"Tapi ... Lina masih kesal, Bunda!"
"Justru masalah ini mengajari dan mengajar Lina untuk bisa berbuat sabar, ikhlas, dan tulus baik memberi maaf, Â maupun untuk meminta maaf juga!"
"Meminta maaf? Bukankah Lina enggak bersalah, Bunda? Mengapa harus Lina yang meminta maaf?"
"Dalam kamus relasi manusiawi, enggak ada yang namanya manusia itu bersih dari dosa dan kesalahan. Walaupun tidak disengaja, tidak dirasakan, manusia pasti memiliki dosa. Adalah suatu kesombongan jika tidak mengakuinya. Sementara, Allah akan mengampuni dosa tersebut ketika kita meminta maaf, baik kepada manusia, maupun kepada Tuhan. Uniknya, jika kita tidak mengampuni sesama kita, Allah pun tidak berkenan mengampuni dosa kita. Nah, jadi ... bagaimana? Kalau Allah saja mengampuni, masakan kita mau sombong dengan bersikukuh tidak mau mengampuni? Padahal, kita tahu kalau tidak mengampuni sesama, otomatis juga tidak diampuni-Nya, loh!"
"Emmmmmh, begitu ya Bun?"
"Iya, Sayang! Apa, sih beratnya mengampuni? Anggap saja orang yang membuatmu sakit hati, kecewa, atau tidak nyaman itu tidak sengaja. Cukuplah. Pasti kamu bisa memaklumi, kemudian mengampuninya."
"Lina malu sama Mas Wawan, Bun!"
"Nggak apa-apa. Nanti, kita bisa menjelaskan segala sesuatunya sehingga semuanya menjadi clean and clear. Bagaimana? Apakah kamu membiarkan duka hatimu dan duka hati mereka terpendam sampai matahari tenggelam? Bagusnya, ya ... segera diselesaikan secepatnya agar nanti malam bisa tidur dengan nyenyak, Nak!"
"Bagaimana, ya, Bun?"
Sebentar kemudian, terlihat sang bunda sedang memanggil via telepon selular yang dipegangnya. Tidak sampai sepuluh menit, dua orang pemuda datang pada Bunda.
Si kakak sulung dengan sahabatnya! Karena merasa malu, Lina menyembunyikan mukanya dengan bantal.