Aku tidak tahu apakah aku sungguh-sungguh mencintai Awang Pandu. Entahlah. Sampai dia melamarku aku masih tidak tahu. Tepatnya mungkin belum mau tahu. Aku masih sibuk dengan mimpi-mimpi. Seperti kupu-kupu, agaknya aku belum puas mengepak sayap.
Waktu melewati jalurnya. Mendaki tebing hari. Demi hari. Pekan. Bulan dan tahun. Ada yang berubah padaku. Tapi tidak pada Awang Pandu.
“Sepertinya ini sudah saatnya, Alila. Sekolahku sudah selesai. Pekerjaan tetap sudah ada. Kamu juga sudah bekerja tetap. Kira-kira, kapan ya aku bisa ketemu orang tuamu?…..” tanya Awang Pandu waktu aku menghadiri wisuda pascasarjananya. Saat itu aku sudah bekerja sebagai dosen tetap Mikrobiologi di FK . Sebuah universitas swasta tertua di Jakarta. Sementara dia mengabdi di almamater tercinta.
“Mau apa?” tanyaku. Pertanyaan bodoh.
“Melamar.”
“Melamar siapa?”
“Padmaningrum Alila dong.”
“Kenapa terburu-buru?”
“Menurutmu terburu-buru?”
“Hmmmm” gumamku menyisakan tanya bagi Daeng-ku.
----------------