Kamu pasti punya media sosial kan? Kamu sadar atau ngerasain nggak? Kalau media sosial bikin kita punya “standar” hidup yang rasanya nggak ada habisnya? Mau itu soal penampilan, gaya hidup, karier, bahkan hubungan, semuanya seperti punya “template” yang harus diikuti.
Nah, di era digital ini, media sosial tidak hanya menjadi tempat untuk berbagi cerita atau hiburan saja, tapi malah berubah jadi semacam panggung kompetisi—siapa yang paling cantik/tampan, siapa yang paling sukses, siapa yang hidupnya paling bahagia.
Ironisnya, banyak banget yang lupa kalau apa yang kita lihat di media sosial seringkali hanya sebagian kecil kesempurnaan yang ditampilkan oleh seseorang.
Generasi Z, yang lahir di tengah perkembangan teknologi dan tumbuh bersama media sosial, jadi generasi yang paling kena dampaknya. Dari kecil mereka sudah akrab dengan Instagram, TikTok, dan YouTube, yang isinya penuh dengan influencer dan selebgram yang kelihatan punya hidup sempurna.
Ini membuat standar hidup semakin tidak realistis. Mesti punya kulit flawless, badan ideal, karier gemilang di usia muda, dan liburan ke tempat-tempat fancy.
Kalau tidak sesuai dengan “standar” itu, langsung deh muncul perasaan minder, merasa gagal, bahkan jadi tidak percaya diri dengan diri sendiri.
Tekanan ini jadi semakin berat karena Generasi Z hidup di dunia yang serba cepat. Semua pencapaian, entah itu soal fisik atau karier, sepertinya harus diraih dalam waktu singkat.
Padahal, di balik layar, nggak ada yang benar-benar tahu perjuangan atau bahkan “settingan” dari apa yang ditampilkan. Sayangnya, generasi ini sering banget terjebak dalam perbandingan sosial yang bikin mereka merasa selalu kurang.
Media sosial bukannya jadi hiburan, malah jadi sumber stres dan beban psikologis.
Masalahnya, standar yang ditetapkan media sosial ini tidak hanya mempengaruhi cara mereka melihat orang lain, tapi juga cara mereka melihat diri sendiri. Kalau terus-menerus seperti ini, nggak heran banyak dari mereka yang akhirnya capek secara mental, bahkan terjebak dalam krisis identitas.
Di sinilah kita harus mulai sadar dan cari solusi agar media sosial nggak terus-terusan jadi beban buat Generasi Z.
Dampak Media Sosial pada Persepsi Diri
Di era sekarang, siapa sih yang nggak pernah scroll Instagram atau TikTok dan tiba-tiba merasa “Duh, kok hidup dia kayaknya lebih keren dari gue ya?” Itu semua terjadi karena media sosial bisa dibilang punya cara licik untuk “mengatur” cara kita melihat diri sendiri.
Salah satu efek paling terasa adalah munculnya ekspektasi yang tidak realistis soal tubuh, gaya hidup, dan pencapaian. Sepertinya, semua orang di media sosial punya hidup yang sempurna, membuat kita jadi tidak pernah puas dengan diri sendiri.
Ekspektasi Tubuh Ideal
Coba liat feed Instagram atau explore TikTok—isinya pasti penuh dengan orang-orang dengan badan ideal: perut rata, kulit glowing, atau mungkin otot yang kelihatan “perfect”.
Sadar nggak sadar, ini membuat kita berpikir kalau tubuh kita harus kayak gitu juga supaya dianggap “cantik” atau “good looking”. Padahal, banyak yang nggak tahu kalau foto-foto itu seringkali editan atau hasil pemotretan profesional dengan lighting dan angle yang pas.
Tapi tetap saja otak kita seperti langsung memberikan standar, “Oh, ini nih yang harus gue capai.”
