Mohon tunggu...
Novia Wulandari Umi Fadila
Novia Wulandari Umi Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sosiologi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

31 Oktober 2020   13:00 Diperbarui: 22 September 2024   10:54 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Islam, Perempuan, Sosial, Politik, Etika, Budaya

Buku ini sangat menjelaskan bagaimana citra perempuan di mata islam, melalui potret kehidupan di masa zaman para nabi dan zaman dimana perempuan tidak dianggap keberadaannya. Tetapi islam melihat serta menempatkan perempuan di tempat yang berharga, banyak nama-nama perempuan yang disebutkan ceritanya di buku ini.

ISLAM DAN KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

Ajaran islam memiliki ajaran yang utama salah satunya kesetaraan manusia, islam tidak membeda-bedakan keragaman seperti kelas sosial (kasta), ras, dan jenis kelamin. Tetapi yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya adalah kualitas ketakwaannya, kebaikannya selama hidup di dunia, dan warisan amal baik yang ditinggalkan setelah meninggal. Bahasan kesetaraan dan perbandingan tingkat manusia ini, berdasarkan qur’an surah Al-Hujurat ayat ke-13. Termasuk ke dalamnya adalah mengenai kesetaraan perempuan dan laki-laki, banyak perempuan hebat yang bahkan sangat dihargai dalam islam. Khadijah istri Nabi SAW perempuan pertama yang menyakini kebenaran islam, juga sebagai penyemangat Nabi SAW untuk menyampaikan ajaran yang diterimanya kepada umat manusia. Khadijah membantu nabi dengan dukungan moral, harta, dan mendedikasikan hidupnya untuk islam hingga membuat Nabi SAW sangat terkesan akan ketakwaan istrinya itu. Istri Nabi SAW lainnya yang sangat dihargai adalah Aisyah, Nabi SAW banyak mengajarkan pengetahuan keislamannya kepada Aisyah membuat dirinya berkembang sebagai ahli ilmu agama islam dan ahli sastra bahkan banyak sahabat Nabi dan para tabi’in yang berguru kepada Aisyah. Perempuan hebat lain yang berasal dari kalangan keluarga Nabi SAW adalah Fatimah, salah satu anak perempuan Nabi SAW dan Fatimah mendapatkan didikan dengan pembentukan mental yang kuat dan hidup dalam kesahajaan.

            Ketiga perempuan di keluarga Nabi SAW ini sangat dihormati, disayangi, dan disantuni Nabi SAW selama hidupnya. Hal ini menggambarkan bahwa islam memuliakan perempuan, dimana pada masa itu perempuan di bangsa Arab dianggap sebagai aib keluarga. Perempuan dianggap sebagai manusia yang tidak utuh, dikerdilkan, dan diremehkan. Bahkan karena malu dengan kelahiran anaknya jika perempuan, banyak yang membunuh anak perempuannya di zaman itu. Tetapi berbeda ketika Nabi SAW menerima ajaran islam melalui firman Allah SWT pada surah An-Nahl ayat ke 58-59, yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan bagsa Arab terhadap kelahiran anak perempuannya itu adalah sebuah keputusan yang buruk.

            Islam juga membahas mengenai kepemimpinan perempuan, melalui hadis oleh periwayat Ibn Abbas yang menyatakan setiap manusia adalah pemimpin dan setiap manusia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Kepemimpinan disini memiliki konteks yang luas dapat berupa pemimpin pemerintahan, pemimpin pendidikan, pemimpin keluarga, dan pemimpin untuk diri sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan juga boleh menjadi seorang pemimpin, dengan makna kepemimpinan bahwa pada diri manusia memiliki tanggung jawab yang harus diemban dan dilaksanakan dengan penuh amanah. Tetapi ada pendapat lain yang berlandaskan pada surah An-Nisa ayat 34, yang isinya laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan. Kata qowwam disini memiliki tafsir yang berbeda, menurut beberapa ahli tafsir qowwam berarti penanggung jawab, memiliki kekuasaan (wewenang), pemimpin, menjaga sepenuhnya, penguasa, yang memiliki kelebihan dari yang lain, dan laki-laki menjadi pengelola masalah perempuan. Asumsi ini muncul karena pihak laki-laki dalam rumah tangga memiliki aset kekayaan yang mampu untuk menghidupi keluarganya sehari-hari, termasuk maskawin untuk si istri. Laki-laki juga dianggap memiliki kelebihan nalar, tekadnya kuat, teguh, lebih kuat, kemampuan menulis, dan keberanian. Oleh sebab itu lah dari kaum laki-laki lahir para nabi, ulama, dan imam.

            Kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki bersifat fungsional, ketika didalam suatu perihal kepemimpinan pihak laki-laki mampu menjadi pemimpin maka Ia harus menjadi pemimpin. Tetapi jika pihak laki-laki memiliki suatu penyebab yang membuat ia tidak dapat menjalankan kepemimpinannya dengan baik, maka kaum perempuan boleh menjadi pemimpin jika dirasa mampu dan amanah dalam mengemban kepemimpinannya. Karena memang tidak ada argumentasi kuat yang menghambat seorang perempuan menjadi pemimpin, banyak perempuan dalam sejarah islam menjadi seorang pemimpin. Di Aceh pernah dipimpin oleh Ratu Tajul Alam Shafiyatuddin Syah, Ratu Nur Alam Naqiyatuddin Syah, Ratu Inayatsyah Zakiyatuddin Syah, dan Ratu Kamalat Syah. Di Jawa yang terkenal adalah Ratu Kalinyamat, dan di Sumatera Barat ada Rasuna Said, Rahmah el-Yunussiah dan Roehana Kudus.

            Meskipun islam tidak melarang kepemimpinan perempuan tapi masih saja ada penghambat seorang perempuan menjadi pemimpin, padahal pemeluk agama islam lebih banyak dari kaum perempuan jika kekuatan kuantitas ini didorong bersaam dengan kaum laki-laki islam dapat meraih kemajuan dan kejayaan di dunia. Tantangan lainnya yakni ego kolektif masyarakat yaitu patriarki, dalam patriarki tabu untuk tunduk terhadap kepemimpinan seorang perempuan karena memiliki keyakinan bahwa laki-laki adalah manusia yang lebih utama dan perempuan hanya sebagai pelengkap kaum laki-laki. Karena adanya hambatan ego seperti itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai muslim yang terbuka dengan ajaran syariah dan pengetahuan, dengan cara: 1) Menanamkan pola pendidikan dengan watak kepemimpinan baik untuk lai-laki dan perempuan jangan dibedakan. 2) Anak laki-laki dan perempuan berhak untuk mendapatkan akses yang sama untuk perkembangan diri mereka. 3) Memberikan kebebasan memilih sesuai hati nuraninya. 4) Melatih perempuan jatuh bangun terhadap pilihannya agar muncul pendewasaan yang bersifat otonom. 5) Menghindari pengerangkengan perempuan dalam sangkar dengan alasan perlindungan, karena dapat menyebabkan perempuan menjadi kerdil dan gagap akan realitas kehidupan.

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DAN OTONOMI DIRI

Munculnya kepemimpinan dan otonomi diri perempuan, banyak yang dipengaruhi oleh latar belakang keluarganya. Seperti Benazir Bhutto anak dari Ali Bhutto yang sedari kecil sudah diceritakan tokoh-tokoh hebat dunia, hal ini sangat merangsang keingintahuan Benazir kecil hingga Ia menjadi perempuan yang kuat tokoh hebat selanjutnya di dalam sejarah. Di Indonesia sendiri dapat kita gambarkan dengan Megawati Soekarnoputri anak dari Presiden pertama RI Seokarno, meski sebelumnya Megawati secara sah tidak bergabung dengan perpolitikan RI tetapi di lingkup keluarga ayahnya sering menceritakan perkembangan perpolitikan RI membuat Megawati peka terhadap geoperpolitikan RI.

            Kendala akan kepemimpinan perempuan banyaknya berasal dari khalifah (pemimpin)  harus perempuan karena ia harus menjadi imam masjid dan mendakwahkan ajaran islam kepada yang dipimpinnya, argumen ini dibantah dengan cerita Khadijah yang pada masa itu menjadi penopang ekonomi keluarganya karena kekayaan yang ia miliki. Kemudian Siti Aisyah yang menjadi pemimpin perang Jamal, dan Ratu Bilqis sosok pemimpin negeri Saba yang arif, adil, dan bijaksana. Sebab kepemimpinan itu ada karena dibentuk, baik laki-laki maupun perempuan dapat dibentuk dalam dirinya sifat kepemimpinan yang memang diharapkan dalam islam.

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN ANDAI MEGAWATI JADI PRESIDEN

Kepemimpinan Megawati sebagai presiden muncul karena adanya sosok figur yang diharapkan masyarakat Indonesia, harapan masyarakat akan kepemimpinan yang berbeda dari sebelumnya tercerminkan dalam diri Megawati sendiri. Masyarakat sudah jenuh akan kepemimpinan yang otoritarian, hierarkis, penakluk, dan represif pada rezim sebelumnya. Figur Megawati yang berkarakter cukup kuat, mengayomi, mendengarkan detak hati rakyat, melindungi, memberikan keteduhan dan tampak keibu-ibuan ini lah yang diharapkan masyarakat Indonesia. Kebutuhan rakyat yang menekankan feminitas ini boleh jadi hasil antitesis dari pola kepemimpian patriarki, dan Megawati terpilih menjadi presiden RI pada masa itu. Di Filipina yang dikuasai oleh rezim Marcos rakyat dihantui oleh ketakutan bersuara, hingga muncul sosok ibu rumah tangga bersahaja Corazon Aquino yang memang sangat dielukan masyarakat di masa itu. Corazon berhasil membangun kembali iklim demokrasi Filipina, pemulihan ekonomi pasca rezim Marcos dan menjadi presiden. Aung San Suu Kyi di Myanmar sosok perempuan yang maju dan bertindak karena melihat hak-hak bersuara para sudaranya dibungkam, Ia melakukan perlawanan tanpa kekerasan terhadap penguasa Junta militer yang dipimpin Ne Win hingga mendapat penghargaan hadia nobel perdaamian. Interdepensi, kekuatan visi dan integritas pribadi yang menjadikan seseorang berhak menjadi pemimpin bukan hanya dilihat dari laki-laki atau perempuan.

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DAN KUALITAS DIRI

Keadaan politik Indonesia di masa kepemimpinan Megawati masih saja mengalami kekhawatiran karena perempuan yang menjadi seorang pemimpin, bahkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menolak dengan tegas sambil berkata akan mencari “putra terbaik” di Indonesia untuk dijadikan pemimpin. Di masa itu mantalitas jati diri bangsa sangat diuji kesiapannya untuk menjaadi negara demokrasi yang diharapkan rakyat, bentuk demokrasi seperti kebebasan pers, desakralisasi kepemimpinan, kedewasaan menyikapi perbedaan pendapat, transparansi keuangan negara, kritisnya rakyat terhadap pemerintah dan hal lain ini lah yang hendak dibangun oleh para pendiri bangsa. Bukan persoalan kepemimpinan itu harus dari “putra terbaik” atau “putri terbaik” bangsa, yang terpenting adalah itu pilihan rakyat (untuk menggambarkan praktik demokasi). Dalam hal beragama pun juga sedang diuji, di masyarakat banyak terdapat kesan agama lebih berpihak kepada laki-laki. Padahal dalam sejarah terdapat nama-nama perempuan islam yang memegang tabuk kepemimpinan, dengan tetap menjadikan spirit keagamaan sebagai landasan untuk mengendalikan sebuah negeri. Memang seringkali isu agama dan ayat digunakan sebagai alat politisasi, yang seharusnya kita lebih memperhatikan standar kemampuan dan kualitas diri dari pemimpin.

POLITIK, ETIKA, DAN PEREMPUAN: SEBUAH PERTANYAAN

Tidak banyak perempuan yang menjadi tokoh politik di dunia, karena terdapat sebuah alat politik yang menjadi sebuah etika terhadap perempuan yang disebut Dharma Wanita. Ketika ada wanita yang menonjol dan berkompeten dalam ranah perpolitikan maka akan banyak tokoh politik yang akan menyingkirkannya ke luar arena, dan menutupi anggapan bahwa negara ini bukan patriarki dengan pengangkatan mentri peranan wanita. Ketika bangsa sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, rakyat membutuhkan pemimpin yang wataknya distereotipekan sebagai ibu sejati.

OTONOMI DAERAH DAN PEREMPUAN

            Bentuk negara Indonesia yang berkepulauan membuat daerah-daerah di luar Jawa merasa mereka didikte oleh pemerintah yang berpusat di luar Jawa, hingga muncul gagasan pemerintahan otonomi daerah yakni kepemerintahan yang disesuaika dengan kebutuhan daerah itu masing-masing. Hal ini memiliki kesan yang sama dengan potensi yang dimiliki perempuan, bahwa terdapat beberapa perempuan hebat, yang lebih kuat dari lainnya di setiap daerah di Indonesia. Yang biasanya potensi ini hanya dilihat pada diri laki-laki, seharusnya perempuan juga diberikan kesempatan untuk menunjukkan potensi dirinya yang lebih dari perempuan lainnya juga dari laki-laki kebanyakan.

KARTINI YANG TERKUBURKAN

             Peran perempuan di masyarakat banyak yang tidak terekspos dalam sejarah yang dipelajari oleh khalayak ramai, tetapi di setiap sudut kehidupan pasti ada saja perempuan yang memiliki kontribusi besar untuk masyarakat di sekitarnya. Seperti yang dituliskan dalam buku ini, ibu H. Siti Masyitoh yang dianggap sebagai Kartini yang terkuburkan oleh penulis adalah sosok perempuan hebat yang sangat mengayomi orang-orang di sekitarnya dengan pengetahuan ilmu agamanya. Banyak hal yang dilakukan oleh H. Siti Masyitoh, seperti menjadi guru agama di lingkungannya, mendirikan sekolah keislaman, dan hal lainnya yang bersangkutan dengan keilmuannya. Tanpa ada embel-embel feminisme yang beliau nyatakan terhadap semua tindakannya itu, tetapi hal ini mencerminkan gambaran bahwa perempuan harus diberikan wadah serta posisi di tengah-tengah masyarakat. Bahwa perempuan juga memiliki potensi yang luar biasa karena pengalaman, pengetahuan keilmuan dan hal yang yang membedakan dirinya dengan orang-orang kebanyakan.

PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA

            Buku ini juga membahas pandangan agama mengenai perkawinan yang merupakan sebuah tahapan hidup yang sakral, karena kesakralannya itu banyak yang mengusahakan hanya melakukan perkawinan sekali seumur hidupnya. Fungsi perkawinan menurut tafsir agama-agama adalah, menciptakan ketentraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia (laki-laki dan perempuan) pada suatu ikrar atau janji suci atas nama Tuhan. Dalam Islam ikrar ini disebut ijab-kabul, agama Katolik menyebutnya dengan sakramen perkawinan. Dalam kehidupan perkawinan posisi perempuan sebagai istri digambarkan sebagai pelengkap suami dan keberadaan istri sepenuhnya adalah tanggungan suami, hal ini memunculkan anggapan bahwa perempuan hanya berperan sebagai ibu dan istri tidak sebagai manusia yang memiliki otonom atas kemerdekaan dan kebebasan dirinya akan peran yang ingin dijalankan.

             Tujuan lainnya perkawinan adalah menghindari praktik zina, perkawinan menjadikan dua insan manusia memiliki komitmen untuk mendirikan sebuah keluarga yang lengkap dan nantinya memiliki penerus bagi keduanya yakni anak. Seorang anak perlu adanya sosok orang tua yang lengkap untuk menunjang tumbuh kembangnya, karena keluarga adalah yang pertama kali mengenalkan realitas kehidupan kepada si anak. Dengan adanya perkawinan si anak memiliki ikatan yang kuat terhadap kedua orang tuanya, baik sah secara agama dan hukum. Jika seorang anak lahir karena hubungan perzinaan antara laki-laki dan perempuan, maka anak tersebut di masyarakat dianggap sebagai hal yang tabu dan akan dikucilkan keberadaannya. Hal ini juga terjadi kepada ibu si anak, karena Ia yang mengandung anak tersebut jika tidak ada ikatan perkawinan ini akan jadi kemalangan terhadap si ibu dan anak yang dilahirkan. Maka dari itu agama menyarankan untuk mengadakan perkawinan, jika terdapat dua insan manusia yang saling menyayangi dan tidak terhalang oleh syarat-syarat mutlak perkawinan untuk dikawinkan.

            Salah satu syarat mutlak perkawinan bagi orang bergama adalah menikah dengan yang seagama, sebab melalui perkawinan akan diturunkan ajaran-ajaran keagamaan yang dianut oleh pasangan yang melakukan perkawinan tersebut. Dan juga ada pelarangan di agama untuk menikahi yang bukan dari golongan agamanya, tetapi dalam islam seorang laki-laki boleh menikahi selain perempuan islam hal ini dimaksudkan dengan peran suami yang diembannya diharapkan laki-laki tersebut dapat membimbing keluarganya kepada ajaran islam yang lurus dan benar (mengislamkan keluarganya).

            Dalam perkawinan pihak istri yang kebanyakan dibatasi hak bersuaranya karena itu dianggap sebagai aurat adalah pemahaman yang pernah dibantah semasa sejarah islam terdahulu, Fatima Mernissi yang mengingatkan kembali bahwa ada beberapa perempuan yang menginginkan hak-haknya dipenuhi dan tidak dikekang oleh suaminya. Seperti Sukayna cicit perempuan Nabi SAW yang menikah lima kali (bahkan ada catatan Ia menikah enam kali) menolak pengucapan untuk patuh kepada suaminya, tidak mau dipoligami, hak menentang suami dan hak-hak lainnya sebagai perempuan yang bebas sesuai dengan cita-cita hidupnya. Juga Aisyah binti Thalhah yang menolak menggunakan cadar ketika diminta oleh suaminya, pengungkapan sejarah ini menunjukkan bahwa wanita yang sudah menikah seharusnya tidak terlalu dibatasi kebebasannya karena perempuan juga masih memiliki hak atas hidupnya.

PERKAWINAN POLIGAMI DI DUNIA ISLAM DAN DI INDONESIA

            Perkawinan memiliki beberapa jenis salah satunya adalah poligami, buku ini menjelaskan latar belakang kemunculan anggapan bahwa dalam islam membenarkan praktik perkawinan poligami ini. Jauh sebelum islam datang di Arab memiliki budaya poligami dan poliandri hal ini banyak dilakukan oleh mereka yang memiliki kuasa, dan bermarga mashyur di Arab. Namun ketika islam datang banyak sahabat Nabi SAW yang menceritakan perkawinan mereka dengan banyak istri tersebut, lalu kemudian Nabi SAW mengatakan hal yang sama kepada mereka yang bertanya yakni “pilihlah empat diantara para istrimu itu, dan ceraikanlah sisanya” begitulah jawaban Nabi SAW yang menunjukkan bahwa perepmpuan dalam islam pun juga harus dihargai keberadaannya. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika akan melakukan poligami, yakni mengadakan perjanjian dengan adil, mengelola harta denan adil, dan adil terhadap anak yatim. Betapa Islam sangat memuliakan perempuan karena ketika laki-laki ingin melakukan poligami, maka Ia harus memenuhi semua syariahnya demi kelancaran penehuna hak dalam rumah tangganya. Hal lainnya yang membolehkan poligami adalah adanya keadaan mendesak, seperti dalam sejarah ketika selesai perang banyak perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dan anak yang ditinggal ayahnya. Maka turunlah sebuah ayat yang membahas diperbolehkannya poligami dengan tujuan menunjang kehidupan janda serta anak yatim korban perang tersebut. Poligami ini pernah salah diartikan oleh kepemimpinan islam di masa Dinasti Umayyah dan Ottoman, dimana para penguasa di masa itu memiliki harem yakni tempat bagi para perempuan penguasa. Di harem terdapat banyak wanita simpanan dari raja, elit, dan penguasa lainnya. Tentu saja hal ini tidak dibenarkan, karena semestinya poligami dilakukan karena memang ada suatu keadaan dan alasan khusus. Jika melihat di masa Nabi Daud as membolehkan poligami tanpa batas, hal ini dilandasi oleh keadaan pada masa itu bukan berati di setiap zaman poligami tanpa batas tetap diperbolehkan. Di Indonesia sendiri praktik poligami juga terjadi, seperti yang dilakukan oleh Soekarno. Kemudian ada pengetatan poligami dalam undang-undang mengenai perkawinan yakni No. 1 Th 1974, tetapi masih terdapat peluang untuk berpoligami jika laki=laki tersebut memiliki ekonomi yang memadai dan bisa berlaku adil terhadap para istrinya. Dalam poligami perempuan lebih banyak menerima anggapan buruknya, seperti kurang baik dalam melayani suaminya atau tidak dapat melahirkan keturunan yang diinginkan. Dalih apapun yang diucapkan seorang laki-laki ketika akan melakukan poligami tetap saja akan menyakiti hati istri pertamanya, meski beralasan karena mengikuti sunah Nabi SAW hal ini tetaplah kurang benar karena jika ingin mengikuti sunah Nabi SAW masiih banyak sunah-sunah yang lainnya.

JILBAB DAN SEPUTAR AURAT PEREMPUAN

            Buku ini membahas aurat seorang perempuan, asal muasal aurat adalah ketika Hawa yang tergoda oleh bujuk rayu iblis untuk memakan buah khuldi dan mengajak Adam lalu kemudian terbukalah kemaluannya dan diusir dari surga oleh Allah SWT hingga diturunkan ke bumi (cerita menurut surah Al-Baqarah: 121). Ketika diturunkan ke bumi maka langsung dicarinya dedaunan untuk menutupi kemaluannya, dan ini sebagai bentuk kesadaran awal manusia akan pentingnya memelihara faraj (kemaluan) masing-masing. Citra Hawa yang mudah terbujuk godaan iblis ini yang menjadi sumber pandangan bahwa perempuan dapat mengakibatkan kekacauan sosial, cerita ini terdapat pada kitab Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dalam Islam sebagai penutup aurat dikenal dengan jilbab yakni busana longgar yang menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, terdapat juga hijab yang berarti menyembunyikan atau menutupi dengan kain penutup. Busana yang seperti ini sudah lama digunakan oleh bangsa Arab dan sekitarnya yang kemudian diadopsi menjadi budaya islam karena sejalan dengan ajaran menutup auratnya. Islam mempergunakan jilbab juga sebagai penanda atau ciri-ciri seseorang tersebut adalah muslimah, dan agar tidak menimbulkan fitnah karena dikhawatirkan lekuk tubuh perempuan yang istimewa tersebut dapat menggoyahkan iman seorang laki-laki. Jilbab juga memiliki sejarahnya sendiri di Indonesia biasanya perempuan yang memiliki tabuk kepemimpinan menunjukkan keislamannya dengan menutup auratnya, meski masih dijumpai perempuan muslim yang menggunakan jilbab belum tertutup sempurna tetapi muslimah di Indonesia mengakui keberadaan jilbab sebagai penutup aurat misalnya ketika mereka ingin mengaji maka menggunakan busana tertutup. Bahkan keberadaan jilbab sempat menjadi alat politisasi, karena akan tercermin pribadi yang islami dan bersahaja karena menjalankan perintah Allah SWT untuk menutup aurat.

PERKAWINAN DAN KONTROL ATAS SEKSUALITAS PEREMPUAN: MENGENAL PEMIKIRAN ZIBA MIR-HOSSEINI

            Hukum Islam klasik, khususnya hukum keluarga yang sampai saat ini masih diterapkan di negara-negara berbasis muslim yakni produk hukum yang selama berabad-abad memberi keistimewaan kepada laki-laki melalui pelbagai pengaturannya. Hal ini kemudian dikritisi oleh Ziba Mir-Hosseini yang masih memiliki gars keturunan dengan Nabi SAW, sarja ilmu sosilogi dan antropologi yang mengkaji studi hukum islam serta melihat adanya gerak feminis islam.

Indonesia yang menganut negara hukum memiliki peraturan tentang perkawinan yang dimuat dalam UU Perkawinan No. 1 Th 1974, khusus umat islam terdapat Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan melalui Inpres No. 1 Th 1991 yang juga diadopsi oleh hakim agama. Dalam UU ini ternyata banyak merugikan pihak perempuan yang dinikahkan salah satu pengkritiknya adalah Ziba Mir-Hosseini, kritiknya mengenai hukum nikah siri yang belum jelas membuat banyak yang melakukan nikah siri dimana pihak perempuan yang dirugikan karena tidak tercatat dalam sipil sehingga tidak memiliki hak waris. Pengaturan mengenai poligami juga belum jelas tercatat, tidak ada hukuman yang pasti kepada pelaku yang melakukan kekerasan karena poligami (secara fisik atau psikis). Pembakuan peran perempuan menjadi ibu rumah tangga dan laki-laki sebagai pemimpin keluarga. Usia perkawinan pihak perempuan yang tidak sinkron dengan uu perlindungan anak, dalam UU perkawinan minimal pihak perempuan adalah 16 tahun tetapi dalam UU perlindungan anak usia minimalnya 18 tahun. Peraturan mengenai larangan pernikahan beda agama, bagi pasangan yang ingin menikah tetapi beda agama dan cukup secara finansial maka mereka melangsungkan pernikahannya di luar negeri dimana tidak ada aturan hukumnya. Negara dan daerah islam memiliki kontrol atas seksualitas perempuan, seperti di Aceh terdapat UU yang mengharuskan perempuan disana berjilbab dan di negara Islam lainnya. Produk hukum yang seperti ini berbasis dari ideologi islam yang dianutnya, hingga dibuatnya hukum keluarga dan hukum kriminal yang berimbas langsung kepada kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran atas hak-haknya.

FEMINISME DAN ISLAM DI INDONESIA: PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN DAN PELEMBAGAANNYA

            Feminisme adalah sebuah teori yang menganalisis kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan menyelidiki beragam jenis pemahaman kebudayaan mengenai apa artinya menjadi perempuan menurut Jackson dan Jones. Pada awalnya teori ini diarahkan dengan tujuan politis gerakan perempuan, yakni kebutuhan memahami subordinasi perempuan dan pengucilan perempuan dalam pelbagai wilayah sosial dan kebudayaan. Feminisme merupakan teori yang hendak menjelaskan kondisi kehidupan yang dijalani perempuan, feminisme dan islam menjembatani kesenjangan konsepsi keadilan yang memengaruhi dan menopang penafsiran dominan terhadap syariah di suatu sisi juga hukum hak asasi manusia (HAM) di sisi lain. Feminis islam mengkritisasi metode penafsiran yang dilakukan terhadap ayat Al-Qur’an, pada metode tafsir tradisional yang melakukan penafsiran adalah kaum pria berdasarkan pengalamannya dan suara perempuan seolah-olah tidak dianggap. Metode kedua tafsir modern penafsiran ini adalah reaksi dari para pemikir Islam modern terhadap hambatan yang dialami perempuan, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Metode ketiga dengan pendekatan hermeneutik, penafsiran yang dilakukan dengan cara mengetahui dalam konteks apa teks tersebut ditulis, komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, dan keseluruhan pandangan hidupnya. Termasuk juga hadis sebagai sumber kebenaran islam kedua setelah Al-Qur’an, Mernissi menunjukkan bahwa terdapat banyak hadis mengenai perempuan yang ternyata hadis palsu dan kebanyakan menggambarkan citra buruk perempuan. Hukum islam juga termasuk didalamnya, menurut sarjana muslim feminis seperti Asghar Ali Engineer dan Ziba Mir-Hosseini hukum islam yang mengkerdilkan perempuan harusnya diperbarui melalui ijtihad, ijma, dan qiyas.

            Keberadaan feminis di dunia dapat terlihat ketika mereka para penggeraknya melakukan interaksi, gerakan ini pertama kali muncul di Mesir oleh tokoh pembaharu islam seperti Rifa’ah Tahtowi, Muhammad Abduh, dan Qasim Amin. Diantara mereka dikenal dengan sebutan “male muslim feminist”, yakni pemikir muslim laki-laki yang peduli dan terlibat dalam sejarah pembebasan perempuan. Feminis di Indonesia memperhatikan analisis gender, terutama pada rezim orba dan era reformasi situasi saat itu menempatkan peran perempuan semata-mata sebagai istri dan ibu. Peran serta hak-hak publik seperti menjadi pemimpin masyarakat atau negara sangat diabaikan dan tidak diakui keberadaannya, perkembangan pergerakan feminis ini membuat Indonesia meratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No. 7 Th 1984 yang mengakui hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia serta menjamin hak pendidikan dan partisipasi politik setara dengan laki-laki. Pergerakan ini juga didasari karena perlu adanya penafsiran teks Islam dengan cara pandang baru yang lebih ramah terhadap perempuan, dan merespons masalah hak-hak asasi perempuan dengan pendekatan bahasa agama. Terjalinnya hubungan antara sesama aktivis muslim Indonesia dengan luar juga membuat gerakan ini semakin dikenal oleh khalayak luas, bahkan sudah mendapatkan perhatian dari lembaga dana internasional seperti Ford Foundation, Asia Foundation, Oxfam, USAID, CIDA, dan IDRC.

            Terdapat beberapa lembaga organisasi pergerakan feminisme seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat (P3M), The Wahid Institut (TWI), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU (Lakspesdam NU), LKIS, PSAP, Maarif Institut, dan JIMM Muhammadiyah. Pergerakan ini juga mencakup fokus feminisme dan Islam menerjemahkannya ke dalam bahasa sederhana, menyosialisasikannya melalui berbagai media pendidikan dan lembaga layanan perempuan korban kekerasan. Pergerakan ini banyak tumbuh dan berkembang pada awal dasawarsa 1990-an dan 2000-an pada saat Indonesia memasuki Era Reformasi yang ditandai dengan alam demokrasi.

GERAKAN PEREMPUAN DALAM PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

            Gerakan feminis ini muncul seiring dengan kebangkitan nasional, pertama kali oleh Natdatoel Fataat organisasi yang didirikan di Yogyakarta oleh organisasi Islam Walfadjri. Dalam kongresnya membahas mengenai pembaruan hukum perkawinan dalam islam tentang hak cerai bagi perempuan, usia nikah perempuan, perlindungan laki-laki terhadap keluarga, dan sebagainya. Bahkan beberapa tokoh Indonesia juga mendukung kesetaran perempuan di publik, seperti KH Agus Salim yang membahas kain penghalang (tabir) di masjid dalam ceramahnya dengan mengatakan bahwa tabir itu adalah sebuah simbol pemisahan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Hal ini ditanggapi oleh Soekarno dengan suratnya mengenai tindakan KH Agus Salim ketika merobek tabir, lebih berharga dibanding menolong pahlawan dari air laut yang sedang mendidih atau masuk penjara karena delik sebab tindakan itu memerlukan keberanian moral yang besar.

            Ide tentang reformasi hukum Islam mengenai perempuan juga dilontarkan oleh Munawir Sadjzali, beliau mengajukan pemikiran tentang Reaktualisasi Ajaran Islam di Indonesia tentang harta waris. Pembagian harta waris dimana pihak anak laki-laki mendapat bagian lebih besar daripada anak perempuannya, tetapi di beberapa masyarakat ada yang membaginya secara rata sama-sama dibagi dua baik sebagian harta orang tua atau dibagi habis. Hal ini dikritisi oleh Munawir supaya jelas penulisan hukumnya, perubahan hukum ini dianggap wajar karena hukum islam juga mengikuti perkembangan zaman, waktu dan tempatnya. Tokoh lain yang membahas kedudukan perempuan itu setara yakni Harun Nasution dalam bukunya yang menjadi bacaan wajib mahasiswa-mahsiswi IAIN “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, beliau memperkenalkan Qasim Amin seorang pembaru Mesir yang menulis buku “Tahrir al-Mar’ah” (Pembaruan Perempuan) dan Al-Mar’ah al Jadidah (Wanita Modern). Kemudian  Harun Nasution mengutip bahwa Islam adalah agama yang sejak berdirinya telah menempatkan perempuan berkedudukan setara dengan laki-laki. Tradisilah yang membuat situsi berubah, perempuan harus diberikan hak pendidikan yang sama dengan laki-laki.

            Pada akhir 1980-an sampai 1990-an pemikiran pembaruan Islam menjadi sebuah gerakan sosial, semakin banyak pemikir internasional yang membahas isu perempuan islam. Pemikiran Rif’at Hassan mengenai anggapan perempuan lemah menurutnya disebabkan karena penciptaan perempuan yang berasal dari tulang rusuk laki-laki, hal ini memunculkan anggapan bahwa perempuan memiliki nilai kemanusiaan setengah dari laki-laki dan juga karena banyak pengaturan ajaran Islam memberikan porsi setengah kepada perempuan seperti hak waris, kesaksian, dan lain-lain. Terlebih terdapat ajaran-ajaran yang amat bias mengutamakan laki-laki dalam pelbagai aturannya. Sebelum Rif’at Hassan juga terdapat pemikiran yang lebih dahulu oleh Rasyid Ridha yang menyatakan jika saja tidak ada keyakinan teologis seperti ini yang menghinggapi cara berpikir umat Islam, maka kemunduran Islam terutama kemunduran perempuannya tidak akan terjadi seperti situasi sekarang ini.

Di Indonesia terdapat pemikir yang mendorong bangkitnya gerakan perempuan, Masdar F. Masudi yang melakukan reinterpretasi teologi dengan menawarkan metodologi pentingnya memaknai kembali konsep ajaran universal (qath’i) dan partikular atau teknis operasional (juz’iyyah). Menurutnya ajaran universal adalah yang bersifat prinsip etik, seperti kebebasan manusia dan pertanggungjawaban individu; kesetaraan manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, warna kulit, dan suku bangsa; keadilan; persamaan manusia di depan hukum; ajaran untuk tidak merugikan diri sendiri dan orang lain; ajaran tentang kritik dan kontrol sosial; ajaran untuk menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan; ajaran untuk tolong menolong dalam kebaikan; ajaran agar yang kuat melindungi yang lemah; ajaran untuk bermusyawarah; ajaran tentang kesetaran suami istri dalam keluarga dan saling memperlakukan dengan santun di antara keduanya. Semua ajaran ini bersifat prinsipil dan fundamental, karena kebenarannya sesuai dengan ruang dan waktu yang bersifat universal. Sementara ajaran yang bersifat partikular (dzanni) adalah ajaran penjabaran (implementasi) dari prinsip-prinsip yang qath’i dan universal tadi, ajaran yang bersifat partikular (dzanni) tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri karena terikat oleh ruang, waktu, situasi dan kondisi. Menurut Masdar dengan pendekatan ini nilai-nilai dasar agama yang universal dapat dijunjung tinggi, sejumlah tema keagamaan yang bias geneder ditafsirkan kembali dengan perspektif keadilan gender. Tema-tema yang bias diantaranya adalah kepemimpinan perempuan, hak waris perempuan, nilai kesaksian perempuan, hak-hak reproduksi perempuan, hak menentukan pasangan hidup bagi perempuan, poligami, sunat perempuan (mutilasi), aborsi, dan lainnya.

Dari wacana pemikir feminisme kemudian munculnya tokoh pionir berasal dari pesantren, seperti Kiai Hussein Muhammad pengurus Pondok Pesantren Daarut Tauhid yang mengembangkan pemberdayaan perempuan di pesantrennya. Pesantren Cipasung, Tasikmalaya juga menekankan pendidikannya dengan perspektif keadilan gender. Di pesantren Cipasung juga terdapat lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Hal serupa juga terjadi di beberapa pesantren daerah lain, yakni Pesantren Nurul Islam Jember dan Pesantren Aqidah Usymuni Madura. Di tingkat nasional muncul dari kalangan pemuda NU.

