Perbedaan pembacaan semacam ini Dr. Muhammad Abu an-Nur az-Zuhair simpulkan, dari referensi klasik, jadi: 1) Ushul Fiqih sebagai murakkab idhâfîydanUshul Fiqih sebagai ‘alamperbedaannya hanya lafzhi (bersifat lafazh, tidak esensial). Ini kalau dibatasi pada asal-usul secara bahasa semata. Perbedaan sudut pandang keduanya juga tidak saling kontradiktif; 2) Ushul Fiqih sebagai murakkab idhâfîymaknanya mufrad, tunggal, yakni dalil-dalil fiqih, sementara Usul Fiqih sebagai ‘alammaknanya murakkab, bersusun, tidak tunggal, karena terdiri dari tiga aspek, yaitu mengetahui dalil-dalil fiqih, mengetahui tata cara mengambil faidah dari dalil-dalil itu, dan mengetahui ihwal orang yang bisa mengambil faidah itu; 3) Ushul Fiqih sebagai ‘alamadalah sama dengan ilmu itu sendiri, sementara ia sebagai murakkab idhâfîyadalah yang mengantarkan pada ilmu itu (al-muwashshil ilâ al-‘ilm).[2]
      Setelah menjelaskan konsep Ushul Fiqih yang bisa terbaca dari definisinya dengan dua sudut pandang di atas, tiba saatnya kita membahas makna Maqashid Syariah.
      Maqashid Syariah juga bisa dibaca dari dua pendekatan di atas. Sebagai murakkab idhâfîy,Maqashid Syariah terdiri dari Maqâshiddan asy-Syarî’ah. Maqâshidjamak dari maqshid yang bermakna maksud atau tujuan. Sementara asy-syarî’ah terkadang disebut asy-syar’ terkadang asy-syarî’ah. Asy-Syar’ secara bahasa adalah ungkapan tentang al-bayân(penjelasan) dan al-izhhâr (menjelaskan, memperjelas). Dikatakan syar’u Allahbegini, artinya Allah menjadikannya jalan dan madzhab. Dari kata ini pula muncul al-masyra’ah. Sementara asy-syarî’ah adalah (keadaan) keterperintahan untuk harus melaksanakan ibadah. Dikatakan: asy-syarî’ah adalah jalan dalam agama.[3] Begitu sebagai murakkab idhâfîy.
      Namun sebagai ‘alam, Maqashid Syariah terbagi jadi 3 macam: maqashid syariah ‘âmmah, maqashid syari’ah khâshshah, dan maqashid syariah juziyyah.Maqashid Syariah ‘Âmmah menurut Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan Syari’ dalam semua ihwal tasyri’ atau sebagain besarnya. Maka masuk dalam (karakteristik) ini sifat-sifat syariah, tujuan-tujuannya yang umum, dan makna-makna yang mana tasyri’ tak lepas memperhatikannya. Masuk juga dalam (karakteristik) ini makna-makna dari hukum yang tidak diperhatikan dalam seluruh macam hukumnya, tapi diperhatikan dalam banyak macamnya saja.[4] Sementara Maqashid Syariah Khâshshahadalah kaifiah-kaifiah yang dimaksudkan oleh Syari’ untuk merealisasikan maksud-maksud manusia yang bermanfaat, atau untuk menjaga maslahat-maslahat umum mereka dalam tasharruf-tasharruf khusus mereka. Masuk dalam karateristik ini setiap hikmah yang dipelihara dalam pensyariatan hukum-hukum tasharrufat manusia, seperti mendirikan aturan rumah dan keluarga dalam akad nikah, menolak bahaya yang terus-menerus dalam thalaq, dlsb.[5] Adapun Maqashid Syariah juziyyahadalah hukum syariah yang dimaksud oleh syari’ seperti wajib, haram, sunnah, makruh, boleh, syarat, atau sebab.[6]
      Tiga macam Maqashid Syariah ini dicakup dalam satu definisi Syaikh ‘Allal al-Fasi, bahwa yang dikehendaki dari Maqashid Syariah adalah tujuan dari syariah, dan rahasia-rahasia yang dibuat Syari’ pada tiap hukum dari hukum-hukum syariah. Bagian pertama mengisyaratkan maqashid ‘âmmah, bagian kedua mengisyaratkan maqashid khâshshah dan juziyyah.[7]
      Dari tiga macam Maqashid Syariah di atas, terlihat bahwa Maqashid Syariah memiliki kerja besar menyingkap tujuan atau maksud Syari’ dari syariah itu sendiri, juga menyingkap rahasia-rahasia atau hikmah-hikmah dalam tiap hukum syariah. Pemahaman besar ini tentu saja membutuhkan pemahaman dasar soal syariah, hukum syariah, hikmah, dan rahasia, serta hal-hal lain yang tak bisa didapat kecuali dalam diskursus Ushul Fiqih itu sendiri dan dalam semua logika penopangnya seperti ilmu kalam, manthiq, bahasa, fiqih, juga ilmu munâzharah (ilmu debat dan diskusi). Atau dengan uraian yang lebih teoretis, dikatakan bahwa di atas kebutuhan Maqashid Syariah pada Ushul Fiqih tersebut, pemahaman Maqashid Syariah dan Ushul Fiqih harus disandarkan pada pemahaman mendalam seputar Kalam atau Aqidah Islam yang punya kaitan erat dengan membangun pemahaman relasi antara makhluk dengan Sang Khaliq, Sifat-Nya, Asma`-Nya, dan Af’al-Nya. Di atas segalanya, pemahaman Maqashid, Ushul Fiqih, dan Aqidah harus difungsikan dalam eksistensi (wujud) yang melingkupinya, eksistensi yang berkait-kelindan dengan tiga esksistensi utama: eksistensi Allah sebagai Dzat Mutlak, Absolut, eksistensi manusia sebagai Khalifah-Nya, dan eksistensi alam sebagai ekspresi tajallîy dan kehadiran-Nya.
      Pemahaman Maqashid Syariah dengan tiga tingkatan di atas berurutan secara logis meskipun kehadiran eksistensinya secara aktual bisa muncul bersamaan atau bergandengan satu atau lebih eksistensi yang lain. Yakni, berurutan dari yang paling universal secara umum: tingkatan eksistensialis, kemudian tingkatan aqidah/teologi, kemudian tingkatan ushul fiqih, kemudian tingkatan maqashid syariah, kemudian tingkatan fiqih. Namun sekali lagi yang perlu diingat, urutan semacam ini akan tak banyak berguna dalam ranah aktual, karena eksistensi universal terlalu mulia, agung, dan kompleks untuk diurut-urutkan secara pasti. Pengurutan ini hanya membantu pemahaman secara logis yang bisa ditangkap manusia secara sadar.
      Yang jelas dalam posisi ini perlu dipahami pentingnya Maqashid Syariah dioptimalisasikan bersama ilmu-ilmu Islam lain sebagai logika penopangnya atau logika pembandingnya, juga sebagai ‘grand design’ kemungkinan atau keabsahan Maqashid Syariah bekerja dan bereksistensi dengan eksistensi-eksistensi lain dalam ‘kerangka’ eksistensi universal yang mutlak dan suci. Dengan begitu Ushul Fiqih, misalnya, bisa secara tidak langsung jadi lebih runcing demi kemaslahatan Fiqih, dengan adanya Maqashid Syariah ini. Â
Kemandirian Maqashid Syariah dan Kemungkinan Eksistensialisnya Â
Setelah kita paparkan istilah-istilah kunci di atas yang berkaitan dengan Maqashid Syariah, Ushul Fiqih, dan sekilas pandangan dan isyarat kebutuhannya satu sama lain, juga keterbukaan dengan Aqidah dan lingkup eksistensialis yang mengitarinya, kini tiba saatnya melangkah ke pembahasan inti. Yakni usaha membaca kembali fenomena kecenderungan Maqashid Syariah menjadi ilmu mandiri dari Ushul Fiqih, untuk kita nilai ketepatan atau permasalahan sebenarnya—suatu persoalan yang kerap jadi keruh di tangan para pemikir kontemporer bahkan terkesan tak punya identitas dan kekokohan metodologis. Usaha ini tidak bisa dilepaskan dari bantuan pengalaman eksistensialis yang dialami Maqashid Syariah, juga Ushul Fiqih dan Aqidah dalam statusnya sebagai ilmu Islam dan sekaligus statusnya sebagai ekspresi, kehadiran, dan penampakan eksistensialis ilmu Islam tumbuh dan berkembang lalu termandirikan satu sama lain.
      Pada awalnya adalah sebuah kegelisahan untuk mengharmoniskan banyak pendapat ushuliah yang suka saling bertentangan. Pertentangan ini disimbolkan dan disimpulkan dalam madzhab Ibn al-Qasim dan madzhab Abu Hanifah, sebagaimana diceritakan oleh asy-Syathibi dalam suatu mimpi asal-usul nama kitab pentingnya, al-Muwâfaqât.[8] Harmonisasi ini mencakup metode Ushul Fiqih ala Mutakallimin dan ala Fuqaha`, namun dengan cita rasa Maqashid Syariah yang sangat kental--bila dibanding metode harmonisasi yang sama oleh ulama lain.[9] Cita rasa maqashid yang kental ini bisa kita rasakan langsung sejak halaman pertama al-Muwâfaqât. Belum lagi kalau sudah sampai bagian ketiga dari kitab ini, asy-Syathibi mengkhususkan penuh untuk membahas Maqashid Syariah tuntas sampai akar-akarnya. Inilah yang membuat sebagian peneliti mengkategorikan al-Muwâfaqâtdalam jenis Ushul Fiqih khas Maqashid yang berbeda dengan Ushul Fiqih yang lain. Tapi itu tak menafikan ulama lain mengkategorikannya sebagai Ushul Fiqih ala Mutaakhkhirin yang mengharmoniskan metode Mutakallimin dengan Fuqaha`.