Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senandika Pagi

16 Juli 2024   06:30 Diperbarui: 16 Juli 2024   08:17 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senandika Pagi

Oleh Ninik Sirtufi Rahayu


Pagi itu itu Bu Tari sedang menyapu halaman seperti biasa. Halaman rumah tersebut memang cukup luas, bahkan tergolong langka di kota tempatnya tinggalnya. Bagaimana tidak? 

Di perumahan tak jauh dari area rumah itu perumahan berjejer dengan model dan tipe kecil-kecil. Begitu saja enggak banyak penghuninya. Kabarnya harga tanah dan rumah kian melambung! Apalagi halaman itu dilengkapi dengan pohon buah-buahan yang rajin berbakti. Meski rumah tua, halamannya sangat leluasa. Paling tidak asupan oksigen melimpah sehingga bawaannya kantuk pun melanda. Ya, langka, tentunya. Di tengah kota masih ada yang bernuansa desa. Maka, siapa pun yang bertandang pasti akan mengatakan betah berada di rumahnya.

Dalam hati ia bergumam, "Kok ... aktivitasku kembali seperti masa kanak-kanak di desa, ya? Persis ketika masih di rumah desa!"

Lalu, seolah-olah ia mendengar jawaban, "Laa ... iya, orang kamunya yang pernah menyampaikan keinginan kepada Tuhan. Katamu ingin memiliki rumah di kota rasa desa, ya ... nikmatilah anugerah-Nya ini dengan sukacita!"

Nah, ia seolah bersenandika, berdialog dengan hati kecilnya sendiri.

"Iya, benar! Apa pun yang pernah kuinginkan, kuucapkan atau tidak, ternyata Tuhan mengabulkan! Sungguh, aku percaya bahwa Tuhan itu begitu baik padaku! Ya, apa pun itu! Aneh dan ajaib banget!"

"Ya, Tuhan memberikan segala sesuatu secara seimbang! Kalau ada duka di masa lalu, itu sebagai ujian dan pelecut agar semangat juangmu tak pernah kendur. Apa yang menjadi skenario-Nya dalam hidupmu sudah terpeta di telapak tangan-Nya secara sempurna. Jadi, kalau ada sabda: 

"Bersyukurlah dalam segala hal karena Tuhan itu baik!" sepertinya bukan hanya mengamini dan harus mengaminkan, melainkan kita harus menerapkan di dalam hidup dan kehidupan. Menjadi hamba yang bersyukur dalam segala hal memang tidak mudah, tetapi senyampang selalu berpautan  kepada-Nya, kita pasti dimampukan-Nya!"

"Hmmm ...," ia mengangguk-angguk sambil tetap mengayunkan sapu lidi daun aren yang pernah dibelinya dari pedagang keliling langganan.

"Eh, kok ... aku berdialog dengan diri sendiri, ya?" lirihnya.

"Itulah yang pada masa kanak-kanakmu dibilang oleh para tetua sebagai kakang kawah adi ari-ari. Jadi, sebenarnya ... hati kecilmu ini ... bisa diajak berbincang dan berdiskusi. Senyampang kamu waras saja!"

"Kok waras bagaimana? Apa ... kira-kira aku pernah agak gila alias depresi?"

"Loh ... masak kamu lupa? Saat masih muda dulu, kamu susah sekali diberi tahu oleh hati nuranimu, kan? Kamu seenak sendiri! Sulit banget dikasih tahu!"

"Ahahaha ... aku kan suka tempe, ya jangan dikasih tahu dong!"

"Hush! Sembarangan! Itulah segi ketinggian egomu! Kalau sedang kumat, susah juga diberi informasi faktual!"

"Hehe ... ya, ya ... maaf! Namanya juga orang muda, gimana sih? Kan sedang mencari jati diri!"

"Hmmm ... ya, tetapi karena dosa dan kesalahanmu itu sudah begitu parah, kusarankan nih ... jangan lupa setiap ketika, tepatnya saat datang kepada Tuhan di dalam doa, ungkapkanlah. Mintalah pengampunan atas kesrakahan dan kebandelan dirimu di saat muda itu!"

"Iya ... iya. Akan aku laksanakan!"

"Nah, makin tua memang harus makin manut, tidak bertindak gegabah, sembrono, tetapi harus merunduk. Tuhan yang mahabaik dan pemurah itu pasti akan berbelas kasih kalau kamu mendekatkan diri kepada-Nya!"  

"Siap! Aku saat ini hanya ingin ...."

"Ingin apa lagi?"

"Ingin ... emmm ... agar suatu saat kelak, jika sewaktu-waktu dipanggil pulang, tidak merepotkan keluarga!"

"Good! Aku setuju. Kalau memohon dengan rendah hati pasti Tuhan pun akan menyetujui dan mengabulkan permohonanmu itu!"

"Amin!"

"Aku tahu dan yakin ... Tuhan akan mengabulkan doamu. Seperti keinginanmu yang kemarin-kemarin, kan? Saat rumahmu bocor, dana bulananmu hanya cukup untuk makan, ternyata Tuhan mengirimkan anak sulungmu untuk datang dan melihat sendiri kondisi rumahmu. Bahkan, tanpa kauminta pun anak sulung dan menantumu yang sangat perhatian itu mengirimkan tukang untuk membenahi hal-hal yang rusak dan perlu perbaikan. Bukankah itu pun anugerah Tuhan yang berkenan memakai anakmu sebagai saluran berkat?"

"Iya ... duuhh ... jangan bikin aku menangis, dong!"

"Enggak apa-apa! Menangis itu sangat penting untuk membersihkan kelenjar air mata, kok. Menangis baik di saat sedih maupun bahagia itu wajar dan sangat manusiawi!"

***

"Yuuuurrr .... sayuuuur!" terdengar sayup dari kejauhan Bi Uchi menjajakan dagangannya dengan cukup nyaring.

"Hmmm ... si bibi begitu rajinnya! Ketika orang lain masih bergulung di lipatan selimut, ia sudah berkeliling kampung saja!"

"Nah, ... kembali lagi ... bersyukurlah di masa tuamu kau sudah tidak perlu lagi memikirkan ekonomi keluarga!" suara batinnya kembali terdengar.

"Ya, betul! Aku bersyukur sekali. Dulu ... saat masih usia produktif aku seperti baling-baling! Waktuku tersita oleh tugas dan tanggung jawab pekerjaan di beberapa tempat. Kini ... entahlah, aku jadi ingin balas dendam! Ingin tinggal di rumah saja menikmati sisa waktu!"

"Eh, enggak apa-apa sih, cuma ... sebisanya manfaatkan waktumu untuk hal-hal berguna! Jangan hanya bereuforia dengan kesenangan melulu!"

Ia hanya menganggik-angguk sambil menyelesaikan tugas menyapu pagi itu. Hingga tak terasa halaman luasnya sudah tampak bersih kini. Selanjutnya ia ambil selang bermaksud untuk menyiram tanaman agar tampak segar.

Tiba-tiba ....
Tungkling ... tungkling! Tungkling ... tungkling! Gawai yang berada di saku daster berbunyi dan bergetar.

"Ya, halo ... !"

"Tante ... sebentar lagi aku datang! Tante mau dibawakan apa?" suara di seberang.

"Enggak usah bawa apa-apa!"

"Baiklah. Enggak pingin burjo Kayungyun? Atau ketan itemnya?"

"Hehe ... tahu aja!"

"Ya, deh aku tahu hahaha!"

Sekitar satu jam kemudian, keponakan cantik satu-satunya datang dengan dua bungkus jajanan kesukaan yang tadi sudah disinggung sebelumnya. Sambil menikmati makanan berdua, si cantik bercerita panjang lebar aktivitasnya selama sebulan belakangan.

"Niatnya memang persembahan dari jemaat. Kalau di kemasan pakaian yang sudah dikemas memang bekas baju keseharian yang kurang layak dihargai Rp2.000,00 lalu ada yang membayar Rp10.000,00 ... ya, itu niatnya memang mempersembahkan," pamernya berapi-api.

"Lah ... baju-baju itu kondisinya bagaimana?" tanya Bu Tari serius.

"Bervariasi, Tante. Ada yang bagus, masih bagus, layak pakai, atau ya ... seperti yang kusebut tadi! Pakaian yang kami dapat dan kumpulkan itu, kami siasati. Kami setrika dengan pewangi, kami kemas dalam plastik transparan, lalu kami beri harga sesuai kondisi. Ada yang Rp60.000,00, Rp50.000,00 hingga yang paling murah Rp2.000,00 saja!"

"Bagaimana? Apa Tante ada ide lain? Atau ... barangkali ada yang bisa disumbangkan juga?" lanjut sang keponakan menyelidik.

"Ya, ada banyak pakaian layak pakai memenuhi gantungan lemari. Maklum, dulu aku kan kerja di beberapa tempat. Jadi, urusan penampilan, terutama harus gonta-ganti baju agar siswa tidak bosan, pasti aku nomor satukan!"

"Nah, trus ... bagaimana? Mau diapakan? Apa tetap stay di gantungan saja? Mubazir, Tante!" selidik sang keponakan.

"Saat ini ... hehe ... sudah tidak layak muat! Tubuh ini mengembang sedemikian rupa. Jadi ... bahkan masih ada yang belum pernah kupakai sama sekali, enggak bisa dipakai lagi! Hihihi ....!"

"Nah, daripada tidak berguna, apa enggak sayang, tuh? Bagaimana kalau Tante hibahkan saja kepada kami? Hasilnya nggak kami gunakan foya-foya, kok! Juga enggak kami pakai sendiri, loh! Jujur ... kami sedang menggalang dana buat melunasi utang!"

"Hah, utang apaan?" netra sang bibi melotot mendengar kata utang.

"Hehe ceritanya panjang, Tante. Intinya, kami ingin membangun sebuah tempat ibadah. Biasa, kekurangan dana ... sehingga menggerakkan siapa pun yang merasa terbeban untuk mencari dana dengan cara halal, tentunya. Hmmm,  ... ya gitu deh ...!"

"Loh ... beneran?"

"Iya! Makanya, kami beberapa pemuda dan sukarelawan siap membantu mencari donatur. Salah satunya, Tante! Hehehe ...!"

Dalam waktu beberapa saat, Bu Tari membolak-balik pikiran dan sampai pada suatu kesimpulan, "Iya, ya! Beberapa tahun lalu Tuhan pernah menyindir kalau wanita itu suka sekali membeli baju sehingga menumpuk. Padahal, tidak terpakai sama sekali! Ya, sudahlah. Memang tidak perlu menumpuk barang dunia yang bisa lapuk dan usang, kan?"

"Alhamdulilah ... terima kasih banyak, Tante. Baju-baju ini masih sangat bagus. Semoga bisa dikenakan oleh siapa pun yang berminat mengikuti pelelangan di tempat yang kami datangi nanti. Atas nama jemaat, kami mengucapkan terima kasih atas bantuan Tante. Jangan segan-segan memanggilku untuk mengambil lagi jika sekiranya masih ada yang layak pakai, ya Tante! Kami pasti akan dengan sukacita menerima persembahan ini!"

Deg! Hatinya terasa cukup tertampar. "Bagaimana bisa disebut persembahan kalau nyatanya hanya berupa baju layak pakai?"

Dengan netra berkaca-kaca ia memohon pengampunan sekaligus berterima kasih karena apa yang dipesankan Allah beberapa saat silam sudah dilunasinya.

"Lega rasanya," batinnya bertutur.

"Tante hari ini ada acarakah?"

"Iya, sebentar lagi aku akan ke Auto 2000 kembali servis karena sepulang servis kemarin mesinnya saat awal aku starter bunyi breketek breketek!"

"Oh, oke deh. Semoga Tuhan memberkati acara Tante dan acara saya dan kawan-kawan. Saya pamit dulu ya, Tante. Sekali lagi terima kasih!"

"Hehe ... kamu itu memang pintar sekali merayu. Aku telah berhasil termakan rayuan gombalmu!" ia terkekeh.

"Hehe God bless always!" pamitnya sambil menghidupkan sepeda motor Mio merah kesayangan.

***
 
Sekalipun kurang bagus, biarlah kisah ini menginspirasi. Amin. Terima kasih atas kesediaan pembaca untuk berkenan meluangkan waktu. Kiranya Tuhan memberkati selalu, amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun