Fraud Hexagon Theory merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori-teori sebelumnya seperti Fraud Triangle, Fraud Diamond, dan Fraud Pentagon. Teori ini memperkenalkan elemen keenam, yaitu collusion (kolusi), yang memberikan pandangan baru mengenai peran kerjasama antarindividu atau kelompok dalam meningkatkan risiko terjadinya kecurangan, terutama dalam organisasi yang kompleks.
Enam Elemen dalam Fraud Hexagon Theory:
- Pressure (Tekanan): Dorongan yang dialami individu akibat kebutuhan mendesak atau target tertentu, seperti utang, gaya hidup mewah, atau tuntutan pekerjaan.
- Opportunity (Kesempatan): Peluang yang muncul karena kelemahan dalam pengendalian internal, minimnya pengawasan, atau adanya celah dalam sistem organisasi.
- Rationalization (Pembenaran): Proses di mana pelaku mencari pembenaran untuk tindakannya agar tampak dapat diterima secara moral.
- Capability (Kapabilitas): Kemampuan individu untuk memanfaatkan peluang secara efektif, termasuk keterampilan, pengetahuan, dan keberanian yang dimiliki.
- Arrogance (Arogansi): Rasa superioritas atau keyakinan bahwa aturan dan pengawasan tidak berlaku bagi dirinya, sehingga merasa berhak untuk melakukan kecurangan.
- Collusion (Kolusi): Kolaborasi antara beberapa pihak untuk memanipulasi sistem atau menyembunyikan kecurangan, yang menciptakan tantangan tambahan bagi organisasi dalam mendeteksi kecurangan.
B. Contoh Kasus Fraud Di Indonesia
Seiring dengan meningkatnya berbagai bentuk pelanggaran akuntansi dalam perusahaan, mulai dari kesalahan sederhana hingga tindak kejahatan yang kompleks dan terorganisir, kepercayaan terhadap akuntan publik sebagai pihak independen dalam memastikan kewajaran laporan keuangan semakin menurun. Akibat adanya kecurangan, investor dan kreditor mulai meragukan peran akuntan publik. Beberapa kesalahan akuntan publik terjadi secara tidak sengaja, namun ada juga yang dilakukan dengan sengaja.
Salah satu kasus kecurangan besar ditemukan di PT Kimia Farma Tbk pada tahun 2001, di mana terjadi penggelembungan laba bersih dalam laporan keuangan tahun buku tersebut. Temuan ini pertama kali diungkap oleh Hans Tuanakotta dan Mustofa & Rekan, yang mencatat adanya ketidakwajaran dalam laporan keuangan semester I tahun 2001. Audit tahun buku 2001 dilakukan oleh kantor akuntan publik (KAP) yang sama, tetapi dengan partner yang berbeda: Syamsul Arifin untuk audit tahun buku 2001 dan Ludovicus Sesi untuk semester I.
Kecurangan berupa penggelembungan laba atau mark-up mencapai Rp 32 miliar, dengan laba bersih yang seharusnya Rp 99,6 miliar dilaporkan menjadi Rp 132,1 miliar, sementara penjualan bersih tercatat Rp 1,02 triliun. PT Kimia Farma menduga bahwa ketidakwajaran ini terjadi pada pos persediaan. Pemeriksaan oleh Bapepam mengungkap kesalahan dalam penilaian persediaan barang dan jasa serta pencatatan penjualan, yang menyebabkan laba bersih tahun 2001 dilaporkan secara berlebihan sebesar 32,1% dari penjualan dan 40,2% dari laba sebenarnya.
Kesalahan juga ditemukan pada unit industri bahan baku, unit logistik sentral, dan unit pedagang besar farmasi. Kesalahan tersebut meliputi:
- Overstated penjualan sebesar Rp 10 miliar pada unit bahan baku.
- Overstated persediaan barang sebesar Rp 18,2 miliar pada unit logistik sentral.
- Overstated persediaan barang sebesar Rp 7,5 miliar pada unit pedagang besar farmasi.
Pelanggaran ini dilakukan oleh direksi periode Januari--Juni 2001 dengan beberapa cara, termasuk:
- Membuat dua daftar harga persediaan berbeda yang diterbitkan pada Februari 2001 dan 5 Februari 2001, keduanya diotorisasi oleh Direktur Produksi PT Kimia Farma.
- Melakukan pencatatan ganda penjualan pada unit pedagang besar farmasi dan unit bahan baku.
Berdasarkan temuan tersebut, tindakan PT Kimia Farma terbukti melanggar peraturan Bapepam No. VIII.G.7 tentang pedoman penyajian laporan keuangan. Meskipun auditor telah mengikuti prosedur audit, termasuk teknik audit sampling sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), penggelembungan laba tidak terdeteksi.
Sesuai Pasal 111 PP No. 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Pasar Modal, PT Kimia Farma dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 500 juta. Berdasarkan Pasal 63 huruf c UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, direksi lama periode Januari--Juni 2001 diwajibkan membayar Rp 1 miliar ke kas negara karena praktik penggelembungan laporan keuangan.
Selain itu, KAP Ludovicus Sesi & Rekan sebagai auditor PT Kimia Farma dikenakan denda Rp 100 juta karena gagal mendeteksi penggelembungan laba meskipun telah menjalankan prosedur audit sesuai SPAP.
C. PembahasanÂ
Kesalahan penyajian laporan keuangan yang terjadi pada PT Kimia Farma mengindikasikan adanya praktik tidak sehat oleh manajemen perusahaan. Sayangnya, kesalahan tersebut tidak terdeteksi oleh akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan perusahaan pada periode tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kegagalan mendeteksi kesalahan tersebut sepenuhnya merupakan tanggung jawab akuntan publik, mengingat auditor tersebut telah melaksanakan prosedur audit sesuai Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).