (formalitas) yang sama sebagai yang ditentukan bagi membuat ketetapan itu (asas contrarius act us).

Pengenaan Uang Paksa (Dwangsom)

Menurut N.E. Algra, uang paksa sebagai "hukuman atau denda", jumlahnya berdasarkan syarat dalam perjanjian, yang harus dibayar karena tidak menunaikan, tidak sempurna melaksanakan, atau tidak sesuai waktu yang ditentukan; dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti iykerugian, kerusakan, dan pembayaran bunga. Dalam hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan. Pengenaan uang paksa merupakan alternatif untuk tindakan nyata, yang berarti sebagai sanksi "subsidiaire" dan dianggap sebagai sanksi reparatoir. Persoalan hukum yang dihadapi dalam pengenaan dwangsom sama dengan pelaksanaan paksaan nyata. Dalam kaitannya dengan KTUN yang menguntungkan seperti izin, pemohon izin disyaratkan untuk memberikan uang jaminan. Jika terjadi pelanggaran atau pelanggar (pemegang izin) tidak segera mengakhirinya, uang jaminan itu dipotong sebagai dwangsom. Uang jaminan ini lebih banyak digunakan ketika pelaksanaan bestuursdwang sulit dilakukan. (Sahya, 2018:139)

Sebagai pengganti paksaan pemerintahan, pengenaan uang paksa hanya boleh dibebankan jika pada dasarnya paksaan pemerintahan dapat diterapkan. Uang paksa yang dibebankan tersebut akan hilang untuk tiap kali pelanggaran atau untuk tiap hari pelanggaran (sesudah waktu yang ditetapkan) masih berlanjut. Sebagai sanksi alternatif maka pengenaan uang paksa harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur sanksi ini. Dengan demikian, sanksi ini tidak dapat diterapkan, karena tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. (Rondonuwu, 2018:193)

Pengenaan Denda Administratif

Sanksi administrasi yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran perizinan dapat berupa paksaan Pemerintahan (bestuurdwang), penarikan kembali keputusanyang menguntungkan, pengenaan uang paksa oleh Pemerintah (dwangsom), pengenaan denda administratif (administratif boete). (Aji, 2019:1)

Denda administrasi tidak lebih dari sekadar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti, terutama denda administrasi yang terdapat dalam hukum pajak. Bagaimanapun, organ administrasi dapat memberikan hukuman tanpa perantaraan hakim. Pengenaan denda administratif tanpa perantaraan hakim ini tidak berarti pemerintah dapat menerapkannya secara arbitrer (sewenang-wenang). Pemerintah harus tetap memerhatikan asas-asas hukum administrasi, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Peradilan Semu (moot court)

Moot court Secara etimologis mengandung arti yaitu, "moot" dapat diartikan sebagai "dapat diperdebatkan" atau "semu," dan "court" dapat diartikan sebagai "pengadilan/peradilan." Dengan demikian, apabila dirangkaikan, "moot court" dapat berarti "peradilan yang dapat diperdebatkan." Dalam perkembangannya sekarang ini, moot court dikenal sebagai peradilan semu. Moot court memberikan tambahan belajar bagi mahasiswa Fakultas Hukum untuk mengembangkan diri, terutama perwujudan konkrit dari matakuliah-matakuliah hukum acara. Meskipun belum sepenuhnya benar, tapi proses belajar yang dialami mahasiswa dapat diupayakan untuk mengerti lebih jauh mengenai kebiasaan-kebiasaan praktek beracara. Seperti Tugas hakim, jaksa, penasehat hukum, dan bahkan kedudukan terdakwa serta saksi-saksi di pengadilan menarik untuk digali dan dicerna sisi-sisi ilmiahnya. Mahasiswa yang belajar di dalam moot court mencernakan pelajaran yang ia dapat selama kuliah, menganalisis kasus dan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan oleh penegak hukum dalam upaya menangani kasus-kasus. Tentu saja dengan demikian moot court sendiri memberikan peluang bagi mahasiswa untuk berkarya, mencoba-coba, dan sekaligus "pura-pura" menjadi penegak hukum sesungguhnya. Mereka dapat menjadi hakim, jaksa, penasehat hukum, dan bahkan saksi dan terdakwa dalam suatu acara pengadilan. Moot court juga berisi mengenai perdebatan-perdebatan akademis mengenai telaah kasus-kasus fiksi dan nonfiksi yang dilihat berdasarkan analisis dalam kerangka yuridis normatif berdasarkan teori-teori hukum yang mahasiswa dapatkan selama kuliah. Perlahan tapi pasti mahasiswa diperhadapkan pada tataran ideal kekuatan peradilan yang dapat memutus perkara mengenai berbagai kasus yang terjadi. Kemampuan untuk membuat atau praktek membuat berkas-berkas yang diperlukan untuk beracara di pengadilan dipertaruhkan bagi mahasiswa Fakultas Hukum di dalam moot court. Surat dakwaan, surat tuntutan, putusan hakim, pembelaan, adalah beberapa di antara berbagai berkas yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan acara peradilan.[5] 

PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)

PTUN singkatan dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[6]

Stuktur Peradilan Tata Usaha Negara

  • Pengadilan Tata Usaha Negara, berkedudukan di ibu kota kabupaten/kokta, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota
  • Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, berkedudukan di ibu kota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi.
  • Pengadilan khusus, yaitu Pengadulan Pajak yang berkedudukan pada ibu kota negara.

Sejarah Peradilan Tata Usaha Negara

Pada Masa Hindia Belanda, Pengadilan Tata Usaha Negara dikenal dengan sistem administratief. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa UUDS 1950, dikenal tiga cara penyelesaian sengketa administrasi, yaitu:

1. Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;

2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;

Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.

Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa administrasi negara semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara di mana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya administratif.

Perubahan UUD 1945 membawa perubahan mendasar mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, dan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Konsekuensi dari perubahan ini adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Sebelumnya, pembinaan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah eksekutif, yakni Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan HAM. Terhitung sejak 31 Maret 2004, organasi, administrasi, dan finansial PTUN dialihkan dari Departemen Kehakiman dan HAM ke Mahkamah Agung.

Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian, aset, keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada di bawah Mahkamah Agung.[7]

Tugas Pokok Peradilan Tata Usaha Negara

  • Menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta), dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor: 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan ketentuan dan ketenuan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, serta petunjuk-petunjuk dari Mahkamah Agung Republik Indonesia (Buku Simplemen Buku I, Buku II, SEMA, PERMA, dll).
  • Meneruskan sengketa-sengketa Tata Usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) yang berwenang.
  • Peningkatan kualitas dan profesionalisme Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta), seiring peningkatan integritas moral dan karakter sesuai Kode Etik dan Tri Prasetya Hakim Indonesia, guna tercipta dan dilahirkannya putusan-putusan yang dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum dan keadilan, serta memenuhi harapan para pencari keadilan (justiciabelen).
  • Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Peradilan guna meningkatan dan memantapkan martabat dan wibawa Aparatur dan Lembaga Peradilan, sebagai benteng terakhir tegaknya hukum dan keadilan, sesuai tuntutan Undang-Undang Dasar 1945.
  • Memantapkan pemahaman dan pelaksanaan tentang organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, sesuai Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: KMA/012/SK/III/1993, tanggal 5 Maret 1993 tentang Organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
  • Membina Calon Hakim dengan memberikan bekal pengetahuan di bidang hukum dan administrasi Peradilan Tata Usaha Negara agar menjadi Hakim yang profesional.

Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara

  • Melakukan pembinaan pejabat struktural dan fungsional serta pegawai lainnya, baik menyangkut administrasi, takhnis, yustisial maupun administrasi umum.
  • Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai lainnya.
  • Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman.

Bentuk objek dan subjek sengketa

Beberapa bentuknya antara lain Keputusan Tata Usaha Negara dan Tindakan Administrasi Pemerintahan. Terkait dengan tindakan administrasi pemerintahan, berdasarkan pada Pasal 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara bahwa apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya. Maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan, sedangkan jangka waktu yang seharusnya telah lewat, maka badan atau pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

Subjek dari sengketa tata usaha negara antara lain perseorangan/individu atau badan privat (sebagai pihak Penggugat), dan di lain pihak pejabat dan/atau lembaga pemerintahan negara yang berwenang sebagai pihak Tergugat. Di samping adanya Para Pihak (yang berkedudukan sebagai Subyek Hukum), terdapat apa dikenal sebagai objek sengketa dari para pihak yaitu Keputusan Administrasi Pemerintahan (berdasarkan pengertian Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang 30 tahun 2014) dan Tindakan Administrasi Pemerintahan (Pasal 1 Angka 8 Undang-undang No. 30 tahun 2014).

Citations

Aji, M. S. 2019. HUKUM SANKSI ADMINISTRASI TERHADAP PELANGGARAN PERIZINAN.

Fauzani Raharja, I. 2014. PENEGAKAN HUKUM SANKSI ADMINISTRASI TERHADAP PELANGGARAN PERIZINAN. Inovatif, VII, 107--138.

Karim, I. (t.t.). PAKSAAN PEMERINTAH (BESTUURSDWANG)  DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Universitas Eka Sakti.

Rondonuwu, D. E. (t.t.). TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN ADMINISTRATIF MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009. 9, 6.

Sahya, A. 2018. Hukum Administrasi Negara. Bandung: Pustaka Setia.

Setiadi, W. 2009. SANKSI ADMINISTRATIF SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMEN PENEGAKAN HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. 6(4), 12.

Thahira, A. 2020. PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI LINGKUNGAN HIDUP DITINJAU DARI KONSEP NEGARA HUKUM. JCH (Jurnal Cendekia Hukum), 5(2), 260. https://doi.org/10.33760/jch.v5i2.229

https://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_tata_usaha_negara_di_Indonesia diakses pada tanggal 10 Maret 2021

http://scientiarum.com/2007/12/10/moot-court-sebagai-sarana-belajar/ diakses pada tanggal 10 Maret 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun