Efek domino dari semua ini adalah perbandingan sosial. Kita jadi terus-menerus membandingkan hidup kita dengan orang lain, padahal yang kita lihat hanya highlight-nya mereka.
Inilah yang membuat insecure muncul. Kita mulai merasa tidak cukup cantik/tampan, tidak cukup kaya, atau tidak cukup sukses. Lebih parah lagi, insekuritas ini bisa membuat kita lupa dengan apa yang sudah kita punya dan capai.
Jadi, media sosial yang awalnya hanya hiburan malah berubah jadi racun bagi persepsi diri. Kalau tidak diatur, efeknya bisa sampai ke kesehatan mental: kecemasan, depresi, bahkan gangguan makan.
Maka dari itu, penting sekali bagi Generasi Z (dan kita semua) belajar untuk memfilter apa yang kita lihat di media sosial. Jangan biarkan standar “palsu” itu mengatur cara kita melihat diri sendiri.
Beban Psikologis yang Ditimbulkan
Media sosial memang seru, tapi efek sampingnya sering kali lebih berat daripada yang kita sadari. Apalagi bagi Generasi Z yang sudah tumbuh besar di era digital, tekanan dari media sosial bisa sampai ke level psikologis yang serius.
Dari kecemasan, depresi, rendahnya self-esteem, sampai perilaku obsesif demi mengejar “standar” sempurna—semua itu jadi beban mental yang bikin hidup nggak tenang. Yuk, kita bahas satu per satu.
1. Kecemasan
Kamu merasa takut ketinggalan trend atau tidak cukup “update”? Fenomena ini dikenal dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out). Media sosial membuat kita terus-menerus melihat kehidupan orang lain, dari yang seru-seru sampai pencapaian mereka.
Akibatnya, ada tekanan untuk terus mengejar apa yang “sedang hits” atau bikin kita terlihat relevan. Kalau nggak bisa ngikutin? Mulai deh, muncul rasa cemas.
Cemas ini juga semakin parah kalau kita terlalu peduli sama jumlah likes, komen, atau followers. Ada rasa takut tidak dihargai atau tidak dianggap cukup keren kalau engagement rendah.
Padahal, algoritma media sosial itu nggak selalu adil, tapi tetap saja kita jadi overthinking gara-gara hal ini.
2. Depresi
Ketika kita terus-terusan merasa “kurang” dibandingkan orang lain, efeknya bisa lebih dalam. Bayangin, setiap hari scroll media sosial dan melihat orang lain sepertinya hidup lebih bahagia, lebih sukses, lebih “sempurna”.