Mohon tunggu...
M. Nova Burhanuddin
M. Nova Burhanuddin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya mahasiswa yang sedang menempuh studi keislaman di Universitas Al-Azhar Mesir. Semoga Kompasiana ini dapat menjadi wadah untuk berbagi informasi dan pengetahuan yang menarik dan bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Eksistensialisme Maqashid Syariah

26 Juni 2016   04:35 Diperbarui: 26 Juni 2016   08:24 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

  

            Pembaca lihat betapa kuat kata-kata asy-Syathibi di atas dalam hal istidlal bahwa Ushul Fiqih harus pasti (qath’iyyah). Yang penulis ingin apresiasi di sini adalah nuansa eksistensialis yang coba dihadirkan asy-Syathibi. Asy-Syathibi mengerahkan beragam kemampuan multidispliner untuk itu: metode istiqrâ` kullîy yang menurut Dr. Muhammad Abdullah Darraz merupakan satu macam dari beragam macam konsep mutawatir maknawi[29]; komparasi dengan diskurusus Ushuluddin; pengemasan dengan metode manthiq. Kehadiran banyak unsur ini menciptakan nuansa eksistensialis yang kuat.

Yang mengherankan kemudian justru komentar Syaikh Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur, “Dan sungguh Abu Ishaq asy-Syathibi dalam muqaddimah pertama dari kitab al-Muwâfaqât telah berusaha beristidlal akan keberadaan Ushul Fiqih jadi qath’iyyah namun beliau belum mampu (mewujudkannya).”[30] Mengertinya secara sederhana mungkin bisa dikembalikan pada ‘kekecewaan’ atau ‘keraguan’ Syaikh Ibn ‘Asyur bahwa Ushul Fiqih mampu menyelesaikan dan mendamaikan perselisihan Fiqih, sebagaimana dijelaskan di atas, termasuk juga Ushul Fiqih dengan aura Maqashid Syariah sekuat al-Muwâfaqât, ‘panutan’ Syaikh sendiri, sehingga beliau merasa perlu membebankan tugas perdamaian itu pada Maqashid Syariah ‘baru’ secara khusus.

Terlepas dari itu semua, ternyata kritik Syaikh ke asy-Syathibi dan tokoh-tokoh Ushuli lain di atas tidak menghalangi beliau untuk mencoba memaklumi dan mengerti eksistensi Ushul Fiqih—tanpa menafikan menampilkan kekecewaannya, tentu saja. Yakni dengan menyatakan:

“Saya melihat sebab perselisihan ushuliyyin dalam membatasi dalil-dalil (dalam Ushul Fiqih) dengan al-Qawâthi’ (dalil-dalil yang pasti) adalah kebingungan antara apa yang mereka susun berupa dalil-dalil hukum-hukum dan antara apa yang mereka pertahankan untuk sampai kepadanya berupa menjadikan Ushul Fiqih qath’iyyah seperti Ushuluddin yang bersifat sam’iyyah. Mereka sungguh telah berani mengambil risiko untuk menjadikan Ushul Fiqih qath’iyyah. Maka tatkala mereka mengkodifikasi Ushul Fiqih dan mengumpulkannya, mereka menyusun yang qath’îy, dalam Ushul Fiqih, jarang dengan kejarangan yang nyaris menyingkirkan menghitungnya termasuk di antara masalah-masalah Ushul. Bagaimana (tidak), sementara dalam sebagian besar Ushul Fiqih terdapat perselisihan di antara para Ulamanya?”[31]

Kita lihat kritik terhadap Ushul Fiqih yang minim dalil qath’îy di atas--dengan membayangkan pengalaman eksistensialis antar ilmu-ilmu Islam yang dialami Syaikh Ibn ‘Asyur—tidak menafikan pemakluman terhadap Ushul Fiqih dan Ushuliyyin dengan menganggap mereka mungkin sedang kebingungan (secara eksistensialis) saja antara harapan dan realitas: harapan dalil-dalil qath’iyyah saja dalam Ushul Fiqih (yang sebenarnya disepakati) dihadapkan dengan realitas kesulitan mewujudkannya dalam kodifikasi Ushul Fiqih. Namun, tentu saja, harapan tidak boleh benar-benar pupus. Harus tetap semangat demi masa depan.

Lantas apakah ‘kekecewaan’ Syaikh terhadap Ushul Fiqih yang getir di atas secara mutlak dan total? Tidak! Dengan bukti kalimat-kalimat beliau berikut ini:

“Maka kami bila hendak mengkodifikasi UshûlQath’iyyah untuk Tafaqquh fî ad-Dîn pasti kami harus menuju masalah-masalah Ushul Fiqih yang biasa dikenal dan kami kembali ‘meleburkannya’ dalam ‘smelter’ (wadah peleburan logam) kodifikasi dan kami menugaskannya sementara pada barometer nazhar(pemikiran) dan naqd(kritik) lantas kami hilangkan dari masalah-masalah Ushul Fiqih itu bagian-bagian asing yang mana masalah-masalah Ushul Fiqih tersebut jadi gila sebab bagian-bagian asing tersebut, dan kami letakkan di dalamnya tambang-tambang madârik al-fiqhwa an-nazhr yang paling mulia kemudian kami kembali membentuk ilmu tersebut dan kami namai Ilmu Maqashid Syariah, dan kami biarkan Ilmu Ushul Fiqih pada keadaannya yang mana diambil darinya jalur-jalur penyusunan dalil-dalil Fiqih, dan kami menuju apa yang termasuk masalah-masalah Ushul Fiqih, tanpa pengucilan, di bawah (naungan) tenda maksud kami ini berupa mengkodifikasi Maqashid Syariah, lantas kami jadikan dari kodifikasi ini prinsip-prinsip untuk ilmu yang agung ini, Ilmu Maqashid Syariah. Maka seyogyanya kami katakan: Ushul Fiqih wajib qath’iyyah, artinya termasuk hak para Ulama bahwa mereka tidak mengkodifikasi dalam Ushul Fiqih kecuali apa yang merupakan qath’îy, adakalanya dengan dharûrah atau dengan nazhar qawîy--masalah ini senantiasa jadi medan tempur pandangan-pandangan. Dan usaha memisahkan di dalam Ushul Fiqih (sebagaimana pertimbangan di atas) memenuhi kajian-kajian MuhaqqiqînUshul Fiqih di penutupan-penutupan perbincangan di bulam Ramadhan.”[32]

Demikianlah Syaikh Ibn ‘Asyur menyikapi Ushul Fiqih dengan insaf dan berjarak secara eksistensialis untuk tetap memanfaatkan Ushul Fiqih sebesar-besarnya. Bagaimanapun juga Ushul Fiqih termasuk ilmu terpenting dalam ilmu-ilmu Islam yang hebat. Menafikannya sama sekali sama dengan bunuh diri. Itulah warisan berharga para Ulama sepanjang masa. Bahkan mungkin, bisa dikatakan di sini, tanpa arahan kerangka besar Ushul Fiqih, Maqashid Syariah tak akan pernah ada, karena ialah ibu dan asal-usul teoretisnya[33]—tanpa menafikan sumbangsih penting ilmu-ilmu Islam lain secara eksistensialis, seperti Kalam, Tasawuf, Manthiq, Bahasa, Balaghah, Ulumul Quran, Ulumul Hadits, dan lain sebagainya.      

Penutup

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun