Mobil warna hitam yang dikemudikannya menapaki jalanan di Cibodas. Tampak pemandangan bunga-bungaan yang dijual di sepanjang jalan. Aneka bunga dimuliakan di sana. Bougainvillea berwarna-warni menjadi pemandangan yang paling memesona. Itu kali pertama aku pergi ke sana.
"Keren tuh bunga. Beli saja lebih murah dari Jakarta..." katanya menawarkan.
"Iya tapi mobil tak muat buat mengangkutnya..." sahutku.
Aku masih mengagumi jalanan menuju ketinggian udara yang mulai sejuk. Mobil akhirnya memasuki gerbang dan tertulis di situ. Kebun Raya Cibodas. Kami menyusuri jalan menuju air terjun di Cibodas. Mobil merayapi jalanan mulus - semulus tubuhku kata kekasihku itu - menuju turunan ke arah air terjun. Di sisi kiri tampak jurang menganga yang dipenuhi tetumbuhan.
"Aku jadi ingat Mas, kalau aku jalan-jalan di Yogyakarta dengan pacarku - yang sekarang jadi suamiku. Dia selalu dengan pas menyebut nama-nama pohon dalam bahasa Latin..." kataku.
"Oh ya...tahu juga ordo dan familinya ya..?" tanyanya menimpali.
"Iya. Dia tahu semua nama pohon-pohon...." sahutku.
"Wah rupa raja hutan saja ya hehehe..." katanya.
Aku cubit pahanya. Dia berteriak gembira. Aku suka sepontanitas dia. Dia sosok yang selalu gembira dan cerdas. Dia tampak begitu menikmati hidup.
Mobil sampai ke dasar jurang. Berderet mobil diparkir di tempat yang sangat sejuk itu. Oh. Rupanya sedang ada syuting film di tepian air terjun itu. Aku dan dia turun dari mobil. Kakiku berjingkat ketika merasakan sejuknya air yang mengalir sepanjang tahun itu. Jernih sekali airnya.
"Aku gandeng dan tuntun tanganmu, Sayang. Takutnya kamu jatuh repot nanti..." katanya sambil menggandeng tangan kiriku. Terasa lembut dan hangat telapak tangannya ketika menyentuh jemariku.
"Kamu foto deh di depan air terjun, Sayang..." pintanya sambil meraih BB yang aku pegang.
Pikiranku menerawang jauh saat difoto. Aku menjadi teringat kali pertama kami bertemu. Berawal dari sebuah bengkel tempat aku membetulkan motorku. Aku memberi dia nomor HP aku. Namun aku memberinya namaku nama palsu. Suatu saat dia telepon aku. Tak disangka dia menyatakan suka denganku. Katanya aku adalah tipenya. Katanya aku adalah wanita matang yang menarik...dan...semuanya membuat aku merasa tersanjung. Namun aku tak begitu memercayainya.
Namun seiring berjalannya waktu, aku tak tahu kenapa aku mulai menyukainya. Aku tersipu sebagai wanita bersuami. Betapa tidak. Kehadiran lelaki itu dalam hidupku sungguh tak terduga. Suatu hal yang selama ini aku pikir tak akan mungkin dalam hidupku. Sebagai perempuan, aku tak kekurangan suatu apapun. Anak-anakku sudah ada yang remaja, selain anak bayiku berumur kurang dari satu tahun. Hidupku diwarnai oleh segala urusan pekerjaan rumah. Aku mengurus rumah tangga. Aku mendorong suamiku berbisnis.
Sejak kehadirannya dalam hidupku, hidupku berubah. Kini aku mulai merasakan sesuatu yang luar biasa dalam hidupku. Rasanya warna dunia menjadi berbeda. Sungguh tak aku sangka bahwa rasa ini bisa terjadi padaku.
"Aku cinta kamu, Sayang," katanya itu ketika aku bertemu dengannya suatu saat.
Aku hanya diam saja. Aku tidak menanggapinya. Aku sadar bahwa aku wanita bersuami. Aku bahagia. Aku memiliki segalanya. Uang, kehormatan, suami sukses, anak-anak cerdas dan sehat. Yang terakhir itu sungguh aku syukuri. Aku tak bisa membayangkan kehidupan orang tua dengan anak-anak autis. Orang tua dengan anak-anak ber-down syndrome. Para orang tua itu akan dibebani anak-anak seumur hidup yang pada akhirnya disebut titipan Tuhan.
"Hei jangan melamun..." kata kekasihku itu sambil menepuk tanganku lembut.
"Eh, enggak..." sahutku sekenanya.
"Iya kan, aku mencintaimu, Sayang. Tulus dan suci..." katanya meyakinkan sambil merangkul bahuku.
Aliran hangat sentuhan tangannya begitu terasa. Ini hal yang sangat aneh. Kenapa aku merasakan getaran rasa yang tak biasa? Deguban jantungku selalu datang ketika dia mendekatiku. Terlebih ketika dia menyentuh tanganku. Rasanya aku tak mampu menghadapinya. Getaran rasa dalam jiwa ini begitu kuat kurasakan.
Setiap hari lelaki itu hadir dalam diriku. Suatu saat dia mengundang aku untuk menghadiri pameran lukisan di sebuah galeri. Betapa kagetnya aku tak sangka aku diperkenalkan kepada teman-temannya sebagai pasangan hidupnya. Perasaan yang tak pernah aku rasakan menjalar dalam jiwaku. Antara bangga dan tak percaya.
Lelaki itu berusia matang dewasa usia tiga puluhan tahun. Dia hanya sekitar beberapa tahun di bawah usiaku. Baru kali ini aku merespon rasa cinta seseorang setelah aku bersuami. Banyak cinta yang datang. Banyak yang selalu ingin mendapatkan perhatianku. Termasuk seorang kontraktor yang mengerjakan rumahku. Namun aku tak pernah mau menggubrisnya. Lain dengan lelaki muda ini. Duh...
"Kamu tuh rupa wanita usia 28 tahun saja," katanya suatu saat.
"Hussh...bisa saja," sahutku.
Aku memang tak pernah member tahu umurku. Bukannnya aku menyimpannya. Tampaknya usiaku tak penting baginya.
"Kamu lebih tua dari aku, namun aku merasa aku lebih dewasa dari kamu. Usiamu tak penting bagiku. Yang terpenting adalah kamu dan jiwamu. Cintamu padaku. Aku mencintaimu karena kamu. Bukan kerena apa-apa. Namun yang jelas aku membutuhkan cinta yang ada kehormatan di dalamnya. Bukan cinta yang tak memiliki makna..." katanya.
"Kan banyak tuh cewek-cewek atau perempuan cantik yang masih sendiri. Kenapa harus aku?" kataku memancing pendapatnya sekaligus aku ingin tahu seperti apa lelaki di depanku yang mulai menarik hatiku ini.
"Oh, aku tak mau sembarangan. Cinta bagiku dan bagimu adalah karunia Tuhan yang harus disyukuri..." katanya meyakinkan.
"Iya aku mensyukuri cinta kita ini, Sayang..." kataku syahdu mendengar kata-katanya yang begitu menggodaku.
****
"Oke. Yuuk kita naik ke mobil dan berangkat pulang!" katanya mengagetkan aku.
"Iya," sahutku gelagapan.
"Sudah mengambil empat foto tadi.." katanya.
"Iya ini nggak jelas..." kataku sambil me-zoom-kan foto yang nggak jelas.
"Tapi yang tiga duduk tuh cantik jelita...Lihat saja," katanya sambil menunjukkan fotoku yang indah.
Tangan kirinya meraih tangan kananku dan menuntunkan menuruni bebatuan. Kami menuju ke mobil kami yang terparkir di sisi aliran sungai kecil di seberang air terjun. Tampak banyak mata memandang kami. Aku tahu mereka tampak iri melihat kemesraan kami. Betapa tidak lelaki muda di sampingku tampil sebagai seniman unik. Dia penyair. Dia pelukis. Dia penulis. Dan dia kekasihku. Aku tak pernah menyangka bertemu dengan lelaki yang selalu santai begini. Sementara aku selalu menjaga penampilanku sebagai wanita. Eh, ini lelaki cara berpakaiannya sembarangan. Namun unik dan menarik. Lelaki ini selalu menjadi pusat perhatian di mana pun dia berada.
"Oke kita nanti mampir di Cimory ya makan sosis ...hehehe" katanya.
"Tapi bukan sosis kamu ya..hehehhe," sahutku menggoda.
Dia meletakkan telapak tangan kirinya di pahaku. Duh, serasa di surga saja. Mobil meluncur kea rah Taman Matahari di Puncak sana. Mobil dibelokkan ke arah kanan. Tengah hari itu. Aku belum pernah pergi ke tempat ini. Tempat itu belum sepenuhnya jadi tempat rekreasi. Namun aku yakin suatu saat tempat itu akan menjadi tempat yang indah jika semua pepohonan telah tumbuh meninggi.
Di suatu sudut itu kami memarkir mobil. Tak terlihat dari manapun kami karena siluet matahari menghalangi pandangan ke dalam mobil.
"Sayang, boleh aku menciummu?" tanyanya dengan gentleman.
Aku suka dengan kepolosan dan kejujurannya ketika dia mengungkapkan cinta. Aku menghargai kejujurannya. Aku tak suka kemunafikan. Bahkan dia mengakui adaya nafsu dalam dirinya terhadapku.
"Mana mungkin cinta tanpa nafsu. Cinta tanpa nafsu tak akan menghasilkan anak. Itu karunia Tuhan. Itu satu paket. Namun bagaimana kita mengelola cinta dan nafsu yang perlu. Cinta dan nafsu jangan diobral. Karena cinta adalah karunia Tuhan yang wajib disyukuri..." begitu dia meyakinkanku.
"Iya sih...terserah kamu saja Mas...bingung kalau bicara ama kamu..." sahutku sambil memeluknya.
Dia merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Dikecupnya bibirku dengan kelembutan sutra. Denyut darah mengalir ke seluruh tubuhku. Aku menikmati sentuhan tangannya. Kecupan bibirnya. Kerapatan tubuhnya padaku.
Malam semakin larut. Area parkir itu telah sepi. Tak ada kendaraan lagi diparkir di sana kecuali kendaraan kami.
"Kamu begitu mulus. Kamu indah. Aku suka melihat gelang kakimu. Itu membuat imajinasi indah bagiku. Seksi. Hips kamu begitu indah. Pahamu tirus mulus juga begitu sempurna. Itu menciptakan rasa luar biasa ketika kita bercinta...Duh..." katanya merayuku.
"Ah masak sih Mas..." kataku sambil merapatkan tubuhku pada tubuhnya.
Napasku dan napasnya menderu dalam alunan deru debur rasa cinta. Dia mencumbui aku dengan kelembutan cinta namun gentle. Aku menikmati rasa cinta ala seniman. Aku sendiri juga senang seni. Aku bisa menari dan menyanyi. Kini alunan cinta dan seni menyatu dalam cintaku dan cintanya. Tak terasa aku dan dia sudah tak berbusana tidur di dalam mobil berdua. Sungguh indah cinta itu membara dalam jiwa. Sejak itu cintaku tak akan sirna dari dalam jiwa. Aku mencintai kekasihku itu sama dengan dia memujaku setinggi langit dalam nama cinta.
"Pak..Pak...Parkiran sudah tutup," terdengar ketukan di pintu depan.
Aku terbangun. Kekasihku di sampingku juga tampak terjaga. Oh tampak seorang Satpam Taman Matahari mengingatkan kami karena sudah tutup. Oh. Jam telepon seluler telah menunjukkan pukul 21:30 WIB. Kami bergegas mengenakan pakaian kami. Untung tidak terlihat dari luar jika kami tanpa busana.
Kami meninggalkan Taman Matahari dengan gelak tawa dan senyum karena cinta kami hadir dan terpatri di sana. Selain dalam jiwa. Mobil meluncur ke arah Jakarta. Kugenggam tangan kiri kekasihku sepanjang jalan dengan bunga rasa cinta mewarnai hatiku dan hatinya tak akan pernah sirna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI