Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pasca Debat Pilgub DKI, Agus, Ahok, Anis, dan Gadis Sufi dari Gua Wirosableng 212

28 Januari 2017   10:53 Diperbarui: 28 Januari 2017   11:07 4703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada DKI adalah pilkada yang paling panas dengan pasangan calon Agus-Silvi, Ahok-Djarot, dan Anies-Sandi. Pilgub DKI menjadi sangat penting bagi keberlangsungan DKI Jakarta untuk lima tahun ke depan yang sangat menentukan.  Warga DKI Jakarta yang cerdas tentu akan semakin paham tentang pilihannya setelah debat semalam yang memetakan kekuatan dan kemampuan para kandidat. Maka hasil dari debat Pilkada DKI Jakarta menjadi barometer kekuatan pendukung masing-masing pasangan kandidat.

Untuk Pilkada DKI Jakarta ini ada baiknya warga Jakarta membaca kisah perempuan sufi dari Gua Wirosableng 212 dengan hati gembira ria riang senang bahagia suka-cita bahagis menari menyanyi koprol tertawa sambil merenungi pilihan antara Agus, Ahok atau Anies selamanya senantiasa.

Aku terkejut. Di depanku, seorang muridku, Fahira Risiq duduk tanpa mengenakan pakaian selembar pun. Tampak tubuhnya yang molek dengan berbagai bagian tubuh nyaris tak tertutup. Rambut panjangnya yang lebat menutupi dadanya. Pun juga dua pasang kaki disilangkan menutup semua bagian vital tubuhnya, dengan sehelai kulit kayu bak rok zaman Flintstone.

Untung cahaya di dalam gubuk aku hanya diterangi oleh pelita dari minyak jarak yang aku ambil dari pekaranganku. Jadi temaram.

“Ini untuk menutup tubuhmu!” kataku sambil memberikan sehelai sarung buatan Tegal.

“Tidak Guru, maaf. Haram!” sahutnya menolak sarung untuk menutupi tubuhnya.

Fahira Risiq duduk bersila di tanah dan tidak mau duduk di tikar yang tergelar. Alasannnya mendong bahan tidak dibabat dengan pisau dan pewarna buatan untuk tikar dibuat di pabrik dengan bahan berasal dari negeri Barat – yang kafir.

“Ingat, Fahira. Gubuk dengan atap rumbia ini pun dipotong dengan pisau yang bajanya buatan Barat!” kataku.

Fahira terdiam. Fahira tahu bahwa menjadi haram masuk rumah yang menggunakan teknologi Barat. Wah.

“Maaf, Guru, malam-malam saya datang!” kata Fahira Risiq.

Aku terdiam, memalingkan wajahku ke sisi kanan agar tidak melihat tubuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun