***
"Mama kan sudah bilang, tinggalkan lelaki itu! Pilih kami orang tua angkatmu, atau dia! Kalau nggak bisa diomongi, sudah! Silakan semaumu! Jangan panggil aku Mama lagi!" petuahku sedikit keras mengingat ia sebagai gadis beranjak dewasa.
Aku sengaja memberi ultimatum karena pertama diperkenalkan lelaki yang berasal dari Indonesia timur itu beraroma alkohol. Apalagi matanya merah dan busananya, maaf, berantakan. Alih-alih menyebutnya sebagai gaya punk seronok.
Gertakku  tak mempan. Dia memilih meninggalkan kami dan kembali pada orang tuanya, seorang single parent. Asisten rumah tangga kami. Rumah mereka  berada persis di belakang rumah kami. Â
Terdengar pula ibunya merepet, "Ya, sudah! Sekalian aku keluar!"
Tak lama kemudian datang tergopoh-gopoh sambil berseru lantang. Si ibu minta keluar detik itu juga demi membela putri tunggal mencintai kekasihnya tanpa kami recoki.
Kukatakan  bahwa pacarnya  bukan orang baik-baik. Namun, rupanya hubungan mereka telah telanjur jauh. Tita lebih memilih si pacar daripada aku yang mengambilnya sebagai anak angkat. Bahkan memberikan pendidikan sejak bersekolah di SD.
Ya, sudahlah, aku angkat tangan.  Aku  tidak peduli lagi! Melepasnya sebagai anak angkat hingga tak bertanggung jawab atas kehidupannya!
Tita makin nekat, justru memamerkan kemesraan dengan sang pacar di depanku. Anehnya, ibunya pun ikut-ikutan tidak menyapaku. Ya, aku bisa apa?
Hanya ingin kulihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Meski tidak mendoakan jelek, berdasarkan kisah hidup si ibu sebelum ini, sebenarnya aku sangat khawatir akan terjadi hal yang tidak kami inginkan.
***