Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Gratias

-semua karena anugerahNya- Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana award 2022

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Inspirasi Gaya Hidup, Melawan Arus "Kekinian"

13 Juni 2020   12:22 Diperbarui: 26 Oktober 2021   06:58 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi melawan arus/sumber: kompas.com

Merenung sebuah inspirasi gaya hidup yang melawan arus dari seorang sosok ini. Terkenang dengan salah seorang dosen Psikologi yang sangat berkharisma, memiliki empati yang tinggi, dan inspiratif bagi saya pribadi. Saya yakin, semua teman-teman saya di civitas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang pun, pasti sependapat dengan saya. Beliau seorang tokoh dengan kepribadian yang sangat kuat, dikenal dengan nama M.L Oetomo.

Kalo kami di psikologi mengenal Sigmund Freud, sebagai bapak Psikologi dunia, dan mengajarkan teori fenomenal dengan andalan psikoanalisa-nya yang menjadi dasar ilmu  hipnosis, nah, kami punya Pak Oetomo, yang kami banggakan, sebagai bapak psikologi dan bapak kehidupan di hati kami sepanjang masa, dengan gaya hidup melawan arus dan penuh nilai kemanusiaan.

Banyak pembelajaran dan filosofi hidup yang kami dapat dari sosok ini. Kepribadian beliau yang humanis, sederhana, merakyat, berjiwa penolong, dan masih banyak hal baik lain yang menggambarkan sosok ini.

Beliau berprofesi sebagai Psikolog Klinis. Beliau juga salah satu founder Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijaparanata di Semarang. Dalam masa itu sependek pengetahuan saya, lulusan Universitas Indonesia ini, cukup aktif melakukan layanan kejiwaan di Rumah Sakit Jiwa Magelang, Jawa Tengah, dan mengisi acara malam konsultasi psikologis di radio Gajah Mada, Semarang, disamping menjadi dosen di kampus kami.

Menarik, karena sosok ini, amat sangat jarang saya temui.  Beliau sering terlihat makan di sebuah warung kecil di seberang kampus kami, berbaur dengan mahasiswanya, namanya warung Ijo, seirama dengan cat warung tersebut yang juga bertempat di area yang dikelilingi rerumputan dan tumbuhan hijau.

Setenar dan sekaliber sosok seperti beliau, tidak enggan, makan di tempat yang tidak memiliki prestise dan berbaur dengan kami para mahasiswanya.

Saya sering melihat beliau (yang boleh dibilang sudah cukup sepuh) saat saya masuk di kampus ini, mengendarai sebuah vespa tua untuk menemaninya ke kampus. Saat itu sudah banyak dosen-dosen lain menggunakan kendaraan roda empat yang cukup nyaman dikendarai, di tengah terik Kota Lumpia ini.

Tak jarang beliau menggunakan angkutan umum berwarna oranye yang waktu itu melintas sangat jarang di depan kampus kami, sehingga beliau pun, sering menunggu angkutan tersebut bersama-sama mahasiswa yang juga menggunakan moda angkutan umum.

Bukan beliau tidak mampu, rumahnya saja ada di perumahan yang baik, di sebuah kawasan yang cukup elit di daerah atas Semarang. Tetapi jiwa sederhananya sangat melekat. Saya sih, sangat yakin, gak ada istilah gengsi dalam prinsip hidup beliau.

Beliau bertahan dengan gaya hidup sederhana dan penuh kontrol diri. Beliau memperlihatkan satu gaya hidup teladan yang kerap menabrak realita dan fenomena kekinian.

Kemeja berwarna putih dengan potongan sederhana selalu melekat di tubuh beliau selama saya belajar ilmu Psyche di kampus, yang akhirnya setelah kepergian sang istri tercinta, beliau mengganti outfit andalannya itu dengan kemeja hitam, hingga masa akhir hidupnya. Simbol kehilangan abadi ditinggal sang Istri terkasih.

Sudah tiga ratus kata sebagai pengantar artikel ini, nampaknya belum cukup, masih banyak hal baik yang beliau teladankan. Beliau menghidupi setiap mahasiswa yang belajar di kampus kami, dengan banyak contoh perilakunya.

Waktu berjalan, perubahan pasti terjadi …

Menilik fenomena yang akrab dengan kondisi saat ini

Gebyar kehidupan kekinian menampilkan realita, sebuah perubahan gaya hidup. 

Kompetisi dalam meraup popularitas, tersaji dalam sisi  kehidupan, berbuat apa saja asal mendapatkan hal yang diinginkan. Etika bahkan sedikit terlupa. Sebut saja ada fenomena yang kemarin sempat ramai di jagat maya kita, beberapa artis yang memamerkan saldo fantastis di rekeningnya, seperti yang dilansir dalam Kompas.com (21/10/2019). Sebuah trend yang terjadi di tengah masyarakat kelas atas kita, dan ini laku keras dalam dunia hiburan masyarakat kita.

Asal diri happy lakukan aja, yang lain harus ikuti, tidak mengikuti, siap-siap terkucil, unpopuler, dikatain cupu, karena tidak masuk dalam "follower" lingkaran komunitas masa kini.

Mayoritas dilegitimasi menjadi “simbol kebenaran”, yang gak bisa ngomong dan yang gak pinter ngomong dianggap lemah, yang diem aja, selalu salah, yang mengalah akan dituduh salah, kebenaran diputar balikkan, kesabaran kerap disalah artikan, jika melawan arus dikatakan pemberontak, semakin keras teriak, jadi sosok yang disegani, dan sebagainya.

Unggahan ke media sosial dianggap mewakili penilaian performa kerja, jika tidak diunggah, dianggap tidak bekerja, sehingga unggahan-unggahan terkait profesi, tidak murni lagi, dan hanya untuk sebuah kata bernama pencitraan.

Tentu tidak semua, ya, saya masih menjumpai banyak sekali juga, yang tidak ternoda, dan tetap idealis dengan “kemurnian” bekerja. Unggahan mereka bisa menjadi inspirasi pembelajaran bagi yang lain. Bagaimana dengan pekerjaan-pekerjaan yang memang butuh “senyap” dari hingar-bingar popularitas?

Yah, itulah realita…

Persepsi memang sangat bermain disini, tergantung dari pola pikir kita, tetapi jangan sampai diputar balik, yang benar harus tetap benar, yang salah harus tetap pada jalurnya.

Ketika bergosip menjadi sebuah kata kunci dalam bergaul, ketika yang berbeda selalu menjadi bahan pembicaraan bernada konotatif, membaca status WA orang lain dijadikan satu materi gibah dalam group gaul, dan pembentuk opini yang menyudutkan.

Aib orang dijadikan bahan candaan dan sindiran di muka umum, pekerja seni yang sedang bermain peran antagonis di sebuah film, menjadi bahan cercaan dan makian warganet, bad news is a good news, salah satu konsumsi berita gosip yang justru viral, hal  yang menjadi sebuah gaya hidup, yang dinikmati di era ini.

Menulis artikel ini sambil menoyor dahi saya sendiri, ganti gaya hidupmu juga, Nita.. mumpung masih ada kesempatan yang Dia beri. Belajar kembali untuk bersikap “nguwongke”. Memanusiakan orang.

Roda berputar, sama seperti hidup, berputar.

Jika tidak bisa berbuat baik, cukup jangan menyakiti orang lain. Mereka bukan kita, kita bukan mereka. Memahami saja, cukup.

Jika tidak sealiran dimusuhi, jika tidak sama dijauhi, jika dilawan, ngambek. Semua harus Yes, Sir!

Sosok Pak Oetomo lagi-lagi mengajarkan berlembar-lembar pelajaran hidup.

Saat semua rekan dosennya menggunakan roda empat, tak terlintas gengsi untuk tetap menggunakan motor vespa tua dalam menemaninya beraktivitas sebagai Psikolog yang berintegritas. Dari raut wajah yang saya lihat, masih teringat betapa beliau menikmati mengendarai vespa tuanya. Semua dikembalikan kepada esensi dan fungsi, harga diri bukan dinilai dari sesuatu yang kasat mata.

Saya yakin banget, beliau sangat mampu makan di resto-resto terkenal saat itu, tapi lebih memilih, makan siang di warung kecil bersama mahasiswanya,  juga sekalian ngebayarin mahasiswanya yang kerap ngutang makan di pemilik warung kecil tersebut, lho, karena orang tua mereka telat memberi transferan biaya hidup.

Kontras memang dengan gaya hidup yang demi mempertahankan gengsi, akhirnya menciptakan satu gaya hidup lain dengan makan di resto-resto mewah seperti dilansir dalam Kompas.com (07/12/2019), yang akhirnya berakhir dengan gaya hidup boros demi sebuah prestise.

Sebuah momen tak terlupakan, saat selesai membagikan curahan hati, berkonsultasi dan berbagi rasa, saya ingin memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu sebagai rasa terima kasih saya, beliau menolak, dengan kalimat fenomenal yang selalu saya ingat, “....pemberian Nita ini tidak akan membuat Nita menjadi lebih miskin, dan menjadikan Saya (beliau) lebih kaya, berikanlah ini pada yang lebih membutuhkan…”

Saat beliau bercerita, saat panas terik di kota Semarang, menarik kendaraan lain yang membutuhkan bantuan saat itu di daerah tanjakan Gombel, Semarang, tentu dengan vespa tuanya, menambah referensi kekaguman, dengan hal yang beliau lakukan, sebagai salah satu bentuk kepedulian kepada sesama.

Beliau Guru, yang tidak hanya mengajar secara teori, tetapi juga menghidupi dalam laku kehidupannya, sehingga itu mampu menjadi sebuah pedoman hidup, setidaknya, untuk kami, mantan mahasiswanya.

Selalu memberikan sapaan, senyum, dan anggukan kepala, sebagai sebagai gaya dan ciri khas beliau sekaligus teladan kerendahan hati, kepada kami semua untuk bersikap ramah dan rendah hati kepada siapapun yang ditemui.

Kepribadian kuatnya menandai kedewasaan batin dan pencapaian pengalaman hidup yang sudah sangat tinggi. Hidup  sebagai sebuah cawan air untuk dibagikan kepada orang lain. Hidup bukan dijalani hanya semata sebagai orientasi pada diri sendiri dan alat untuk mencapai nafsu pribadi.

Menjadi seorang psikolog klinis di sebuah rumah sakit jiwa, merupakan pilihan hidup untuk menghamba pada insan-insan terpinggirkan yang juga membutuhkan uluran tangan dan kasih kita.

Untuk mengasihi, mencintai, mengagumi orang yang “normal”, sehat, cantik, pintar, populer, kaya, sangat mudah. Beliau memilih untuk memberi hidup pada orang-orang yang biasa diberi stigma. Kasih yang tidak melihat situasi, apapun keadaanya, tetap mengasihi.

Beliau mengajarkan untuk mengasihi tanpa batas, tak melihat kondisi, tetap mengasihi walaupun kasih itu mungkin saja tak berbalas.

Kepribadian kuatnya mengajarkan untuk tidak terbawa arus hidup, bertahan dalam badai hidup, bahkan melawan arus dengan teladan perilakunya.

Buat saya, beliau lebih dari Sigmund Freud. Beliau tidak hanya memberikan kuliah melalui bahan bacaan bukunya saja, tetapi beliau menampilkan perilaku nyata yang bisa menjadi sebuah sumber inspirasi terbitnya sebuah buku kehidupan di hati kami semua.

Mata kuliah kode etik psikologi disampaikan bukan hanya melalui perkataan, tetapi terlihat jelas dalam cara beliau memperlakukan orang lain dengan penuh rasa respect dan harga yang tinggi. Tak banyak bicara memang, cukup melihat perilakunya, seperti terhipnotis untuk ikut berperilaku baik.

Jarang sekali kami bolos dalam mata kuliah yang diampunya, sayang sekali melewatkan satu pun pertemuan dengan beliau. Beliau seringkali tidak searus dengan fenomena yang ada memang, tetapi kami merasakan esensi itu benar adanya dan sarat dengan nilai yang seharusnya kami tapaki juga.

Tak perlu mengenyangkan gengsi, tak penting selalu ikut-ikutan hanya untuk diterima dalam sebuah komunitas, jadilah diri sendiri, tiap kita pasti punya peran.

Tak perlu menjadi wah, hanya untuk sebuah pujian palsu, ketenaran maya, jadilah apa adanya. Sebab Pencipta-Mu tak pernah salah ketika merancangmu.

Ungkapan rasa hormat kepada beliau yang telah ada di dalam dekapan Bapa di Surga.

Artikel ini dibuat untuk Kompasiana.

Referensi :

1

2

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun