Usaha ke arah sana akan diusahakan sebisa mungkin dengan cara analisis teks dan segala yang meliputinya dengan pandangan kesatuan ilmu-ilmu Islam secara eksistensialis. Artinya, bahwa Islam sebagai agama yang multikomprehensif dalam semua aspeknya ternyata melahirkan pandangan-pandangan kesatuan dalam semua horizon dan cakupannya—meskipun bukan berarti tidak bisa dijabarkan satu-satu, sendiri-sendiri, berbeda satu sama lain. Perbedaan penjabaran oleh yang berkecenderungan memisah-misahkan dan yang berkecenderungan menyatu-nyatukan hanya pada level yang berbeda dan tidak benar-benar saling kontradiktif. Demikian terjadi karena Islam adalah satu sebenar-benar satu meskipun kehadiran, penampakan, dan kesadarannya beragam-- dengan pemaknaan sefilosofis dan seeksistensialis mungkin. Usaha ‘penerobosan’ kehadiran, penampakan, dan kesadaran yang beragam itu tentu membutuhkan pandangan eksistensialis tingkat tinggi, karena itulah ini membutuhkan pandangan eksistensialis Islam yang integral dan manunggal.
      Capaian penelitian yang diharapkan adalah memahami persoalan kemandirian dan pemisahan Maqashid Syariah dari Ushul Fiqih (jika benar istilah ‘kemandirian dan pemisahan’ tersebut) sehingga kita bisa memahami persoalan dan pengalaman kehadirannya dengan lebih jernih dan terpadu. Dengan begitu kesadaran eksistensialis kita lebih menyatu dan menguatkan satu sama lain terhadap persoalan ini. Apanya? Aspek-aspek pembentuknya, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, bahkan juga penghalang-penghalangnya.
Memahami Perangkat Konseptual sebagai Landasan Konstrukstif Teori
      Sebelum masuk inti persoalan terkait peruncingan peran Ushul Fiqih dalam kerja Maqashid Syariah, perlu dijelaskan di sini komponen-komponen pembentuk dari konsep peruncingan ini. Yaitu Ushul Fiqih dan Maqashid Syariah, kemudian maksud dari peruncingan di sini.
      Ushul Fiqih bisa dilihat dari perspektif: sebagai murakkab idhâfîy atau sebagai ism ‘alam. Sebagai murakkab idhâfîy,Ushul Fiqih terdiri dari ushûldan al-fiqh. Ushûladalah jamak dari ashlyang berarti mâ yubnâ ‘alaih ghairuhu hissan au ma’nan(apa saja yang mana selainnya dibangun di atasnya baik berupa inderawi atau maknawi). Seperti membangun penghalang di atas tembok, atau seperti membangun hukum di atas dalil. Maka tembok dan dalil di sini adalah ashl karena di atasnya dibangun hal-hal lain. Selain itu ashl juga berarti mansya` asy-syai`(asal tumbuhnya sesuatu), seperti kapas asal dari tenunan-tenunan.
      Secara istilah, ashl dimaknai beragam: 1) al-ashlbermakna dalil, seperti: al-ashlufî tahrîm az-zinâ qauluhu ta’âla{ولا تقربوا الزنا}maksudnya: dalil keharaman zina adalah ayat tersebut; 2) al-ashlbermakna ar-râjih (yang kuat, menang), seperti: al-ashlu fî al-kalâm al-haqîqah,maksudnya yang rajih dalam ucapan menurut pendengar adalah makna hakiki bukan majazi karena tidak ada qarinah yang menunjukkannya; 3) al-ashlbermakna al-maqîs ‘alaih(nas asal yang diqiyaskan ke yang lain) seperti perkataan para faqih: khamr adalah asal dari perasaan anggur; 4) al-ashlbermakna kaidah yang berlaku, seperti perkataan para ahli nahwu: asal dalam fa’il adalah rafa’, dalam maf’ul nashab, maksudnya kaidah yang berlaku dalam fa’il dan maf’ul.
      Sementara fiqih menurut bahasa adalah: 1) pemahaman mutlak, baik pada perkara yang jelas atau samar, baik pada tujuan pembicara atau selain pembicara. Ini makna yang rajih; 2) memahami tujuan pembicara baik tujuan itu jelas atau tidak jelas; 3) memahami sesuatu yang rumit, yang lebih umum dari tujuan pembicara atau selain pembicara.
      Secara istilah, fiqih adalah ilmu hukum-hukum syar’i yang amaliah yang mana ilmu itu diusahakan dari dalil-dalil hukum yang rinci.
      Sehingga makna Ushul Fiqih sebagai murakkab idhâfîyadalah dalil-dalil tentang hukum-hukum syariah yang amaliah yang diusahakan dari dalil-dalil hukum yang rinci.
      Adapun Ushul Fiqih sebagai ism ‘alam (nama fan ilmu tertentu), ia seperti mufrad(bentuk tunggal, bukan jamak), partikular makna pembentuk nama Ushul Fiqih tidak menunjukkan atau mengisyaratkan makna keseluruhannya. Ushul tidak menunjukkan apapun, Fiqih juga tidak. Maka definisi Ushul Fiqih sebagai ‘alam, sebagaimana al-Baidhawi katakan, adalah mengetahui dalil-dalil fiqih secara global, tata cara mengambil faidah dari dalil-dalil itu, dan ihwal orang yang dapat melakukannya.[1]
      Dari sini kita melihat ada sedikit perbedaan dalam menyikapi istilah Ushul Fiqih, entah dari genealoginya (asal-usul katanya) atau ‘alam(nama fan tertentu). Perbedaan ini memang awalnya tidak terlalu jauh satu sama lain. Maksudnya: melihat Ushul Fiqih sebagai genealogis atau murakkab idhâfîy, ia relatif tidak mengalami perubahan yang berarti karena lebih cenderung melihat asal-usulnya secara bahasa. Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya sebagai‘alambukan tidak mungkin mengalami penambahan atau pengurangan dalâlahatau makna sehingga bisa mengubah sedikit-banyak definisinya sebagai‘alam di atas. Proses perubahan ini tidak menafikan makna ‘jadi’ yang jadi patokan, tapi nuansa, sensasi, dan rasa kehadirannya bisa berubah terus-menerus tanpa harus selalu ada kontradiksi dengan makna ‘jadi’ tersebut. Makna ‘jadi’ sedikit banyak diambil dari makna bahasanya sebagai asal-usulnya.