Kita jadi terlalu fokus mengejar approval orang lain sampai lupa apa yang benar-benar bikin kita bahagia. Hidup akhirnya jadi semacam perlombaan yang tidak ada ujungnya.
Peran Orang Tua dan Edukasi Digital
Media sosial memang tidak bisa dihindari, apalagi bagi Generasi Z yang sudah tumbuh besar bersama dunia digital. Tapi, peran orang tua dan edukasi yang tepat bisa jadi kunci untuk membantu anak-anak mereka mengerti perbedaan antara realita dan dunia penuh filter di media sosial.
Plus, ini juga soal mengajarkan mereka untuk tetap mencintai diri sendiri tanpa harus selalu mengikuti standar media sosial. Mari kita bahas bersama,
Mengajarkan Pemahaman: Realita vs. Media Sosial
Orang tua punya tanggung jawab untuk mengenalkan anak-anaknya ke fakta sederhana tapi penting: yang kita lihat di media sosial itu nggak selalu realita.
Banyak sekali konten yang sudah diedit, disetting sedemikian rupa, atau bahkan dipalsukan hanya untuk terlihat sempurna.
Jadi, apa yang ada di Instagram, TikTok, atau platform lain itu lebih sering gambaran ideal, bukan kenyataan.
Caranya Bagaimana?
- Kasih contoh nyata, Ajak anak-anak melihat foto sebelum dan sesudah diedit, atau video yang diambil dari angle tertentu supaya kelihatan lebih “wow”. Tunjukkan juga bagimana orang sering bikin konten cuma buat pamer atau cari perhatian, bukan karena mereka beneran bahagia.
- Diskusi santai, Jangan hanya memberi tahu, tapi ajak ngobrol. Misalnya, “Menurut kamu, gaya hidup influencer itu beneran seperti itu setiap hari, nggak ada susahnya?” Dengan diskusi, anak jadi belajar berpikir kritis tanpa merasa digurui.
- Dorong Penerimaan Diri (Self-Acceptance), tidak cukup hanya mengerti kalau media sosial penuh manipulasi; mereka juga butuh dukungan untuk bisa menerima diri mereka apa adanya. Orang tua harus jadi support system yang kuat untuk membuat anak-anak percaya diri dengan apa yang mereka punya, bukan apa yang orang lain pamerin.
Tipsnya :
- Berikan pujian yang tulus. Bukan hanya soal penampilan fisik, tapi juga pencapaian kecil, kepribadian, atau usaha yang mereka lakukan. Misalnya, “Kamu hebat banget lho bisa mengerjakan tugas ini dengan usaha sendiri.” Ini membuat anak merasa dihargai tanpa harus mendapatkan validasi dari likes atau komen.
- Ajak fokus ke kelebihan mereka. Setiap anak punya potensi unik. Kalau anak suka menggambar, dukung itu. Kalau mereka jago olahraga, tunjukkan apresiasi. Dengan begitu, mereka tidak merasa harus mengikuti standar “kesempurnaan” orang lain.
Media sosial memang bisa bikin ketagihan, jadi orang tua juga perlu bantu anak-anak mereka agar tidak kebablasan. Tapi ingat, kontrol itu harus dilakukan dengan cara yang bijak dan tidak membuat anak merasa terkekang.
Langkah-langkahnya:
- Tetapkan batas waktu penggunaan. Misalnya, nggak boleh pakai media sosial saat jam makan atau sebelum tidur. Atau buat kesepakatan “detox day” di mana seharian nggak buka media sosial. Ini memberikan ruang bagi anak fokus ke hal-hal lain di dunia nyata.
- Ajak kegiatan di luar media sosial. Daripada anak terus-terusan scroll TikTok, ajak mereka ke luar rumah untuk jalan-jalan, olahraga, atau masak bersama. Aktivitas ini bisa membuat mereka lebih “hidup” di dunia nyata daripada sekedar sibuk mengejar dunia maya.
- Gunakan media sosial bersama. Orang tua juga bisa jadi contoh. Kalau anak melihat orang tuanya nggak terlalu sibuk scroll-scroll HP, mereka akan lebih mungkin mengikuti. Sesekali, gunakan media sosial bersama untuk hal positif, seperti mencari resep masakan atau video edukasi.
Ingat, kalau peran orang tua bukan hanya mengawasi, tapi juga jadi teman yang bisa diajak curhat. Kalau anak merasa nyaman untuk berbicara soal apa yang mereka lihat di media sosial, mereka lebih mudah memahami kalau dunia maya itu bukan segalanya.