"Sudah mengambil empat foto tadi.." katanya.
"Iya ini nggak jelas..." kataku sambil me-zoom-kan foto yang nggak jelas.
"Tapi yang tiga duduk tuh cantik jelita...Lihat saja," katanya sambil menunjukkan fotoku yang indah.
Tangan kirinya meraih tangan kananku dan menuntunkan menuruni bebatuan. Kami menuju ke mobil kami yang terparkir di sisi aliran sungai kecil di seberang air terjun. Tampak banyak mata memandang kami. Aku tahu mereka tampak iri melihat kemesraan kami. Betapa tidak lelaki muda di sampingku tampil sebagai seniman unik. Dia penyair. Dia pelukis. Dia penulis. Dan dia kekasihku. Aku tak pernah menyangka bertemu dengan lelaki yang selalu santai begini. Sementara aku selalu menjaga penampilanku sebagai wanita. Eh, ini lelaki cara berpakaiannya sembarangan. Namun unik dan menarik. Lelaki ini selalu menjadi pusat perhatian di mana pun dia berada.
"Oke kita nanti mampir di Cimory ya makan sosis ...hehehe" katanya.
"Tapi bukan sosis kamu ya..hehehhe," sahutku menggoda.
Dia meletakkan telapak tangan kirinya di pahaku. Duh, serasa di surga saja. Mobil meluncur kea rah Taman Matahari di Puncak sana. Mobil dibelokkan ke arah kanan. Tengah hari itu. Aku belum pernah pergi ke tempat ini. Tempat itu belum sepenuhnya jadi tempat rekreasi. Namun aku yakin suatu saat tempat itu akan menjadi tempat yang indah jika semua pepohonan telah tumbuh meninggi.
Di suatu sudut itu kami memarkir mobil. Tak terlihat dari manapun kami karena siluet matahari menghalangi pandangan ke dalam mobil.
"Sayang, boleh aku menciummu?" tanyanya dengan gentleman.
Aku suka dengan kepolosan dan kejujurannya ketika dia mengungkapkan cinta. Aku menghargai kejujurannya. Aku tak suka kemunafikan. Bahkan dia mengakui adaya nafsu dalam dirinya terhadapku.
"Mana mungkin cinta tanpa nafsu. Cinta tanpa nafsu tak akan menghasilkan anak. Itu karunia Tuhan. Itu satu paket. Namun bagaimana kita mengelola cinta dan nafsu yang perlu. Cinta dan nafsu jangan diobral. Karena cinta adalah karunia Tuhan yang wajib disyukuri..." begitu dia meyakinkanku.