Mohon tunggu...
Novia Wulandari Umi Fadila
Novia Wulandari Umi Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Sosiologi

UIN Syarifhidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

31 Oktober 2020   13:00 Diperbarui: 31 Oktober 2020   13:02 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Buku ini juga membahas pandangan agama mengenai perkawinan yang merupakan sebuah tahapan hidup yang sakral, karena kesakralannya itu banyak yang mengusahakan hanya melakukan perkawinan sekali seumur hidupnya. Fungsi perkawinan menurut tafsir agama-agama adalah, menciptakan ketentraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia (laki-laki dan perempuan) pada suatu ikrar atau janji suci atas nama Tuhan. Dalam Islam ikrar ini disebut ijab-kabul, agama Katolik menyebutnya dengan sakramen perkawinan. Dalam kehidupan perkawinan posisi perempuan sebagai istri digambarkan sebagai pelengkap suami dan keberadaan istri sepenuhnya adalah tanggungan suami, hal ini memunculkan anggapan bahwa perempuan hanya berperan sebagai ibu dan istri tidak sebagai manusia yang memiliki otonom atas kemerdekaan dan kebebasan dirinya akan peran yang ingin dijalankan.

             Tujuan lainnya perkawinan adalah menghindari praktik zina, perkawinan menjadikan dua insan manusia memiliki komitmen untuk mendirikan sebuah keluarga yang lengkap dan nantinya memiliki penerus bagi keduanya yakni anak. Seorang anak perlu adanya sosok orang tua yang lengkap untuk menunjang tumbuh kembangnya, karena keluarga adalah yang pertama kali mengenalkan realitas kehidupan kepada si anak. Dengan adanya perkawinan si anak memiliki ikatan yang kuat terhadap kedua orang tuanya, baik sah secara agama dan hukum. Jika seorang anak lahir karena hubungan perzinaan antara laki-laki dan perempuan, maka anak tersebut di masyarakat dianggap sebagai hal yang tabu dan akan dikucilkan keberadaannya. Hal ini juga terjadi kepada ibu si anak, karena Ia yang mengandung anak tersebut jika tidak ada ikatan perkawinan ini akan jadi kemalangan terhadap si ibu dan anak yang dilahirkan. Maka dari itu agama menyarankan untuk mengadakan perkawinan, jika terdapat dua insan manusia yang saling menyayangi dan tidak terhalang oleh syarat-syarat mutlak perkawinan untuk dikawinkan.

            Salah satu syarat mutlak perkawinan bagi orang bergama adalah menikah dengan yang seagama, sebab melalui perkawinan akan diturunkan ajaran-ajaran keagamaan yang dianut oleh pasangan yang melakukan perkawinan tersebut. Dan juga ada pelarangan di agama untuk menikahi yang bukan dari golongan agamanya, tetapi dalam islam seorang laki-laki boleh menikahi selain perempuan islam hal ini dimaksudkan dengan peran suami yang diembannya diharapkan laki-laki tersebut dapat membimbing keluarganya kepada ajaran islam yang lurus dan benar (mengislamkan keluarganya).

            Dalam perkawinan pihak istri yang kebanyakan dibatasi hak bersuaranya karena itu dianggap sebagai aurat adalah pemahaman yang pernah dibantah semasa sejarah islam terdahulu, Fatima Mernissi yang mengingatkan kembali bahwa ada beberapa perempuan yang menginginkan hak-haknya dipenuhi dan tidak dikekang oleh suaminya. Seperti Sukayna cicit perempuan Nabi SAW yang menikah lima kali (bahkan ada catatan Ia menikah enam kali) menolak pengucapan untuk patuh kepada suaminya, tidak mau dipoligami, hak menentang suami dan hak-hak lainnya sebagai perempuan yang bebas sesuai dengan cita-cita hidupnya. Juga Aisyah binti Thalhah yang menolak menggunakan cadar ketika diminta oleh suaminya, pengungkapan sejarah ini menunjukkan bahwa wanita yang sudah menikah seharusnya tidak terlalu dibatasi kebebasannya karena perempuan juga masih memiliki hak atas hidupnya.

PERKAWINAN POLIGAMI DI DUNIA ISLAM DAN DI INDONESIA

            Perkawinan memiliki beberapa jenis salah satunya adalah poligami, buku ini menjelaskan latar belakang kemunculan anggapan bahwa dalam islam membenarkan praktik perkawinan poligami ini. Jauh sebelum islam datang di Arab memiliki budaya poligami dan poliandri hal ini banyak dilakukan oleh mereka yang memiliki kuasa, dan bermarga mashyur di Arab. Namun ketika islam datang banyak sahabat Nabi SAW yang menceritakan perkawinan mereka dengan banyak istri tersebut, lalu kemudian Nabi SAW mengatakan hal yang sama kepada mereka yang bertanya yakni “pilihlah empat diantara para istrimu itu, dan ceraikanlah sisanya” begitulah jawaban Nabi SAW yang menunjukkan bahwa perepmpuan dalam islam pun juga harus dihargai keberadaannya. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika akan melakukan poligami, yakni mengadakan perjanjian dengan adil, mengelola harta denan adil, dan adil terhadap anak yatim. Betapa Islam sangat memuliakan perempuan karena ketika laki-laki ingin melakukan poligami, maka Ia harus memenuhi semua syariahnya demi kelancaran penehuna hak dalam rumah tangganya. Hal lainnya yang membolehkan poligami adalah adanya keadaan mendesak, seperti dalam sejarah ketika selesai perang banyak perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dan anak yang ditinggal ayahnya. Maka turunlah sebuah ayat yang membahas diperbolehkannya poligami dengan tujuan menunjang kehidupan janda serta anak yatim korban perang tersebut. Poligami ini pernah salah diartikan oleh kepemimpinan islam di masa Dinasti Umayyah dan Ottoman, dimana para penguasa di masa itu memiliki harem yakni tempat bagi para perempuan penguasa. Di harem terdapat banyak wanita simpanan dari raja, elit, dan penguasa lainnya. Tentu saja hal ini tidak dibenarkan, karena semestinya poligami dilakukan karena memang ada suatu keadaan dan alasan khusus. Jika melihat di masa Nabi Daud as membolehkan poligami tanpa batas, hal ini dilandasi oleh keadaan pada masa itu bukan berati di setiap zaman poligami tanpa batas tetap diperbolehkan. Di Indonesia sendiri praktik poligami juga terjadi, seperti yang dilakukan oleh Soekarno. Kemudian ada pengetatan poligami dalam undang-undang mengenai perkawinan yakni No. 1 Th 1974, tetapi masih terdapat peluang untuk berpoligami jika laki=laki tersebut memiliki ekonomi yang memadai dan bisa berlaku adil terhadap para istrinya. Dalam poligami perempuan lebih banyak menerima anggapan buruknya, seperti kurang baik dalam melayani suaminya atau tidak dapat melahirkan keturunan yang diinginkan. Dalih apapun yang diucapkan seorang laki-laki ketika akan melakukan poligami tetap saja akan menyakiti hati istri pertamanya, meski beralasan karena mengikuti sunah Nabi SAW hal ini tetaplah kurang benar karena jika ingin mengikuti sunah Nabi SAW masiih banyak sunah-sunah yang lainnya.

JILBAB DAN SEPUTAR AURAT PEREMPUAN

            Buku ini membahas aurat seorang perempuan, asal muasal aurat adalah ketika Hawa yang tergoda oleh bujuk rayu iblis untuk memakan buah khuldi dan mengajak Adam lalu kemudian terbukalah kemaluannya dan diusir dari surga oleh Allah SWT hingga diturunkan ke bumi (cerita menurut surah Al-Baqarah: 121). Ketika diturunkan ke bumi maka langsung dicarinya dedaunan untuk menutupi kemaluannya, dan ini sebagai bentuk kesadaran awal manusia akan pentingnya memelihara faraj (kemaluan) masing-masing. Citra Hawa yang mudah terbujuk godaan iblis ini yang menjadi sumber pandangan bahwa perempuan dapat mengakibatkan kekacauan sosial, cerita ini terdapat pada kitab Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dalam Islam sebagai penutup aurat dikenal dengan jilbab yakni busana longgar yang menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, terdapat juga hijab yang berarti menyembunyikan atau menutupi dengan kain penutup. Busana yang seperti ini sudah lama digunakan oleh bangsa Arab dan sekitarnya yang kemudian diadopsi menjadi budaya islam karena sejalan dengan ajaran menutup auratnya. Islam mempergunakan jilbab juga sebagai penanda atau ciri-ciri seseorang tersebut adalah muslimah, dan agar tidak menimbulkan fitnah karena dikhawatirkan lekuk tubuh perempuan yang istimewa tersebut dapat menggoyahkan iman seorang laki-laki. Jilbab juga memiliki sejarahnya sendiri di Indonesia biasanya perempuan yang memiliki tabuk kepemimpinan menunjukkan keislamannya dengan menutup auratnya, meski masih dijumpai perempuan muslim yang menggunakan jilbab belum tertutup sempurna tetapi muslimah di Indonesia mengakui keberadaan jilbab sebagai penutup aurat misalnya ketika mereka ingin mengaji maka menggunakan busana tertutup. Bahkan keberadaan jilbab sempat menjadi alat politisasi, karena akan tercermin pribadi yang islami dan bersahaja karena menjalankan perintah Allah SWT untuk menutup aurat.

PERKAWINAN DAN KONTROL ATAS SEKSUALITAS PEREMPUAN: MENGENAL PEMIKIRAN ZIBA MIR-HOSSEINI

            Hukum Islam klasik, khususnya hukum keluarga yang sampai saat ini masih diterapkan di negara-negara berbasis muslim yakni produk hukum yang selama berabad-abad memberi keistimewaan kepada laki-laki melalui pelbagai pengaturannya. Hal ini kemudian dikritisi oleh Ziba Mir-Hosseini yang masih memiliki gars keturunan dengan Nabi SAW, sarja ilmu sosilogi dan antropologi yang mengkaji studi hukum islam serta melihat adanya gerak feminis islam.

Indonesia yang menganut negara hukum memiliki peraturan tentang perkawinan yang dimuat dalam UU Perkawinan No. 1 Th 1974, khusus umat islam terdapat Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan melalui Inpres No. 1 Th 1991 yang juga diadopsi oleh hakim agama. Dalam UU ini ternyata banyak merugikan pihak perempuan yang dinikahkan salah satu pengkritiknya adalah Ziba Mir-Hosseini, kritiknya mengenai hukum nikah siri yang belum jelas membuat banyak yang melakukan nikah siri dimana pihak perempuan yang dirugikan karena tidak tercatat dalam sipil sehingga tidak memiliki hak waris. Pengaturan mengenai poligami juga belum jelas tercatat, tidak ada hukuman yang pasti kepada pelaku yang melakukan kekerasan karena poligami (secara fisik atau psikis). Pembakuan peran perempuan menjadi ibu rumah tangga dan laki-laki sebagai pemimpin keluarga. Usia perkawinan pihak perempuan yang tidak sinkron dengan uu perlindungan anak, dalam UU perkawinan minimal pihak perempuan adalah 16 tahun tetapi dalam UU perlindungan anak usia minimalnya 18 tahun. Peraturan mengenai larangan pernikahan beda agama, bagi pasangan yang ingin menikah tetapi beda agama dan cukup secara finansial maka mereka melangsungkan pernikahannya di luar negeri dimana tidak ada aturan hukumnya. Negara dan daerah islam memiliki kontrol atas seksualitas perempuan, seperti di Aceh terdapat UU yang mengharuskan perempuan disana berjilbab dan di negara Islam lainnya. Produk hukum yang seperti ini berbasis dari ideologi islam yang dianutnya, hingga dibuatnya hukum keluarga dan hukum kriminal yang berimbas langsung kepada kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran atas hak-haknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun