"Ho ... oh! Makanya Tiwi nggak dinikahi!"
"Ya, ampun! Trus bayinya?"
"Nah, itu ... katanya bayinya diurus oleh pihak sana. Termasuk biaya persalinan!"
"Katanya bayinya laki-laki, Ma!" jawab kerabat yang lain.
Ya, sejak menikah dan memiliki anak, masyarakat sekitar tempat tinggal kami memanggilku dengan sapaan 'Mama' juga. Jadi, baik  mertua maupun para tetangga kompak memanggilku demikian! Hehe ... lucu juga!
"Ya, Tuhan!" keluhku. "Malang benar nasibmu, Nak! Sudah sejak kecil kehilangan ayah, mendapat pacar yang menghamili, tetapi tidak bertanggung jawab!"
"Ma ... kalau Mama kasihan, mari kita tengok! Siapa tahu kehadiran Mama menjadi obat buatnya!" gelitik seorang kerabat merayuku.
Akhirnya, aku dan kerabat tersebut pun besuk di rumah sakit. Melihat kondisinya, aku jatuh iba. Kata perawat kesadarannya tinggal lima puluh persen saja. Maka, aku berinisiatif untuk membantu jaga malam agar ibunya bisa beristirahat di siang hari.
Menjaga pasien dengan kondisi penuh selang di mana-mana. Tabung oksigen, kateter, infus, dengan tangan dan kaki diikat demi meminimalisasi pergerakan, sungguh sangat memprihatinkan. Harus dijaga agar tidak banyak bergerak.
Kondisi makin drop. Tepat pada hari kesepuluh, sekitar pukul 20.10 an ia bertanya padaku dengan susah payah, "Ma ... Mama ngantuk?"
"Enggak, Nak. Kalau kau mengantuk, tidurlah! Mama akan menjagamu di sini!"