"Ma ... titip, ya!"
"Titip apa?"
"Titip Ibuk ... titip ... titip ...," suaranya melemah.
"Dont worry be happy, Nak! Ada Tuhan yang menjaga ibumu ... anakmu. Jangan pikir yang lain, pikirkan kesembuhanmu saja!"
Ia mengangguk-angguk sambil tersenyum sangat manis.
 Sekitar pukul 02.00 aku tak bisa tidur sama sekali. Bulu kudukku terasa merinding. Aku merasa ada seseorang, tetapi kenyataannya tidak ada.
Pasien yang baru datang di ranjang sebelah tidur nyenyak. Penjaganya pun sedang tidak ada di tempat. Biasanya, jika pasien tidur, para penjaga akan tidur di luar kamar, di depan kamar, atau di tempat khusus yang diperuntukkan bagi para penunggu. Masing-masing pasien hanya diizinkan satu orang penunggu saja.
Setengah jam kemudian, kulihat oksigen tidak bergelembung. Perasaanku tidak karu-karuan. Aku kebingungan dan langsung memencet bel.
Beberapa saat kemudian suster jaga datang, memeriksa sana-sini. Mereka begitu sibuk sehingga aku harus keluar dari ruangan itu.
Di depan mataku Tiwi mengembuskan napas terakhir. Akan tetapi, meskipun selalu mengamati, aku tidak tahu kalau dia sudah pergi. Sungguh pengalaman luar biasa yang tidak pernah bisa kulupakan hingga saat ini.
Salah seorang perawat mengabarkan padaku bahwa diagnosis dokter Tiwi mengalami kanker paru-paru stadium akhir. Itu yang tidak pernah kuketahui meskipun sepuluh hari aku membersamainya.
"Selamat jalan, Nak!" kataku sambil mengiringi brankar jenazahnya menuju kamar jenazah.