Dari banyaknya gerakan sosial yang membawa isu kesetaraan gender membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan negara, yakni dibentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Juga perubahan dalam GBHN mengenai kata “peranan wanita” menjadi “pemberdayaan perempuan”, juga perubahan nama kementerian dari “Menteri Peranan Wanita” menjadi “Menteri Pemberdayaan Perempuan”. Lahirnya Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam berbagai sektor pembangunan. Disahkannya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), pembentukan 236 lembaga baru di Aceh hingga Papua untuk menangani kekerasan terhadap perempuan.

Gerakan feminisme ini tidak serta merta diterima dalam masyarakat, salah satu penolakannya dilakukan oleh organisasi Wanita Hizbut-Tharir Indonesia (HTI) yang melakukan unjuk pada Hari Ibu 22 Desember 2006 dengan membawa poster berisi penolakan terhadap kesetaraan gender. Alasan mereka menolak gerakan kesetaraan gender adalah anggapan mereka bahwa kesetaraan gender adalah misi liberalisme, juga perda mengenai pengaturan seksualitas perempuan yang berkaitan dengan hak untuk menggunakan jilbab. Karena dianggap hal ini menjadi simbolisasi akan perempuan islami atau tidak islami. Dalam lingkup otonomi daerah juga ada yang mengedepankan isu kesusilaan, menempatkan perempuan sebagai penyulut ketidakteraturan moralitas dan memberikan kebijakan yang membatasi aktivitas perempuan.

Banyaknya kasus pelecehan perempuan membuat DPR-RI mengesahkan UU Pornografi, dengan tujuan untuk melindungi perempuan dan anak dari komersialisasi pornografi. Tetapi hal ini tidak disetujui oleh semua lapisan, dikhawatirkan memperkuat adanya legitimasi bagi pengaturan daerah untuk membuat peraturan-peraturan lainnya dengan muatan diskriminatif terhadap perempuan. Karena sesungguhnya demokrasi bukan sistem yang sempurna, karena ini akan memberikan ruang yang sangat lebar terhadap kekuatan-kekuatan yang tidak demokratis dan misoginis. Juga membuka ruang kontestasi bagi gerakan perempuan untuk menegosiasikan kepentingannya dalam arena yang kita harapkan “netral” yakni negara, untuk menjadi bagian dari kebijakan yang mewadahi kebutuuhan separuh penduduk di negeri ini.

MARGINALISASI DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK PADA KELOMPOK AGAMA MINORITAS SEBAGAI TANTANGAN GERAKAN PEREMPUAN

            Gerakan perempuan Indonesia pada era Reformasi mencapai pelbagai kemajuan juga kemunduran, meskipun kemajuan sudah dicapai dengan pembentukan organisasi perempuan juga kebijakan yang memperhatikan isu perempuan tetapi marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan juga masih terjadi pada masa-masa ini. Hal ini tampak pada fakta kekerasan dan marginalisasi terhadap perempuan, terutama perempuan dari kelompok kepercayaan minoritas wujud marginalisasi dan kekerasan tersebut diantara: pembatasan hak kemerdekaan berekspresi dalam berbusana dengan mewajibkan perempuan berpakaian standar agama mayoritas termasuk siswi-siswi sekolah, pembatasan akses pada pekerjaan dan ekonomi dengan kebijakan pembatasan keluar malam bagi perempuan hingga pukul 10 malam, pengesahan UU Pornografi yang mengutamakan standar nilai moral agama mayoritas dan cenderung mengabaikan pelbagai keragaman nilai dari beragam karakter masyarakat Indonesia, dan penyerangan terhadap komunitas jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di beberapa tempat yang berdampak pada kekerasan terhadap kelompok minoritas ini.

            Kekerasan terhadap perempuan dalam kelompok kepercayaan minoritas mengenai kasus perempuan Ahmadiyah, yang terjadi di Cianjur (19 September 2005), Kampus al-Mubarok Parung Bogor (15 Juli 2005), Singaparna Tasikmalaya (19 Juni 2007), Masjid Istiqomah Desa Sadasari, Kec. Argapura, Majalengka (28 Januari 2008), Parakansalak, Sukabumi (25 April 2008), dan Cisalda, Ciampea, Bogor (1 Oktober 2010). Pelaku penyerangan ini adalah milisi sipil berjumlah tidak kurang dari 200 orang dengan menggunakan kostum/atribut: FPI, LPI, GERAK, BRIGADE TALIBAN, FORUM PENYELAMAT UMAT, FPUI, GIROH, dan AMANAH (Aliansi Masyarakat Anti Ahmadiyah). Legitimasi yang menjadi pemicu penyerangan adalah isi dan dampak dari 23 kebijakan yang dikeluarkan lenbaga-lembaga negara dan pemerintah, 8 di tingkat nasional dan 15 di tingkat lokal. Kebijakan tingkat nasionalnya berupa Surat Dirjen Sospol No. 05/IS/IX/1994 pada 16 September 1994 tentang pelarangan Ahmadiyah secara nasional dan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 yang menetapkan bahwa Ahmadiyah berada di luar islam dan dipandang sebagai aliran sesat.

            Bentuk-bentuk dampak kekerasan dan marginalisasi terhadap perempuan tersebut adalah: Ketika melakukan penyerangan di tempat tinggal anggota Ahmadiyah dengan dalil memberantas aliran sesat, tetapi terjadi pemerkosaan terhadap para wanitanya sebelum mereka diadili. Saat anggota Ahmadiyah pulang ke tempat asalnya mereka dikucilkan oleh warga setempat termasuk ketua RT yang melarang mereka untuk kembali di tinggal di desa tersebut, terjadi gangguan kesehatan hingga gangguan jiwa terhadap perempuan yang terkena penyerangan seperti keguguran, stress akibat rumahnya dibakar, gangguan reproduksi karena mengabaikan alat konstrasepsinya, juga gangguan menstruasi sampai pendarahan atau perubahan jadwal yang tidak teatur akibat stres. Akses mereka terhadap ekonommi juga terancam seperti seorang ibu pedagang di pasar yang sering diambil dagangannya debgan dalih “Mereka Ahmadiyah”, dan seorang ibu yang berprofesi guru diberhentikan oleh pihak sekolah karna Ia Ahmadiyah. Mereka juga kehilangan hak untuk berkeluarga karena label Ahmadiyah yang dimilikinya membuat orang-orang menggap remah sampai zina untuk dinikahi, sebab alirannya yang dianggap sesat. Sebagian besar warga Ahmadiyah di Kab Lombok Barat, NTB tak terkecuali perempuan hingga kini sulit mendapatkan status kependudukan.

            Kekerasan ini juga dialami oleh anak-anak, sekitar 10 siswa SD Negeri Mataram hanya diberika rapor sementara yang diatasnya terdapat tulisan “Rapor Anak Ahmadiyah” ketika ujian pun mereka dibedakan dengan jadwal siswa lainnya yang berakibat pengucilan dari guru-guru dan teman-teman di sekolahnya. Juga lontaran kebencian yang diterima anak-anak dari anggota Ahmadiyah seperti lontaran dengan menyebut Ahmadiyah sesat dan kafir, pengalaman terparah yang dialami seorang anak di Cisalda, Desa Ciampea Udik, Bogor adalah Ia dikeroyok belasan orang seraya meledeknya karena Ia Ahmadiyah.

            Labeling ini menimbulkan trauma terhadap anak-anak anggota Ahmadiyah, akibat dari penyerangan yang membakar habis rumah serta isinya. Membuat anak-anak mereka selalu merasa ketakutan akan terjadi penyerangan kembali, dan mereka tidak dapat melanjutkan kehidupannya seperti anak-anak pada umumnya yakni hak untuk sekolah. Diyanti salah seorang anak yang mengalami penyerangan yang kemudian mengalami trauma ketika ada tamu yang bertandang ke rumahnya, Ia sudah menyiapkan keperluan sekolahnya di dalam satu tas dan ketika dirasa akan terjadi penyerangan Ia harus menyelamatkan tas nya terlebih dahulu agar besok hari tetap dapat pergi ke sekolah.

PATRIARKI DAN SEKTARIAN: WAJAH DAKWAH DALAM KOMUNITAS ISLAM

            Setiap agama melakukan dakwah dengan tujuan meyebarkan doktrin mengenai pandangan kebenaran yang menjanjikan keselamatan hidup manusia agar tidak terjebak dalam kesesatan, dakwah islam pada mulanya dimaksudkan sebagai upaya mengingatkan manusia agar tidak memberhalakan apa pun selain Allah SWT (tauhid). Berhala ini dapat berupa status sosial, kekayaan, ilmu pengetahuan, ideologi, bahkan agama itu sendiri. Untuk kelancaran berdakwah dan menanamkan doktrin agama, biasanya dibentuk suatu komunitas yang dipimpin oleh pemuka agama. Pemuka agama yang memiliki kelebihan pengetahuan agama yang luas dan dalam, termasuk kemampuan membaca kitab-kitab berbahasa Arab. Melalui komunitas ini juga disebarkan doktrin patriarki dimana acap kali didengar ungkapan “Seorang istri dimaksudkan untuk menjadi ‘ladang’ bagi suami. Sebagai ladang ia harus bersedia dicangkul kapan pun sesuai kehendak suami”, hal ini ditafsirkan bahwa istri harus siap melayani suami kapanpun sesuai dengan keinginan suami. Tafsiran yang seperti ini mencerminkan kedudukan istri yang sangat bias karena kepimpinan suami dalam rumah tangga. Selain itu juga ajaran agama sering direduksi pada tataran ritual bukan spiritualnya, seperti ajaran salat, puasa, haji sehingga ajaran implikasi sosial-etis terhadap persoalan manusis kurang ditekankan. Seorang muslim akan merasa leibh bangga ketika Ia menjalankan ajaran yang ritual, seperti pergi haji yang kemudian akan mendapatkan gelar Haji atau Hajjah.

            Terdapat upaya-upaya agar praktek dakwah tidak bersifat sektarian, memiliki kepekaan gender, tidak ritualistik, dan memiliki perspektif kesetaraan iman. Pertama, membekali para dai dan pemuka agama dengan analisis gender. Kedua, membuka dialog pembahasan isu-isu sosial-keagamaan dengan agama lain. Ketiga, mempunyai implikasi kemanusiaan-etis dan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Penanaman doktrin ketika berdakwah sebaiknya tidak membuat seseorang menjadi serba penakut, kerdil, dan semata-mata menjadi “hamba”. Tetapi seharusnya didorong agar memiliki kepercayaan diri menjadi “kawula” yang tetap bersifat ketuhanan, agar dapat menentukan hidupnya sendiri dan senantiasa berkreasi. Keempat, mengedepankan dimensi esoterisme (tasawuf) dalam islam.

ORGANISASI KEKERASAN DAN TEROR RAHIM

            Pergerakan di masyarakat juga memunculkan organisasi yang menggunakan landasan keislaman mereka dalam bergerak, dan juga berpakaian sama seperti alim ulama.

Organisasi kemasyarakat (Ormas) ini menggunakan dalih islam dan alasan ingin menumpas kesesatan yang ada dan mengancam kemurnian dari ajaran agama islam itu sendiri. Tetapi pada realitasnya banyak keonaran yang terjadi akibat ari ormas yang ada di sekitar masyarakat, bahkan mereka memilih cara yang brutal meskipun dalam setiap tebasannya menggaungkan kalimat-kalimat Allah SWT. Dalam islam seorang yang benar-benar suci tidak akan pernah merasa dirinya suci sebagai wujud kerendahan hatinya, serta memiliki keteguhan bahwa kesucian hanyalah milik Allah SWT semata. Ormas ini mulai berkembang setelah era reformasi, di mata masyarakat mereka dianggap sebagai preman berjubah. Tujuan utama mereka yang memerangi kemasksiatan dengan membantu para aparat penegak hukum, tetapi perlu dingatkan kembali bahwa tidak semua masyarakat muslim di Indonesia taat terhadap agama islam yang dianutnya. Gusdur pernah berkata bahwa diperkirakan hanya 30 persen orang islam yang taat pada ajarannya, sisanya mereka adalah Islam KTP, salatnya belang-belang bahkan hanya salat 2 kali dalam setahun yaitu hari raya, tidak bisa membaca Al-Qur’an dan tidak berpuasa. Hal ini tidak menjadi persoalan selama mereka tidak melakukan keonaran dengan membawa nama islam di masyarakat, sebab sangat sulit jika mengingnkan keadaan masyarakat yang bersih dari kemaksiatan. Sebenarnya hal ini dapat diminimalisir ketika ada sosok figur yang memang sangat diharapkan masyarakat, seprti ulama dan tokoh pemimpin terdahulu. Melalui kharisma kepemimpinannya, ucapan-ucapannya yang sangat berbobot secara tidak langsung mempengaruhi tatanan dan keyakinan masyarakat di sekitarnya. Sangat disayangkan di Indonesia belum ada lagi sosok hebat figur yang dapat diharapkan kharisma kepemimpinannya hingga dapat diterima di semua lapisan masyarakat seperti itu.

PERAN PRIA DALAM PERJUANGAN PEREMPUAN

            Perjuangan hak-hak perempuan juga dilakukan oleh tokoh-tokoh laki-laki di Indonesia, seperti KH Agus Salim melalui Kongres Jong Islamieten Bond pada 1952 di Yogyakarta. Yang juga ditanggapi melalui surat oleh Ir Soekarno, akan dukungan setuju dari pendapat KH Agus Salim. Pada 1990-an muncul nama-nama pria seperti Mansour Faqih, yang mengenalkan konsep kesetaraan dan keadilan gender melalui buku dan pendidikan untuk orang dewasa yang diadopsi oleh sejumlah organisasi gerakan perempuan. KH Hussein Muhammad pengasuh pondok pesantren di Cirebon yang pernah menjadi komisioner Komnas Perempuan, dan menulis beberapa buku untuk meyakinkan publik bahwa ajaran Islam memiliki semangat membangun amsyarakat yang adil gender. Faqihuddin Abdul Kodir yang memperjuangkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, hingga aorganisasi dari aliansi Laki-Laki Baru yakni sekumpulan pria yang berkomitmen mendukung gerakan perempuan secara politik maupun sosial terutama pembebasan perempuan dari ketidakadilan gender khususnya pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Peran pria juga dibutuhkan dalam perjuangan pergerakan hak-hak perempuan dan penghapusan diskriminasi sebagai sebuah ikhtiar menuju masyarakat yang setara dan adil bagi semua.

 

KEPERAWANAN (VIRGINITAS) DALAM PERSPEKTIF ISLAM

            Dalam Islam keperawanan diperbincangkan paling tidak dalam tiga perspektif, yang pertama berhubungan dengan status seorang perempuan yang sudah kawin atau janda. Kedua, berhubungan dengan usaha menghindari praktik hubungan seksual di luar nikah (zina). Ketiga, berhubungan dengan konstruksi “harga” bagi seorang perempuan dalam perspektif masyarakat patriarkis. Dalam masalah keperawanan, pihak perempuan selalu dalam posisi yang dipersalahkan padahal di beberapa kasus laki-lakilah yang pada awalnya memulai dengan segala tipuan dan rayuan. Tetapi mengapa hanya perempuan yang menjadi korban dari tindakan tersebut, bahkan ironinya pria yang telah berhasil memerawani perempuan akan memiliki kebanggaan dan dipandang sebagai lambang kejantanan.

            Hal ini mengingatkan saya pada analisis Sigmund Freud yang menyatakan “Tabu keperawanan sebenarnya merupakan insting primitif perwujudan rasa takut laki-laki terhadap perempuan, karena perempuan dipandang memiliki kekuatan yang dapat menciptakan kehidupan manusia melalui darah dan rahimnya”.

            Dalam banyak komunitas muslim di Indonesia dan berbagai belahan dunia, ada peraturan tertulis maupun tidak agar perempuan terpelihara keperawanannya. Seperti aturan mereka dipinggit di dalam rumah, tidak boleh keluar malam, tidak bergaul dengan laki-laki dan harus mengenakan pakaian yang dipandang tidak memikat laki-laki. Bahkan diantara mereka banyak yang ketika keluar harus didampingi oleh laki-laki sesama muhrim, akibatnya ruang gerak perempuan menjadi semakin terbatas dan membentuk mentalis perempuan gagap serta bergantung pada laki-laki saat mereka berhadapan dengan kehidupan riil di masyarakat.

Mengenai mitos keperawanan Nawal El Saadawi menggambarkan bahwa banyak perempuan yang mengalami tekanan psikologis karena takut malam pertama perkawinannya tidak mengeluarkan darah, akibatnya muncul budaya merusak organ perempuan oleh dukun-dukun dengan menggunakan kuku atau alat lain agar keluar sercak darah dari vagina perempuan pada malam pertama. Bahkan yang digambarkan oleh Fatima Mernissi, di Maroko banyak perempuan yang melakukan “tipuan” keperawanan dengan cara menggunakan percikan darah ayam yang dilekatkan ke celana dalam atau sprei perempuan. Setelah itu, bercak darah tersebut akan diperlihatkan kepada para undangan untuk membuktikan bahwa pengantin perempuan tersebut masih perawan.

Di Indonesia, salah satu cara untuk mengintimidasi perempuan adalah dengan melakukan stigmatisasi atau tuduhan bahwa istrinya tidak perawan. Hal ini digambarkan oleh Dr. Ali Akbar mengenai kasus seorang perempuan yang datang kepada dirinya dengan perasaan trauma dan penderitaan yang amat mendalam. Padahal, atas dasar apa tuduhan itu dibuktikan. Sebab keperawanan sesuai dengan pernyataan Ali Akbar, tidak dapat dibuktikan hanya dengan sudah tersobeknya selaput dara (hymen) di vagina yang sangat tipis itu. Melainkan hanya bisa dibuktikan melalui pemeriksaan medis yang mendetail, lagi pula untuk apa hal tersebut dilakukan jika untuk mengukur kesucian perempuan. Sebab, kesucian perempuan hanya terdapat dalam dasar hati yang terdalam dan tercermin pada perilaku sehari-hari.

INSES (INCEST) DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA

            Inses (incest) adalah praktik seksual yang dilakukan oleh seseorang terhadap anggota keluarga dekatnya. Dapat dilakukan oleh ayah terhadap anak perempuannya, anak laki-laki terhadap ibunya, kakak atau adik laki-laki terhadap saudara perempuannya, dan seterusnya. Dalam perspektif psikoanalisis, praktik incest ini dapat dijelaskan dengan teori Oidipus Complex. Yakni teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud yang menjelaskan bahwa terdapat kecenderungan pada anak laki-laki untuk memiliki ibunya dalam pengertian seksual, tetapi keinginan tersebut terhalang kuat oleh ayahnya yang memilikinya. Terlepas dari setuju atau tidak setuju dengan teori ini, terdapat kemungkinan adanya hasrat seksual yang dimiliki oleh setiap anggota keluarga laki-laki terhadap anggota keluarganya yang perempuan.

            Dalam agama-agama terdapat larangan keras untuk melakukan praktik inses dalam kaitannya dengan adanya larangan perkawinan dengan sesama anggota keluarga, dalam Islam Al-Qur’an secara eksplisit melarang para laki-laki mengawini ibu, anak perempuan, saudara perempuan, mertua perempuan, saudara perempuan seperususuan, bibi, keponakan perempuan dalam hubungan sepersusuan dan seterusnya(QS. Annisa: 23). Hal sama juga terdapat dalam agama Yahudi yang melarang para laki-laki untuk mengawini para perempuan dalam empat generasi keluarga, jika pelarangan ini diabaikan maka pelakunya akan dipandang telah melakukan praktik kejahatan dan akan memperoleh hukuman yang sangat berat hingga pembunuhan (Blu Greenberg:1990).

            Perilaku inses ini dalam perspektif agama-agama belum dilihat sebagai bentuk kekerasam secara spesifik terhadap perempuan, melainkan dianggap sebagai pelanggaran ajaran keagamaan. Pelarangan perkawinan terhadap anggota keluarga tersebut ditunjukkan kepada laki-laki, karena laki-laki dianggap sebagai pemrakarsa atau “agressor” dalam hubungan seksual. Meskipun demikian, larangan yang sama berlaku juga bagi perempuan.

Demikianlah tulisan review saya yang bersumber dari buku “ISLAM, KEPEMIMPINAN, DAN SEKSUALITAS” Karya Dr. Neng Dara Affiah, MS.i. Buku ini sangat memberikan wawasan yang luas mengenai diri perempuan, citra perempuan, hak-hak yang dituntut perempuan ketika menyuarakan kesetaran gender, dan keistimewaan perempuan yang seharusnya lebih dapat dijadikan potensi di dalam masyarakat. Akhir kata saya berterimakasih kepada Ibu Dr. Neng Dara Affiah, MS.i selaku dosen pengampu Teori Sosial Modern juga sekaligus penulis dari buku yang saya review kali ini. Semoga beliau selalu diberkahi oleh Allah SWT di setiap gerak, langkah dan tindakannya dalam memajukan kesejahteraan umat, yang salah satunya dengan membuat buku yang sangat indah isi dan rupanya ini.

Referensi:

Affiah, N. D. (2017). Islam, kepemimpinan perempuan, dan seksualitas. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun