"Kasih Ibu harus demikian. Ca, hidupmu masih panjang, pikirkanlah. Cahaya, anakku. Ibu cukup. Sudahi perkabunganmu tentang Bapakmu. Cukup, Nak. Jangan siksa hidupmu. Allah Kasih adanya. Bukalah hatimu. Berdamailah, maju ke depan. Banyak hal baik menantimu. Percayalah!"
Genggaman tangan Ibu Rahutami memberi kekuatan pada Mentari.
"Baik, Bu... Baik, Maafkan Mentari yang belum bisa memberikan yang terbaik untuk Ibu, untuk Ayah."
Pelukan itu memberi kekuatan bagi Mentari. Kekuatan untuk memaafkan dirinya sendiri. Kekuatan untuk memberikan cinta untuk dirinya sendiri. Pelukan Ibu menjadi sebuah titik balik, bahwa hidupnya dan kebahagiaannya adalah tanggung jawabnya pribadi.
***
Bel rumah bercat putih tulang itu berbunyi. Mbok Tirah membukakan pintu.
"Mari, silakan masuk. Ditunggu sebentar, nggih..."
Ibu Rahutami keluar, celana tiga perempat berwarna biru tua pas dikenakan dengan bat wings batik berwarna putih.
"Selamat pagi, Ibu.."
"Selamat pagi, Mas. Mohon maaf sebelumnya, mencari saya atau Mentari?"
"Saya ada keperluan dengan Ibu. Ibu saya kawan Ibu Windriani. Ganesha, Bu." Ganesha mengulurkan tangan pada Ibu Rahutami.
"Oh, ya? Salam kenal, Mas Ganesha. Apakah Putra Ibu Robin?"