Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Pesona Getuk Lumbu

12 September 2024   05:25 Diperbarui: 12 September 2024   08:22 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pesona Getuk Lumbu 

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

 

"Sudah sampai mana, Mbak?" tanya adikku ketika kami masih berada di perjalanan.

"Mendekati Srengat, ini, Dik!" jawabku santai.

"Sama anak-anak lengkapkah?" lanjutnya.

"Iya, lengkap!"

"Siapa yang nyetir?" selidiknya.

"Aku sendiri. Ini kebetulan lagi di SPBU, isi bensin dulu!"

"Oh, oke. Hati-hati di jalan. Mudah-mudahan sekitar satu jam lagi sampai. Nanti kalau bingung atau lupa rutenya, bisa mampir dulu di rumah, ya!"

"Baiklah! Kami mau lanjut!"

"Selamat jalan, Mbak. Semoga perjalanan lancar dan diberkati Tuhan."

"Amin." jawabku.

***

Agar menghemat waktu, kami tidak singgah ke mana-mana. Kebetulan aku masih ingat juga rute ke tempat tujuan. Kami hendak menghadiri reuni keluarga besar di sebuah kota kecil di daerah Tulungagung. Dari Malang, kami berlima berangkat pukul 05.15 dengan harapan sampai tiga jam kemudian.

"Ma, ini nggak bisa beli dawet di Ngunut, ya?" celetuk suami yang duduk di sampingku.

"Nggak, Pa. Ini kita lewat jalan lain. Nanti kita lewat jembatan Ngujang, Ngantru yang terkenal dengan keranya itu, loh!"

"Ooo, ... iya, iya! Beda, ya, jalurnya!"

"Wah, ... dawet, ya!" celetuk bungsu dari jok belakang.

"Enggak, Nak. Nggak lewat jalur itu, ya! Besok saja pulangnya lewat Ngunut, ya! Sekarang lewat jalur utara, ini!"

"Eh, kita nginep, Ma?" celetuk sulung.

"Ya, enggaklah! Maksudnya kali lain saja lewat Ngunut. Gitu, kan Ma?" sambung suami.

"Hemmm ..., iya! Lihat situasi saja. Kalau Mama capek, kita nginap saja, ya!" usulku. "Kan di antara kalian enggak ada yang bisa gantikan Mama nyetir!"

***

Sekitar satu jam kemudian ....

"Nama desanya apa, Ma?" tanya sulung sambil melihat-lihat papan nama di tepi jalan.

"Ngrance, Nak!" sambutku, "Kalau bingung, kita minggir dulu, tanya pada masyarakat saja!"

"Kenapa tidak telepon Bulik Minil saja, Ma?"

"Hehe ... jangan! Kita bikin surprise, ini!"

"Oh, gitu! Oke, deh. Semoga Mama enggak lupa jalurnya!"

"Emang, berapa lama Mama nggak ke sini?" tanya putra tengah.

"Lama banget. Dua puluh lima tahun lebih!"

"Ohh, tapi ... nggak banyak berubah, ya ... kok Mama masih ingat?!" selidik sulung.

"Berubah banget, sih! Tapi, kalau jalur jalan, masih aman. Bedanya, sekarang sudah lebih bagus. Kalau dulu hampir semua jalan masih  makadam!"

"Syukurlah!" timpal suamiku. "Sudah ada perubahan, berarti!"

"Iya. Nah, itu ... ada plakat kelurahan. Sebentar aku tanyakan dulu alamatnya!" kataku sambil mematikan mesin kendaraan dan bergegas turun.

***

Akhirnya, sepuluh menit kemudian, kami sudah sampai di tujuan. Arloji di tangan menunjukkan pukul 08.53. Masih terlalu pagi untuk sebuah pertemuan keluarga besar. Oleh karena itu, belum ada tanda-tanda tamu yang hadir.

Ada terop dan deretan kursi berjajar di halaman depan. Bayanganku masih model pendopo seperti zaman dulu. Saat aku masih kecil dan sering mengunjungi rumah kerabat, sesepuh dari pihak nenek. Namun, kondisi sudah sangat berbeda. Sudah ada beberapa bangunan baru sehingga tidak kukenali lagi.

"Kulo nuwunnnn ...," salamku kepada kerabat yang ada.

"Monggo, katuran pinarak rumiyin!" ujar salah seorang penerima tamu.

Rupanya, penerima tamu adalah generasi penerus ke sekian sehingga aku tidak  mengenalinya. Demikian pula beberapa kerabat yang sudah agak sepuh. Mereka lupa dan menerka-nerka sehingga ada yang langsung bertanya.

Aku dan pasukanku, suami serta ketiga jagoanku pun masuk ke dalam pendopo, bagian bangunan lama yang ada.

"Nuwun sewu, penjenengan sinten?" tanya salah seorang.

Sambil tersenyum santun, kujawab siapa namaku, dari kerabat siapa, dan datang dari mana. Mereka langsung terkejut dan memeluk serta mengelus punggungku.

"Ya, Allah ... Ini Mbak Nona, toh!" seru salah seorang kerabat sambil membelalakkan netra.

"Mbakyu ... ini, loh saudara kita! Ini Dik Nona, putri Mbah Kenther!" seorang kerabat memperkenalkan diriku. "Ya, Allah, sekarang tinggal di mana?" tengoknya padaku spontan sambil mengguncang-guncang telapak tanganku yang digenggamnya.

Akhirnya basa-basi pun berjalan lancar. Aku dan keluarga diajak menjumpai  beberapa saudara oleh salah seorang yang bertindak sebagai guide dadakan. Aku pun kurang paham siapa dia. Selanjutnya kami diminta menunggu tamu karena acara memang pukul 10.00-an hingga selesai.

***

Sampai di tempat tunggu dengan deretan puluhan kursi plastik yang sudah dipersiapkan, bungsuku berbisik.

"Ma, jajanannya banyak sekali!"

"Sssst, iya dong. Namanya saja reuni keluarga besar! Tapi ... nanti saja, ya! Kita tunggu saudara yang lain. Acaranya masih lama, kok!"

"Eh, itu kok ... tulisannya begitu. Apa nggak salah?" lanjut bungsu sambil menunjuk tulisan besar di papan tulis yang sengaja dibuat sebagai tajuk acara. Rupanya sedang mengalihkan fokus perhatian karena keinginan ambil jajanan kutolak halus.

"Iya, Ma. Kenapa Singo Dimejo? Berarti singa di atas meja, dong!" timpal kakaknya, putraku kedua.

"Hehe ... itu kayaknya nama nenek moyang kita, Dik!" jawab si sulung berbisik kepada kedua adiknya.

"Hehehe ... bukan singo hewan, itu, Nak! Tapi memang nama Mbah buyut kita!" jawabku.

"Waow, keturunan singa, ya ... hahaha. Kalau kita di Malang cocok banget, karena sebagai punokawan Singo Edan!" timpal suamiku menggoda.

"Hust! Apaan, sih. Jangan keras-keras, nanti kedengaran yang lain!" bisikku agak sewot, tetapi pernyataannya menggelitik lucu juga, sih.

Tak urung kami tersenyum geli juga membaca tulisan ambigu yang ditunjukkan bungsu.
Namun, yang namanya anak-anak, tentu saja mereka terus tersenyum, bahkan tertawa-tawa. Apalagi tidak pernah bertemu dengan keluarga besar dengan jumlah sebegitu banyak.

Sulungku saat itu sudah berusia 19 tahun dan sudah mahasiswa. Putra kedua masih SMA kelas 2 dan si bungsu masih duduk di bangku SD. Sejak menikah dua dasawarsa sebelumnya, baru kali ini aku berkesempatan bertemu keluarga selengkap ini. Bahagia banget, kan?
Perlahan-lahan tamu-tamu lain pun berdatangan. Ketiga putraku pun sibuk berkenalan dengan keluarga besar yang selama ini belum pernah kami jumpai. Ya, acara itu adalah acara reuni perdana keluarga dari pihak kakek-nenekku. Wajar jika ketiga putra kami belum dikenali. Sedangkan wajahku saja sudah dilupakan oleh saudara yang mengenal masa kecilku, kan?

***:

Pada sesi ramah tamah, diperkenalkanlah masing-masing keluarga dengan diminta hadir di bagian depan sehingga semua keluarga besar mengetahuinya. Saat itu, aku bekerja di salah sebuah bimbingan belajar. Karena di antara keluarga besar ada yang lulusan terbaik perguruan tinggi negeri dan belum mendapat pekerjaan, dimintanyalah aku menghubungkan agar ia pun diterima bekerja bersamaku. Inilah manfaat reuni keluarga seperti ini. Ada koneksi sehingga bisa saling membantu.

Tibalah makan siang bersama.

"Ini pepesan apa?" tanyaku pada adik kandung yang menjejeriku.

"Getuk lumbu, Mbak! Masih ingat, kan? Makanan khas Tulungagung, loh ini! Mosok Penjenengan lupa, toh Mbak!" jawabnya sambil terkekeh.

 "Waw ... asyiiikk! Bener! Bertahun-tahun tidak menikmatinya! Nanti minta resepnya, ya!" sambil membelalak senang kukatakan cukup lantang.

"Laah, itu! Bude Supi juaranya! Beliaulah koki kita yang paham betul resep masakan jadul!" tunjuk adikku pada salah seorang kerabat.

"Sana, yuk, kita dekati saja. Nanti Mbak keluarkan jurus rayu saja ... agar resep bisa Mbak dapatkan, hihihi ....!" gurau adikku sambil mencolek lucu.

"Yuk, kita dekati saja!" seret adikku sambil mendekati si bude koki juara.

Akhirnya kuketahui bahwa bumbu masakan itu sebenarnya biasa saja. Hanya, masalahnya terletak pada pemilihan daun talas yang tidak gatal dan cara pengolahannya. Yang perlu diingat, tidak ada penjual sayur daun talas di mana pun, daun itu harus kita cari sendiri di sawah atau kebun. Karena itulah tidak ada orang yang berjualan getuk lumbu.

Tentu saja di kota tempatku tinggal saat ini, masyarakat tidak mengenalnya. Orang tidak pernah mendengar nama masakan ini apalagi merasakan eh, ... menikmati sensasi makanan khas tersebut!

"Disebut getuk, tetapi bukan getuk seperti biasa. Bukan getuk yang berasal dari singkong atau ubi, loh! Mungkin karena sama-sama dilembutkan, jadi diberi nama getuk!" kata Bude.

"Ini sebenarnya semacam pepesan alias botok, yang terbuat dari daun talas. Bumbunya seperti bumbu botok biasa, bawang merah, bawang putih, kemiri, garam, sedikit gula, trasi, dan  penyedap rasa. Bisa ditambah parutan kelapa muda juga!" urai Bude yang sedang menjelaskan perihal perbumbuan dan pengolahan getuk lumbu.

"Iya, Bude! Di samping getuk lumbu, juga ada getuk kutuk. Pepesan berbahan baku ikan kutuk atau ikan gabus yang sarat khasiat itu. Maka pernah kudengar bahwa mahasiswa yang berasal dari Tulungagung banyak yang memiliki tingkat intelektual prima gegara makanan spesial ini. Ya, makanan spesial di masa kecilku saat Tulungagung dikenal sebagai kota banjir, sebelum terowongan Neyama berfungsi dengan baik!" sambutku berbangga diri.

"Oh, iya! Betul banget! Getuk kutuk juga langka. Sayang kamu mengingatkannya terlambat. Kalau misalnya kemarin, bisa kusajikan pula saat ini!"

"Waahh .... Iya, ya. Apakah kutuk masih gampang dicari, Bude?"

"Masih ada, kok. Di Campurdarat kudengan ada yang membudidayakan kutuk juga. Katanya kutuk itu obat mujarab buat yang baru operasi!" sambung bude dengan netra berbinar.

"Wah, hebat. Kapan-kapan bisa cari tahu peternak ikan gabus alias kutuk ini!" sahut adikku.

"Hehehe .... dua makanan itu sama-sama bernama getuk, ya! Padahal, aslinya pepesan kalau istilah sekarang di kota tempat tinggalku yang baru. Namun, sekali lagi, dua makanan khas daerah Tulungagung ini sudah langka. Kayaknya hampir tidak dikenali lagi, kecuali oleh generasi usia di atas kepala enam sepertiku!" sambungku membuat adik kandungku terbelalak.

"Iya, benar-benar aneh dan unik, ya!" sambut Minil, sapaan untuk adikku nomor tiga.

Ya, kami bersepuluh. Aku putri sulung ibuku dari kerabat Mbah Singo Dimeja.

"Jangan protes, mengapa kubilang dan pernah kudengar orang bilang bahwa bocah Tulungagung pinter-pinter, ya! Rektor perguruan tinggi negeri di kotaku, berturut-turut dijabat oleh priyayi Tulungagung, loh!"

"Ho ... oh! Bener ... bener!" ujar adikku yang juga pernah mengenyam studi di salah sebuah perguruan tinggi negeri yang sama denganku. Perguruan tinggi yang rektornya berasal dari Tulungagung!

Biasanya, getuk lumbu olahan kerabat kami ini tidak pedas. Dengan demikian tanpa cabai sehingga para yang sudah sepuh dan anak-anak kecil yang tidak bisa makan pedas, bisa mengonsumsinya. Rasanya cenderung gurih nikmat. Lembut pula karena memang dihaluskan.

Akan tetapi, ada juga yang membuat getuk lumbu dengan variasi lain. Kadang ditambah ebi atau udang, juga dibubuhi cabai. Teksturnya pun bisa jadi tidak dihaluskan, tetapi cukup diulet alias diuleni saja sehingga daun talas tidak begitu hancur. Demikian pula dengan parutan kelapa muda. Dengan demikian, tampilan lauk itu seperti botok pada umumnya. Model bungkusnya pun tidak seperti lontong, tetapi seperti bungkusan pecel saja. Jadi, tidak berbentuk silinder.

Bahan-bahan getuk lumbu adalah daun talas, kelapa muda, ikan pedo atau ikan asin. Setelah bumbu dengan ukuran pas disangrai atau ditumis, dihaluskan dengan cara diulek manual.

"Akan beda juga rasanya, sih ... jika diblender," sambung bude.  

Daun talas yang sudah direndam dengan air garam beberapa saat, dikukus terlebih dahulu. Direndam dengan garam ini bertujuan agar tidak gatal di lidah. Setelah dikukus sebentar, daun talas pun layu dan matang. Selanjutnya, daun talas bersama kelapa parut akan dihaluskan. Biasanya dengan cara ditumbuk menggunakan lumpang dan alu besi, peralatan yang biasa dimanfaatkan untuk menumbuk biji kopi sangrai. Setelah halus, barulah ditambahkan perbumbuan yang sudah digerus manual tadi. Ikan asin pun dihaluskan bersama daun talas sehingga semua menjadi lumer.

Setelah daun talas ditumbuk, ditambah ikan asin dan perbumbuan, bahan yang lumer lanjut dibungkus daun pisang seperti membuat lontong. Disemat  dengan lidi, bungkusan tersebut ditata di atas dandang dan siap dikukus. Sekitar dua puluh menit dengan perapian besar, matang pulalah lauk langka idaman itu. Kadang-kadang ada juga yang meletakkan di atas panggangan. Dengan demikian, si getuk matang dua kali. Dikukus dan dipanggang. Pasti aromanya makin menggiurkan.

"Nah, jika menginginkan rasa pedas, tinggal ditambahkan saja sambal tomat trasi. Heemmm, ... pasti akan menghabiskan dua atau tiga piring nasi hangat, deh!" gumamku ditimpali anggukan setuju oleh adik dan bude yang duduk di sebelahku.

***

Ketika pulang ke kotaku menjelang sore, kami diberi oleh-oleh uwi, ganyong, dan garut. Ketiga jagoanku terheran-heran. Bahkan, ketika menikmati sajian kripik gadung yang gurih itu, mereka bertanya kepada kerabat terbuat dari apa dan bagaimana pengolahannya.

"Gadung itu sejenis umbi yang mendemi!  Membuat mabuk! Beracun!" kata Pakde Madi, salah seorang pinisepuh yang sangat care dan friendly.

"Pembuatannya sangat sulit. Makanya, kalian, anak-anak zaman sekarang harus lebih pandai. Siapa tahu, kelak kalian bisa meneliti kandungan gizi bahan pangan pedesaan ini!" harapnya kepada muda-mudi yang saat itu berkerumun di seputaran kursi beliau.

"Iya, Mbah. Harus memperhatikan kearifan lokal juga, ya!" sambung sulungku yang sudah mahasiswa.

"Nah, betul apa katamu, Nak!"

Akhirnya, kami berpamitan dengan seluruh kerabat. Ada oleh-oleh tak kasat mata, setidaknya anak-anak menghargai tradisi, sumber bahan pangan lokal, dan kuliner langka. Biasanya anak-anak muda, apalagi yang tinggal di kota seperti jagoanku, tidak menyukai makanan desa macam umbi-umbian itu. Mereka lebih menyukai makanan kekinian, macam burger dan aneka masakan dari negara asing, seperti Jepang dan Korea. Siapa tahu, dengan mengenal makanan khas desa itu mereka bisa mengembangkan kreativitas dengan mengangkatnya sebagai ikon budaya bangsa. Atau barangkali sebagai bahan pangan pengganti, ya? Amin.  

 
***
  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun