Dua tahun silam. Di sebuah ruang tunggu rumah sakit swasta terkenal di kotanya, Dianing sedang duduk mengantre. Menunggu antrean obat yang harus ditebus. Persendian pangkal lengan kirinya sedikit kesakitan. Salah tidur! Masih  harus diterapi laser secara rutin sejak bulan lalu. Jatah fisioterapi dilakukannya seminggu dua kali.
Tetiba dari pelantang, didengarnya panggilan obat untuk salah seorang pasien.
"Bapak Bagus Purnama! Alamat ...."
Bagai disambar petir seribu watt, nurani Dianing meronta. Dengan antusias segera ditengok siapa yang hadir untuk mengambil obat itu.
"Semoga ...," Â doanya berkomat-kamit.
Sudah lama ia merindukan sosok itu. Seseorang yang pernah singgah di hati setengah abad silam. Adakah ia masih mengenali? Ataukah hanya kebetulan sama nama saja? Seribu pertanyaan menggelayut mengusik atma.
Dianing bergeming. Dilihatnya seorang pria renta sendirian sambil menggunakan sebuah kursi roda. Dengan kondisi sangat memprihatinkan mengoyak batin.
"Ya, Allah ... apakah aku harus bertanya?" bisiknya.
 Ada suatu perasaan yang mendobrak kesadaran. Ia bertekad mendekati sekadar bertanya berbasa-basi. Memenuhi penasaran yang menggelora.
Setelah selesai mengantre, menerima obat, si bapak segera hendak bergeser. Namun, ia kesulitan memindahkan arah kursi roda yang digunakannya. Dianing menyempatkan diri untuk mendekat, berniat membantu sekalian bertanya-tanya.
"Maaf ... apakah Bapak berasal dari ...."