Dampaknya banyak yang rela diet ekstrem, menghabiskan uang untuk skincare mahal, atau bahkan operasi demi menyamakan “standar” itu. Kalau nggak berhasil? Ya sudah, insecure deh, berpikir badan sendiri tidak cukup bagus.
Gaya Hidup Mewah
Tidak hanya soal penampilan, media sosial juga bikin kita merasa hidup harus selalu “wow”. Liat influencer yang tiap minggu staycation di hotel mewah atau nongkrong di kafe estetik yang bikin kita mikir, “Kok gue cuma di rumah aja?”
Generasi Z, yang hidupnya sudah dari kecil terhubung dengan media sosial, jadi sering sekali merasa harus punya gaya hidup seperti itu supaya “dianggap”. Padahal, nggak semua yang kita lihat itu asli—banyak yang ngutang atau cuma numpang foto biar kelihatan keren.
Pencapaian Tinggi
Nah, ini nih yang juga berat. Media sosial bikin pencapaian orang lain jadi kelihatan “mudah” dan super cepat.
Melihat orang umur 20-an sudah punya bisnis sukses, rumah, atau mobil mewah, yang membuat kita mikir, “Gue ngapain aja selama ini?” Akhirnya, kita jadi overthinking dan nge-push diri sendiri terlalu keras, padahal jalur hidup tiap orang itu beda-beda.
Perbandingan Sosial dan Insekuritas
Efek domino dari semua ini adalah perbandingan sosial. Kita jadi terus-menerus membandingkan hidup kita dengan orang lain, padahal yang kita lihat hanya highlight-nya mereka.
Inilah yang membuat insecure muncul. Kita mulai merasa tidak cukup cantik/tampan, tidak cukup kaya, atau tidak cukup sukses. Lebih parah lagi, insekuritas ini bisa membuat kita lupa dengan apa yang sudah kita punya dan capai.
Jadi, media sosial yang awalnya hanya hiburan malah berubah jadi racun bagi persepsi diri. Kalau tidak diatur, efeknya bisa sampai ke kesehatan mental: kecemasan, depresi, bahkan gangguan makan.
Maka dari itu, penting sekali bagi Generasi Z (dan kita semua) belajar untuk memfilter apa yang kita lihat di media sosial. Jangan biarkan standar “palsu” itu mengatur cara kita melihat diri sendiri.
Beban Psikologis yang Ditimbulkan
Media sosial memang seru, tapi efek sampingnya sering kali lebih berat daripada yang kita sadari. Apalagi bagi Generasi Z yang sudah tumbuh besar di era digital, tekanan dari media sosial bisa sampai ke level psikologis yang serius.
Dari kecemasan, depresi, rendahnya self-esteem, sampai perilaku obsesif demi mengejar “standar” sempurna—semua itu jadi beban mental yang bikin hidup nggak tenang. Yuk, kita bahas satu per satu.
1. Kecemasan
Kamu merasa takut ketinggalan trend atau tidak cukup “update”? Fenomena ini dikenal dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out). Media sosial membuat kita terus-menerus melihat kehidupan orang lain, dari yang seru-seru sampai pencapaian mereka.
Akibatnya, ada tekanan untuk terus mengejar apa yang “sedang hits” atau bikin kita terlihat relevan. Kalau nggak bisa ngikutin? Mulai deh, muncul rasa cemas.
Cemas ini juga semakin parah kalau kita terlalu peduli sama jumlah likes, komen, atau followers. Ada rasa takut tidak dihargai atau tidak dianggap cukup keren kalau engagement rendah.
Padahal, algoritma media sosial itu nggak selalu adil, tapi tetap saja kita jadi overthinking gara-gara hal ini.
2. Depresi
Ketika kita terus-terusan merasa “kurang” dibandingkan orang lain, efeknya bisa lebih dalam. Bayangin, setiap hari scroll media sosial dan melihat orang lain sepertinya hidup lebih bahagia, lebih sukses, lebih “sempurna”.
Itu membuat kita jadi mempertanyakan diri sendiri: “Kenapa hidup gue nggak kayak mereka?” Akhirnya, perasaan sedih, nggak berharga, bahkan hopeless pun muncul.
Parahnya mereka yang terobsesi dengan media sosial, sering kali nggak sadar kalau ini gejala depresi. Mereka pikir wajar merasa down karena media sosial.
Padahal, kalau tidak ditangani, ini bisa merusak kesehatan mental secara keseluruhan.
3. Rendahnya Self-Esteem
Media sosial punya cara jitu untuk membuat kita merasa tidak cukup baik. Dari tampilan tubuh yang nggak sesuai standar “ideal” sampai gaya hidup yang jauh dari “sempurna,” semuanya seperti men-trigger rasa minder.
Self-esteem atau rasa percaya diri kita pun jadi turun drastis. Bahkan, komentar negatif dari orang-orang asing di media sosial bisa jadi pukulan telak buat mental.
Bayangin, kamu sudah berusaha tampil percaya diri, eh ada yang nyinyir soal penampilan atau hidup kamu.
Lagi-lagi kita dibuat berpikir, “Apa bener ya gue nggak cukup baik?” Lama-lama, self-esteem pun anjlok.
Perilaku Obsesif untuk Mengejar "Standar"
Demi mengejar standar yang ditentukan media sosial, banyak orang rela melakukan hal-hal ekstrem. Contohnya: diet berlebihan, olahraga sampai kelelahan, atau ngutang demi beli barang branded hanya untuk bisa pamer di media sosial.
Semua ini dilakukan semata-mata untuk mendapat validasi dari orang lain. Ada juga yang jadi kecanduan edit foto atau filter agar terlihat “sempurna”.
Bahkan, ada yang nggak mau keluar rumah tanpa makeup karena takut nggak sesuai standar yang mereka pasang di media sosial.
Ini jelas bikin hidup jadi nggak sehat—baik secara fisik maupun mental. Lebih parah lagi, perilaku obsesif ini bisa berubah jadi kebiasaan toxic.
Kita jadi terlalu fokus mengejar approval orang lain sampai lupa apa yang benar-benar bikin kita bahagia. Hidup akhirnya jadi semacam perlombaan yang tidak ada ujungnya.
Peran Orang Tua dan Edukasi Digital
Media sosial memang tidak bisa dihindari, apalagi bagi Generasi Z yang sudah tumbuh besar bersama dunia digital. Tapi, peran orang tua dan edukasi yang tepat bisa jadi kunci untuk membantu anak-anak mereka mengerti perbedaan antara realita dan dunia penuh filter di media sosial.
Plus, ini juga soal mengajarkan mereka untuk tetap mencintai diri sendiri tanpa harus selalu mengikuti standar media sosial. Mari kita bahas bersama,
Mengajarkan Pemahaman: Realita vs. Media Sosial
Orang tua punya tanggung jawab untuk mengenalkan anak-anaknya ke fakta sederhana tapi penting: yang kita lihat di media sosial itu nggak selalu realita.
Banyak sekali konten yang sudah diedit, disetting sedemikian rupa, atau bahkan dipalsukan hanya untuk terlihat sempurna.
Jadi, apa yang ada di Instagram, TikTok, atau platform lain itu lebih sering gambaran ideal, bukan kenyataan.
Caranya Bagaimana?
- Kasih contoh nyata, Ajak anak-anak melihat foto sebelum dan sesudah diedit, atau video yang diambil dari angle tertentu supaya kelihatan lebih “wow”. Tunjukkan juga bagimana orang sering bikin konten cuma buat pamer atau cari perhatian, bukan karena mereka beneran bahagia.
- Diskusi santai, Jangan hanya memberi tahu, tapi ajak ngobrol. Misalnya, “Menurut kamu, gaya hidup influencer itu beneran seperti itu setiap hari, nggak ada susahnya?” Dengan diskusi, anak jadi belajar berpikir kritis tanpa merasa digurui.
- Dorong Penerimaan Diri (Self-Acceptance), tidak cukup hanya mengerti kalau media sosial penuh manipulasi; mereka juga butuh dukungan untuk bisa menerima diri mereka apa adanya. Orang tua harus jadi support system yang kuat untuk membuat anak-anak percaya diri dengan apa yang mereka punya, bukan apa yang orang lain pamerin.
Tipsnya :
- Berikan pujian yang tulus. Bukan hanya soal penampilan fisik, tapi juga pencapaian kecil, kepribadian, atau usaha yang mereka lakukan. Misalnya, “Kamu hebat banget lho bisa mengerjakan tugas ini dengan usaha sendiri.” Ini membuat anak merasa dihargai tanpa harus mendapatkan validasi dari likes atau komen.
- Ajak fokus ke kelebihan mereka. Setiap anak punya potensi unik. Kalau anak suka menggambar, dukung itu. Kalau mereka jago olahraga, tunjukkan apresiasi. Dengan begitu, mereka tidak merasa harus mengikuti standar “kesempurnaan” orang lain.
Media sosial memang bisa bikin ketagihan, jadi orang tua juga perlu bantu anak-anak mereka agar tidak kebablasan. Tapi ingat, kontrol itu harus dilakukan dengan cara yang bijak dan tidak membuat anak merasa terkekang.
Langkah-langkahnya:
- Tetapkan batas waktu penggunaan. Misalnya, nggak boleh pakai media sosial saat jam makan atau sebelum tidur. Atau buat kesepakatan “detox day” di mana seharian nggak buka media sosial. Ini memberikan ruang bagi anak fokus ke hal-hal lain di dunia nyata.
- Ajak kegiatan di luar media sosial. Daripada anak terus-terusan scroll TikTok, ajak mereka ke luar rumah untuk jalan-jalan, olahraga, atau masak bersama. Aktivitas ini bisa membuat mereka lebih “hidup” di dunia nyata daripada sekedar sibuk mengejar dunia maya.
- Gunakan media sosial bersama. Orang tua juga bisa jadi contoh. Kalau anak melihat orang tuanya nggak terlalu sibuk scroll-scroll HP, mereka akan lebih mungkin mengikuti. Sesekali, gunakan media sosial bersama untuk hal positif, seperti mencari resep masakan atau video edukasi.
Ingat, kalau peran orang tua bukan hanya mengawasi, tapi juga jadi teman yang bisa diajak curhat. Kalau anak merasa nyaman untuk berbicara soal apa yang mereka lihat di media sosial, mereka lebih mudah memahami kalau dunia maya itu bukan segalanya.
Jangan hanya menjudge atau melarang, tapi coba dengarkan cerita mereka dan kasih pandangan yang bijak.
Setelah semua yang dibahas, tidak bisa dipungkiri kalau media sosial memang jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, bikin hidup lebih bergairah, tapi di sisi lain, juga menyisakan dampak negatif yang cukup berat khusus nya bagi Generasi Z.
Dari rasa cemas, depresi, sampai rendahnya self-esteem, semuanya bermula dari obsesi mengejar standar kesempurnaan yang jujur saja, kebanyakan cuma ilusi belaka. Tapi, bukan berarti kita harus menyalahkan media sosial terus-terusan.
Yang penting, kita harus pintar-pintar bersikap, agar tidak menjadi korban media sosial. Standar kesempurnaan nggak perlu diambil dari media sosial.
Definisikan sendiri apa artinya sempurna buat kamu, sesuai nilai-nilai personal kamu. Ingat, nggak ada yang salah dengan jadi diri sendiri.
Media sosial boleh ada, tapi jangan biarkan hidup kamu dikendalikan olehnya. Kamu itu lebih dari cukup, asal kamu sadar dan mau menerima diri apa adanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI