Mohon tunggu...
Yunita Handayani
Yunita Handayani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ibu yang bahagia :) www.yunita-handayani.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rajutan di Senja Usia

15 Juni 2011   09:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:29 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Iya. Cuma sebelum dia pergi, dia meminta Eyang untuk berjanji. Bila memang nanti ada saatnya kami mempunyai kesempatan bersama lagi, dia meminta Eyang untuk kembali bersamanya. Walaupun di usia tua, dia ingin bisa menikmati kebersamaan bersama Eyang.”

Aku tercekat. Kembali tak mampu berkata-kata. Aku baru saja mendengar episode penting dari kehidupan wanita tua yang kujunjung tinggi. Sebuah episode kehidupan yang disimpannya rapat-rapat.

“Eyang mencintainya?”

“Selalu....”

“Apakah Eyang pernah..., selama masih ada Eyang Kakung....?”

Ah, sulit sekali bagiku mengungkapkan kata-kata “selingkuh” pada Eyangku. Tak pantas rasanya menuduhkan hal itu padanya.

“Tidak. Sejak hari pernikahan Eyang dengan Eyang Kakungmu, dia menghilang. Eyang sempat mendengar kabar dia pergi mengabdi menjadi guru di luar Jawa. Eyang dihubungi lagi olehnya sekitar enam bulan lalu. Dia menghubungi Eyang setelah sekitar setahun lalu istrinya meninggal karena komplikasi diabetes.”

“Eyang, sungguh ingin bersamanya?”

Nduk2, Kanti putuku sing taktresnani3.... Hampir lima puluh tahun Eyang telah mengabdikan diri untuk Eyang Kakungmu, untuk keluarga ini. Tak sekalipun Eyang neko-neko5. Kami telah berusaha mendampingi pasangan kami masing-masing sampai maut memisahkan. Maka ijinkan Eyang, untuk sekarang ini, menjalani janji hati Eyang, menjalani cinta yang telah Eyang tinggalkan lima puluh tahun yang lalu.”

Ada gemetar di suara Eyang. Gemetar yang terasa sampai ke dadaku. Menyesakkan dadaku dengan haru. Aku menatap lapisan bening air mata yang coba ditahan Eyang. Aku peluk Eyang. Tak peduli lagi pada keriuhan lalu lalang orang di sekitarku.

“Eyang tak perlu ijin dariku.... Jalani saja. Mungkin ini saatnya Eyang menikmati kebahagiaan hati yang pernah Eyang korbankan sekian tahun lamanya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun