Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

[Rasa Mentari 7] Merangkai Rasa

2 Desember 2023   07:26 Diperbarui: 2 Desember 2023   07:27 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jumat aku harus ke Bandung. Pertemuan offline dengan tim iklan."

Keduanya terdiam. Kalimat-kalimat yang bisa menggambarkan makna.

"Ok, hati-hati. Semoga semua lancar."

Mentari memecah keheningan dengan meneruskan kalimat di saat suasana yang agak canggung. Mentari tidak menyinggung soal buku. Ganesha juga tidak. Apa bukan dia yang mengirimkan?

Ganesha memberikan name tag Camp di Bantir pada Mentari. Tertulis Cahaya Mentari Senja Dharmawan, Psi. Volunteer/Fasilitator. Di atas nama Mentari tertulis Camp Pekan Raya Difabel Nasional. Bantir -- Jawa Tengah, dan tertulis tanggal pelaksanaan di akhir pekan bulan ini. Name tag itu juga berlatar belakang logo dari lembaga penyelenggara Camp dan Dinas Sosial.

"Besok, Lydia akan menjelaskan timeline keseluruhan.."

Mentari mendengarkan penjelasan Ganesha, tapi dengan menunjukkan wajah yang merengut.

"Aneh, deh. Aku gak ngerti apa-apa, tiba-tiba disodori beginian. Kamu gak ada. Terus gimana?"

"Hahaha, Mentari yang sangar bisa juga cemas..." Ganesha menimpali dengan tertawa.

"Eh, coba deh logis gak? Aku yang diajak kagak tau apa-apa, yang ngajak malah ngilang!"

"Mulai judes..."

Mentari tersenyum.

"Jika Aku bisa ada yang menggantikan untuk mengantar paket donasi ke Rembang, Aku pasti datang bersama. Skenario awal Lydia dan kita berdua berangkat bersama. Koordinasi yang cukup matang di awal, tapi kondisinya paket donasi itu dibutuhkan di Panti Asuhan Rembang, dan harus ada orang yang mengantarkan."

"Ganesha, pekerjaan ini.... Cukup membingungkan. Sesuatu yang tidak ada kaitannya denganmu, tetapi dengan segala daya kamu lakukan. Kamu dapat apa?"

Pertanyaan Mentari ini ditanggapi senyuman saja oleh Ganesha. Mentari semakin bingung dibuatnya.

"Ibu Mentari yang judes, nikmati saja hidup Ibu besok di sana.... Jawaban yang dirimu tanyakan pasti kamu dapatkan di sana."

"Hiih, curang..." Mentari mencubit lengan Ganesha.

"Duuh, sakit. Begini cubitan Ibu Mentari yang judes, ya... Ih, ungu nih."

"Lebay, itu kurang sakit!" Mentari menanggapi kalimat Ganesha. "Ni, mau lagi..!"

Liukan tangkai beberapa tanaman bunga Ibu ikut melihat cerianya Mentari hari itu. Keceriaan yang tidak dibuat-buat. Keceriaan dan sukacita yang timbul dari dalam hati. Mentari yang ceria dan bisa memberi energi baik.

Sementara itu, Mentari masih memikirkan paket hijau yang diterimanya beberapa saat kemarin. Akhirnya Mentari memutuskan untuk bertanya.

"Ganesha, terima kasih ya.."

"Iiih, cieeee... Sama-sama.. Tapi buat apa dan buat yang mana?" Ganesha ngeledek dengan wajah yang sedikit njengkelin.

"Paket itu.."

"Paket? Paket apa, Mentari? Aku tidak memberikan paket apapun."

Wajah Ganesha terlihat kebingungan. Banyak rona keheranan di sana. Kejujuran di wajah Ganesha terlihat jelas.

"Wiiii banyakkk penggemar.."

"Seriusan ini.. Aku mendapatkan paket. Aku kira darimu."

"Ngarep ya. Hehe. Disegerakan, deh.."

Mentari melotot. Ganesha tertawa tergelak.

Ada dua pasang mata melihat keduanya. Mata Ibu Rahutami dan Kilau Mutiara Cemerlang Dharmawan. Tangan mereka bertatut, berpegangan erat. Ada doa yang mungkin dilantunkan untuk kebahagiaan anak dan sulung dan kakak terkasih.

Terlihat kemudian, Mentari mengantar Ganesha keluar pagar rumah. Rumah yang didirikan Pak Dharmawan di tanah berluas 450 meter persegi itu beberapa puluh tahun silam. Rumah masa kecil Mentari, Tiara, dan Elang yang sangat hangat.

Tiara di dalam rumah mengirimkan foto Mentari dan Ganesha pada Elang, sambil memberikan caption, "Doakan ya, Lang. Mbak bahagia.." Message sent.

***

Sementara itu, ada seseorang yang mendapatkan pesan lain yang mengabarkan bahwa paket sudah terkirim ke kediaman Ibu Cahaya Mentari. Seorang yang pernah dekat dengan Mentari beberapa waktu silam.

***

Selesai mengantarkan Ganesha, Mentari masuk ke rumah dan mencuci tangan di wastafel kemudian mencari Yvone ke kamar tamu. Kamar tamu ini bekas kamar Elang. Disulap Ibu jadi kamar yang available untuk sanak keluarga yang datang mengunjungi rumah Ibu.

"Halloo, Yvone, sedang main apa?"

"Budhe Caca sinii. Temenin Yvone," Yvone mengajak Mentari untuk bermain. Tiara seorang Ibu yang cukup teliti dalam memersiapkan keperluan anak semata wayangnya. Mentari melihatnya sebagai upaya tidak merepotkan Ibu dengan kehadirna cucu lincahnya, walau pastinya Ibu tidak mungkin merasa demikian.

