Setelah daun talas ditumbuk, ditambah ikan asin dan perbumbuan, bahan yang lumer lanjut dibungkus daun pisang seperti membuat lontong. Disemat  dengan lidi, bungkusan tersebut ditata di atas dandang dan siap dikukus. Sekitar dua puluh menit dengan perapian besar, matang pulalah lauk langka idaman itu. Kadang-kadang ada juga yang meletakkan di atas panggangan. Dengan demikian, si getuk matang dua kali. Dikukus dan dipanggang. Pasti aromanya makin menggiurkan.
"Nah, jika menginginkan rasa pedas, tinggal ditambahkan saja sambal tomat trasi. Heemmm, ... pasti akan menghabiskan dua atau tiga piring nasi hangat, deh!" gumamku ditimpali anggukan setuju oleh adik dan bude yang duduk di sebelahku.
***
Ketika pulang ke kotaku menjelang sore, kami diberi oleh-oleh uwi, ganyong, dan garut. Ketiga jagoanku terheran-heran. Bahkan, ketika menikmati sajian kripik gadung yang gurih itu, mereka bertanya kepada kerabat terbuat dari apa dan bagaimana pengolahannya.
"Gadung itu sejenis umbi yang mendemi! Membuat mabuk! Beracun!" kata Pakde Madi, salah seorang pinisepuh yang sangat care dan friendly.
"Pembuatannya sangat sulit. Makanya, kalian, anak-anak zaman sekarang harus lebih pandai. Siapa tahu, kelak kalian bisa meneliti kandungan gizi bahan pangan pedesaan ini!" harapnya kepada muda-mudi yang saat itu berkerumun di seputaran kursi beliau.
"Iya, Mbah. Harus memperhatikan kearifan lokal juga, ya!" sambung sulungku yang sudah mahasiswa.
"Nah, betul apa katamu, Nak!"
Akhirnya, kami berpamitan dengan seluruh kerabat. Ada oleh-oleh tak kasat mata, setidaknya anak-anak menghargai tradisi, sumber bahan pangan lokal, dan kuliner langka. Biasanya anak-anak muda, apalagi yang tinggal di kota seperti jagoanku, tidak menyukai makanan desa macam umbi-umbian itu. Mereka lebih menyukai makanan kekinian, macam burger dan aneka masakan dari negara asing, seperti Jepang dan Korea. Siapa tahu, dengan mengenal makanan khas desa itu mereka bisa mengembangkan kreativitas dengan mengangkatnya sebagai ikon budaya bangsa. Atau barangkali sebagai bahan pangan pengganti, ya? Amin. Â
Â
***
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H