Mohon tunggu...
Novi Anggun
Novi Anggun Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Suka menulis

Seorang ibu dengan dua anak yg suka menulis. Bukan penulis, aku hanya suka menulis. Menulis apapun yg ada di dalam hati dan fikiranku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja Terakhir

20 September 2020   15:19 Diperbarui: 20 September 2020   15:30 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam menunjukkan pukul 17.00 WIB saat aku tiba di Sugar Cafe. Aku memang sengaja datang lebih awal sebelum Rendi datang. Supaya aku bisa mempersiapkan hati dan pikiranku. Semua untuk kemungkinan terburu.

Sore itu Sugar Cafe tampak lengang. Kuambil meja kosong di sudut ruangan yang bersebelahan dengan jendela kaca besar. Tak lama setelah aku duduk, Dave, pelayan cafe yang sudah kukenal menghampiriku , mencatat pesanan, dan berlalu. Sepuluh menit kemudian, Ia kembali membawa secangkir cappucino dan sepotong crosiant dengan aroma yang begitu menggoda.

Kuhirup perlahan cangkir kopi ku dan meminumnya perlahan.

"Hangat." Bisikku.

Menemukan cafe ini bagaikan menemukan rumah kedua bagiku. Selain tempatnya yang nyaman, makanan dan minuman di sini sangatlah lezat. Aku sering menghabiskan waktu di cafe ini, hanya untuk sekedar melepas penat setelah seharian bekerja. Di cafe ini terdapat tempat duduk yang menghadap ke atas persawahan, tempat favoritku. Karena dari sini aku bisa memandang senja dari balik jendela kaca besar sambil menikmati secangki cappucino.

Aku menyukai Senja. Aku suka melihat langit yang menjingga lalu berubah menjadi gelap. Bagiku senja itu indah. Senja itu menenangkan.

Aku ingat, setahun yang lalu, saat sedang asyik menikmati senja di Sugar Cafe, seorang pria berambut ikal sebahu dengan matanya yang teduh menghampiri mejaku.

"Boleh aku gabung? " Tanyanya.

"Silahkan!" Jawabku balas dengan senyuman.

"Kenalkan aku Rendi." Ucapnya seraya mengulurkan tangan, mengajak berkenalan.

"Kinan," Jawabku singkat.

Ia lalu memanggil pelayan dan memesan secangkir esspresso.

"Kamu suka banget sama senja ya?" Tanyanya saat melihat aku memotret senja.

Aku mengangguk dan tersenyum.
"Bagiku senja itu indah. Aku gak pernah bosan melihatnya."

"Aku juga suka senja. Melihat senja membuat hatiku bahagia." Katanya sambil menyesap cangkir kopinya.

Senja itu adalah pertama kali aku berkelan dengan Rendy, pria yang dengan senyuman mampu menyejukkan hati, pria yang dengan tatapannya mampu menenangkanku seperti ketika aku melihat senja.

Semenjak itu aku dan Rendy menjadi dekat. Kami sering membuat janji untuk bertemu di sugar cafe untuk menikmati senja bersama ditemani secangkir kopi favorit kita. Aku dengan cappuchino ku dan Rendy dengan espresso-nya .

Suatu hari untuk pertama kalinya Rendy mengajakku menaiki sepeda motornya. Dia bilang akan membawaku menuju ke tempat di mana bisa melihat senja yang indah.

"Kita mau ke mana?"

"Nanti kamu juga akan tahu." Kata Rendy tersenyum simpul.

Motor melaju kencang, melewati tanjakan tanjakan terjal. Setelah sekitar satu jam setengah perjalanan meninggalkan keramaian kota, kami sampai juga di bukit gapit , tepat saat menjelang malam.

Di sana di atas bukit gupit aku bisa melihat pemandangan Parangtritis yang sungguh mempesona. Lekukan ombak dan garis pantai yang panjang bagai lukisan tanpa pigura karena semua begitu menyatu dengan alam. Sementara di ufuk barat langit mulai berwarna jingga. Sungguh aku takjub melihat panorama alam yang begitu indah ini.

"Cantik banget, Ren senjanya." Ucapku takjub seraya memandang senja tanpa berkedip sedetik pun.

" Iya, cantik. Kayak kamu ." Kata Rendi sambil menyenggol sikuku.

"Gombal." Tukasku balik menyenggol sikunya.

"Serius. Bagiku kamu itu senja. Hangat dan menenangkan." Kata Rendy membuatku tersipu malu.

Dalam keheningan kamu menikmati langit senja yang perlahan memudar, seiring dengan tenggelamnya mentari, dan langit menjadi gelap.

"Kinan, ada yang pengen aku katakan sama kamu." Ucap Rendi pelan.

"Apa itu, Ren?"

"Aku sayang sama kamu, Mau gak kamu jadi kekasihku Kinan?" Ucap Rendy seraya menatap mataku tajam.

Kinan tersenyum. Senyum yang malu- malu.

"Iya Rendy, aku juga sayang kamu." Jawabku.

Lalu  Rendi mengecup keningku. Senja itu adalah senja sempurna yang pernah aku lihat dan tak pernah aku lupakan.

***

Di senja yang lain masih di sugar cafe. Kamu memberikan kabar bahagia itu sekaligus kabar yang membuatku resah.

"Menurutmu apa aku harus pergi?" Tanya Rendy dengan tatapan menerawang .

"Harus dong. Aku tahu kamu sudah bekerja keras untuk mendapatkan pekerjaan itu."

"Lalu bagaimana dengan kita?"

"Jika kamu mau bertahan dengan jarak yang memisahkan kita, aku pun tak masalah. Aku akan selalu menunggu."

"Baiklah kalau gitu. Aku janji akan selalu menjaga cinta kita ini." Katamu meyakinkan aku.

Selama setahun lebih kami menjalin hubungan jarak jauh tak ada ganjalan apapun dalam romantika kami. Tak pernah ada masalah apapun. Justru jarak lah yang merekatkan hubungan kami. 

Sampai suatu hari, Rendy tiba-tiba menghilang begitu saja dari hidupku. Tak ada kabar sama sekali. Kucoba menghubungi ponselnya, sudah tidak aktif. Namun aku tetap percaya dan menunggu dirinya. 

Hingga berminggu-minggu Rendy tak juga memberi kabar dan aku pun menyerah. Mungkin ia ingin putus dariku tapi tidak tahu bagaimana caranya. Atau mungkin dia sudah memiliki wanita lain.

Dan Pagi tadi saat aku hendak berangkat ke kantor, sebuah pesan masuk melalui aplikasi Wa seolah menjadi pelepas dahaga kerinduanku pada seseorang yang aku cintai.

Temui aku di sugar cafe sore ini jam 17.30 wib. Rendy.

Dan disinilah aku sekarang berada... Di sugar cafe tempat biasanya kita menikmati senja, menunggumu dengan harap harap cemas.

"Kinan ..." Tiba tiba Rendy datang membuyarkan lamunanku.

"Rendy..." Aku pun berdiri menyambutnya dan memeluknya erat.

"Ada apa Rendy? Kamu kurusan sekarang."

"Kamu juga, Kin.  Kamu baik-baik aja kan?" Tanya Rendy

"Kamu ga tahu aku kurus gara gara mikirin kamu. Kamu kemana aja selama ini ga pernah ada kabar? "

"Maafkan aku Kinan. Maaf udah membuatmu sedih." Ucap Rendy lirih dengan raut wajah penuh penyesalan.

"Kamu kenapa sih Ren , kayak lagi ada masalah gitu." Tanyaku khawatir.

Rendy menunduk. Seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Sepertinya hubungan kita harus sampai di sini, Kinann." Ucapmu.

Deg!!!Aku merasakan sesak di dadaku.

"Tapi kenapa Ren?"

"Ibuku sudah menjodohkan aku dengan wanita lain."

"Kamu sudah tak mencintaiku lagi, Rendy?"

"Aku mencintaimu, tapi aku juga mencintai ibuku."

" Apa cinta kita tak patut untuk diperjuangkan Ren?"

"Aku sudah mencoba, tapi ibuku terlalu keras kepala. Aku tak bisa berbuat apa apa lagi Kinan "

"Tapi aku belum pernah bertemu dengan ibumu rasanya ga adil untukku."

"Percuma Kinan, gak akan mengubah apa apa." Kata Rendy putus asa.

"Baiklah Ren kalau memang itu keputusanmu. Aku gak akan memaksamu untuk memilih aku atau ibumu."

"Aku harap kamu bisa memaafkan aku."

"Iya, Ren, aku memaafkanmu." Kataku walau hatiku terasa sakit.

"Terima kasih, Kinan, terima kasih sudah pernah ada dalam hidupku."

Rendy kemudian menggenggam jemariku dan kubalas dengan sebuah senyuman sembari memandang senja dari balik jendela kaca sugar cafe. Senja itu adalah senja terakhir yang kunikamti bersamanya sebagai kekasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun