Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Inspirasi Gaya Hidup, Melawan Arus "Kekinian"

13 Juni 2020   12:22 Diperbarui: 26 Oktober 2021   06:58 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemeja berwarna putih dengan potongan sederhana selalu melekat di tubuh beliau selama saya belajar ilmu Psyche di kampus, yang akhirnya setelah kepergian sang istri tercinta, beliau mengganti outfit andalannya itu dengan kemeja hitam, hingga masa akhir hidupnya. Simbol kehilangan abadi ditinggal sang Istri terkasih.

Sudah tiga ratus kata sebagai pengantar artikel ini, nampaknya belum cukup, masih banyak hal baik yang beliau teladankan. Beliau menghidupi setiap mahasiswa yang belajar di kampus kami, dengan banyak contoh perilakunya.

Waktu berjalan, perubahan pasti terjadi …

Menilik fenomena yang akrab dengan kondisi saat ini

Gebyar kehidupan kekinian menampilkan realita, sebuah perubahan gaya hidup. 

Kompetisi dalam meraup popularitas, tersaji dalam sisi  kehidupan, berbuat apa saja asal mendapatkan hal yang diinginkan. Etika bahkan sedikit terlupa. Sebut saja ada fenomena yang kemarin sempat ramai di jagat maya kita, beberapa artis yang memamerkan saldo fantastis di rekeningnya, seperti yang dilansir dalam Kompas.com (21/10/2019). Sebuah trend yang terjadi di tengah masyarakat kelas atas kita, dan ini laku keras dalam dunia hiburan masyarakat kita.

Asal diri happy lakukan aja, yang lain harus ikuti, tidak mengikuti, siap-siap terkucil, unpopuler, dikatain cupu, karena tidak masuk dalam "follower" lingkaran komunitas masa kini.

Mayoritas dilegitimasi menjadi “simbol kebenaran”, yang gak bisa ngomong dan yang gak pinter ngomong dianggap lemah, yang diem aja, selalu salah, yang mengalah akan dituduh salah, kebenaran diputar balikkan, kesabaran kerap disalah artikan, jika melawan arus dikatakan pemberontak, semakin keras teriak, jadi sosok yang disegani, dan sebagainya.

Unggahan ke media sosial dianggap mewakili penilaian performa kerja, jika tidak diunggah, dianggap tidak bekerja, sehingga unggahan-unggahan terkait profesi, tidak murni lagi, dan hanya untuk sebuah kata bernama pencitraan.

Tentu tidak semua, ya, saya masih menjumpai banyak sekali juga, yang tidak ternoda, dan tetap idealis dengan “kemurnian” bekerja. Unggahan mereka bisa menjadi inspirasi pembelajaran bagi yang lain. Bagaimana dengan pekerjaan-pekerjaan yang memang butuh “senyap” dari hingar-bingar popularitas?

Yah, itulah realita…

Persepsi memang sangat bermain disini, tergantung dari pola pikir kita, tetapi jangan sampai diputar balik, yang benar harus tetap benar, yang salah harus tetap pada jalurnya.

Ketika bergosip menjadi sebuah kata kunci dalam bergaul, ketika yang berbeda selalu menjadi bahan pembicaraan bernada konotatif, membaca status WA orang lain dijadikan satu materi gibah dalam group gaul, dan pembentuk opini yang menyudutkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun