“Terima kasih Kanti....”
Lapisan bening di mata Eyang mengalir pelan di pipi keriputnya. Pelan diusapnya dengan syal yang terikat di lehernya.
“Kapan rencana pernikahannya?”
“Sekitar dua bulan lagi. Tapi masih belum menemukan tanggal yang tepat.”
“Eyang, jangan kuatir. Nanti aku akan coba menjelaskan pada Mama, juga pada Bulik Wulan dan Om Bagas.”
“Iya, Eyang tidak mampu menjelaskannya. Mereka sangat mencintai Bapaknya, berpikir bahwa Eyang telah berkhianat terhadap Eyang Kakungmu.”
“Jangan kuatir. Eyang tenang saja....”
Kembali aku memeluk Eyang. Tanpa bicara kami melanjutkan jalan-jalan. Tangan Eyang menggenggamku lebih erat sekarang. Baru berjalan sekitar dua puluh langkah, Eyang tiba-tiba berhenti di depan sebuah warung soto.
“Sudah sampai. Eyang mau makan di sini, kamu ikut ya?”
“Masih kenyang, tadi makan roti bakar di rumah. Kanti temani minum teh saja ya?”
Eyang mengangguk. Kami pun masuk ke warung. Aku agak heran karena Eyang tidak menuju ke meja kosong. Tapi ke sebuah meja di mana duduk seorang pria tua yang sedang membaca koran. Pria itu meletakkan koran saat melihat Eyang. Dia agak terkejut melihatku.