Satu koper mainan dibawa dari Denpasar. Tiara membungkus mainan-mainan tersebut ke beberapa bagian plastic bag. Boneka dimasukkan dalam plastik tersendiri, kemudian ada puzzle juga dimasukkan ke dalam plastic bag tersendiri. Terlihat ada magic sand, dijadikan satu dengan dough dan cetakannya.

Mentari bermain sebentar dengan Yvone. Cat akrilik dan kanvas yang diberikan Mentari masih terbungkus rapi. Mentari yakin, Yvone akan latihan melukis bersama ayahnya, Gary. Yvone mewarisi darah seni ayahnya. Sejak kecil Yvone akrab dengan dunia warna.

"Ipooong, ayoo mandiii dulu, Sayang.."

Suara Tiara memecah keheningan batin Mentari.

"Ngagetke, wae..."

"Tuh, Pong.. Budhe lagi ngelamun. Sempet-sempetnya ngelamun pas main ama Ipong, ya...."

"Mbak, pijettii..."
Tiara mengarahkan kaki ke arah Mentari. Mentari mengambil kaki adiknya dan mulai menggelitiki kaki adiknya itu. Suara teriakan Tiara membuat Yvone tergelak.

Kehangatan keluarga yang menyenangkan.Kehangatan yang selalu dirindukan.

Mbok Tirah dan Ibu nimbrung di kamar juga. Saat itu pukul 15.30. Pengasuh Yvone bernama Mbak Jani. Wanita paruh baya yang kelihatannya galak. Tubuh gempalnya membuat orang yang belum kenal pasti mengira bahwa dia sangat galak. Tapi, sejak bayi Yvone sudah bersamanya. Tiara sangat percaya pada Mbak Jani.

Empat perempuan dewasa dan satu perempuan kecil berada di ruangan kamar berukuran 5 x 5,5 meter, sambil berkelakar satu sama lain saling mengungkapkan kerinduan. Kerinduan akan hangatnya kebersamaan keluarga.

Tepat pukul 16.30, Gary datang. Opthalmologist yang memiliki ijin praktik di Singapura. Sangat rendah hati bahkan dia juga belajar bahasa Bali dan Jawa dengan kursus 6 bulan saat mengenal Tiara.

Pukul 17.30, Mbok Tirah sudah siap dengan hidangan di meja makan. Meja bulat di ruang makan itu digeser dan digantikan dengan meja persegi yang biasanya digunakan Ibu untuk racik-racik. Meja bulat itu terlalu kecil untuk 6 orang dewasa dan 1 perempuan kecil yang imut.

Suasana makan malam pukul 17.45 sangat hangat. Gary berbahasa Jawa lucu dengan Ibu. Mbok Tirah, Mentari, dan Mbak Jani terkadang terpingkal-pingkal mendengar suara Gary yang berbahasa Jawa.

Suasana yang menyenangkan. Rasa-rasanya Ibu harus membeli meja yang lebih besar satu tahun ke depan. Rencana Elang menikah akan menambah lagi anggota keluarga baru.

"Mbak, yang tadi siang siapa? Tiara membuka pertanyaan di sela-sela waktu makan malam itu.

"Oh, itu putra teman Budhe Windri, Ti,"

"Iya, siapa..?"

Tiara bertanya tapi dengan memerlihatkan matanya yang jenaka.

"Ohh, lhaaa..."

Tiara tersenyum penuh arti.

***

Pukul 20.45. Gary dan keluarga pamit. Yvone sudah terlelap. Pukul 20.55, mobil sewaan Gary sudah menjemput. Gary mengangkat Yvone yang sudah terlelap.

"Bu, besok aku sekitar jam 9 an ke sini lagi, tapi besok mau mampir ke tempat Budhe Windhri sebentar ya, jadi mungkin gak tepat jam 9."

"Iyo wis, sing penting ati-ati, ya."

Gary, Tiara berpamitan sambil menempelkan tangan Ibu ke dahi masing-masing.

"Monggo, Ibu."

Gary berpamitan dengan aksen bulenya.

Ibu, Mbok Tirah, Mentari mengantar dan menunggu hingga mobil berbelok ke arah jalan besar, setelah itu mereka bersamaan masuk ke rumah. Mbok Tirah dibantu Mentari membereskan semua hal di dapur.

Tepat pukul 22.00, Mentari masuk kamar, kemudian berganti piyama dan bergegas tidur. Besok menjadi hari yang akan memerlukan energi baik yang besar. Camp Bantir. Ada rasa yang bergejolak di hati Mentari, antara rasa ingin tahu tetapi juga cemas, karena momen pertama di kesempatan yang belum pernah dilakoninya.

Mentari melihat ponselnya.

Oh, ada pesan dari, Si Jelek.

"Mbak yang sangar, besok hati-hati, ya." Pesan itu tidak dibalasnya...

Tidak lama kemudian, ponsel itu berbunyi lagi notifikasinya.

"Kalo mau bales, bales aja..."

Mentari akhirnya membalas, "Tidur, sudah malam..."

Ada balasan, "Malam, Mentari. Besok hati-hati, ya. Tetaplah judes.."

Senyuman itu terlihat di wajah Mentari. Entah apa artinya senyuman itu.

***

Pukul 05.30, Lydia sudah menjemput Mentari. Seorang wanita berambut pendek, menggunakan kaos berwarna putih kuning bertuliskan event hari ini.

"Selamat pagi, Mbak. Saya Lydia. Saya ditugasin Mas Ganesha untuk menjemput Mbak Mentari."

"Halo, selamat pagi. Terima kasih banyak, ya. Mari masuk dulu. Ibu saya tadi ada bikin teh hangat. Mari."

Keduanya masuk ke ruang tamu secara beriringan.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun