“Ketika kamu datang ke sini pertama kali, kamu terlihat gugup sambil memegang buku yang sampulnya sudah agak lusuh. Dan ketika saya tanya, kamu mengatakan bahwa namamu adalah Rheinara Yuki. Namun saya lihat nama resmi yang tercatat di KTPmu adalah Anna Kalashnikov. Membuat saya agak bingung karena jelas-jelas kamu adalah orang Indonesia asli, tapi entah mengapa namamu bisa berbau Rusia. Apa memang orang tuamu ingin kamu menjadi orang Rusia atau bagaimana saya tidak tahu.”
dr. Jalal menghela napas sejenak, sebelum kembali melanjutkan ceritanya.
“Tak ada keluhan apapun dari orang yang mengaku bertanggung jawab atas dirimu, Anna. Dia hanya bilang, kamu harus mendapatkan perawatan terbaik, dan kalau bisa ada sesi terapi setiap hari. Dia akan membayar berapapun harga yang kami minta. Dan dia tidak mengatakan apapun tentang sakitmu. Dia hanya bilang, kamu bukanlah kamu yang sebenarnya.”
Aku semakin bingung. Siapakah orang yang telah mengirimku kemari? Walaupun dengan permintaan VIP untukku, tapi ini rumah sakit jiwa. Dan itu berarti dia menganggapku sakit jiwa!
“Lalu, setelah berapa lama dokter tahu aku menderita MPD?”
“Hari itu juga. Kamu tertidur sejenak. Dan saya pergi untuk mengambil catatan yang tertinggal di ruangan saya. Ketika saya kembali ke kamarmu, kamu telah bangun dan berubah menjadi Nugie. Kamu benar-benar berubah drastis dari sosok Rhein yang saya lihat pertama kali.
Kembali dr. Jalal menghela napas.
“Tadinya saya pikir kamu bercanda. Namun ketika saya tegaskan melalui pandangan mata, mimik, gestur juga suara, saya tidak menemukan kepura-puraan di sana. Sesaat saya merasakan ada sedikit perasaan ngeri, inikah yang dinamakan MPD yang sebenarnya, yang selama ini keterangannya hanya ada sebagai teks kedokteran, tanpa satupun kasus yang pernah terdeteksi di Indonesia?”
“Kemudian keesokan harinya kamu berubah lagi, Anna, menjadi sosok Nina yang cerewet,” lanjut dr. Jalal. “Dan ini juga benar-benar amat bertolak belakang dengan sosok Rhein juga Nugie yang saya temui sebelumnya. Lalu sore harinya pasca tidur siang, kamu kembali berubah menjadi sosok yang lainnya lagi, yaitu Ran.”
“Benarkah aku seperti itu, dok?” aku bertanya dengan penuh keraguan.
“Jika kamu masih tidak percaya, saya selalu merekam setiap sesi terapi yang kita lakukan melalui recorder, atau kamu bisa melihat versi visualnya melalui rekaman CCTV rumah sakit ini. Kalau kamu mau, saya bisa memutarnya untukmu.”