"Hmmm ...," ia mengangguk-angguk sambil tetap mengayunkan sapu lidi daun aren yang pernah dibelinya dari pedagang keliling langganan.
"Eh, kok ... aku berdialog dengan diri sendiri, ya?" lirihnya.
"Itulah yang pada masa kanak-kanakmu dibilang oleh para tetua sebagai kakang kawah adi ari-ari. Jadi, sebenarnya ... hati kecilmu ini ... bisa diajak berbincang dan berdiskusi. Senyampang kamu waras saja!"
"Kok waras bagaimana? Apa ... kira-kira aku pernah agak gila alias depresi?"
"Loh ... masak kamu lupa? Saat masih muda dulu, kamu susah sekali diberi tahu oleh hati nuranimu, kan? Kamu seenak sendiri! Sulit banget dikasih tahu!"
"Ahahaha ... aku kan suka tempe, ya jangan dikasih tahu dong!"
"Hush! Sembarangan! Itulah segi ketinggian egomu! Kalau sedang kumat, susah juga diberi informasi faktual!"
"Hehe ... ya, ya ... maaf! Namanya juga orang muda, gimana sih? Kan sedang mencari jati diri!"
"Hmmm ... ya, tetapi karena dosa dan kesalahanmu itu sudah begitu parah, kusarankan nih ... jangan lupa setiap ketika, tepatnya saat datang kepada Tuhan di dalam doa, ungkapkanlah. Mintalah pengampunan atas kesrakahan dan kebandelan dirimu di saat muda itu!"
"Iya ... iya. Akan aku laksanakan!"
"Nah, makin tua memang harus makin manut, tidak bertindak gegabah, sembrono, tetapi harus merunduk. Tuhan yang mahabaik dan pemurah itu pasti akan berbelas kasih kalau kamu mendekatkan diri kepada-Nya!" Â